Menanti Ujung Langkah BI NTT di Tengah Defisit Beras
BI NTT mendorong anak muda untuk berinovasi mengembangkan sektor pangan. Kita tunggu hasilnya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Nusa Tenggara Timur mengalami defisit beras cukup tinggi, 125.390 ton, pada triwulan pertama tahun 2024 menurut data Badan Pusat Statistik. Pasokan lokal hanya mampu menutup 23 persen kebutuhan. Akibatnya, butuh pasokan dari luar daerah hingga 70 persen. Sebanyak 7 persen lainnya diadakan Bulog selaku lembaga negara yang ikut menjaga kestabilan pangan.
Kondisi ini rawan terus terjadi di NTT. Hingga kini, NTT tak pernah jadi lumbung beras. Banyak hari tanpa hujan, kondisi tanah tandus, serta minim sumber air menjadi beberapa faktor penyebabnya. Belum lagi perilaku bercocok tanam yang masih cenderung sekadar untuk kebutuhan keluarga.
Akibatnya, hasil panen tidak ideal. Rata-rata produktivitas per hektar hanya 4,15 ton gabah kering giling. Angka ini jauh di bawah produktivitas Bali (6,21 ton) atau Jawa Timur (5,72 ton).
Ironisnya, tingkat konsumsi beras di NTT cukup tinggi. Dalam satu tahun, rata-rata orang NTT mengonsumsi 117,19 kilogram (kg) beras. Tingkat konsumsi ini termasuk tinggi di Indonesia. Ada anggapan, seseorang baru disebut sudah makan jika sudah menyantap nasi. Beras seperti makanan superior.
Defisit beras itu ikut memicu harga beras kualitas medium naik dari Rp 13.000 per kg menjadi Rp 18.000 per kg. Tercatat, beras menjadi penyumbang inflasi tertinggi, yakni 0,23 persen. Variabel lain adalah telur ayam ras (0,05 persen), cabai rawit (0,05 persen), pisang (0,04 persen), dan emas perhiasan (0,03 persen).
Beruntung, masih ada variabel lain yang tidak ikut memperparah daya beli, tetapi mengalami deflasi. Ikan tembang, misalnya, mengalami deflasi 0,12 persen, tomat 0,11 persen, angkutan udara 0,06 persen, daging babi 0,05 persen, dan daging ayam ras 0,05 persen.
”Setelah diakumulasi, NTT pada Maret 2024 mengalami deflasi 0,14 persen,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia NTT Agus Sistyo Widjajati dalam acara buka puasa bersama media di Kota Kupang pada Selasa (2/4/2024).
Menurut Agus, harga beras yang tinggi menjadi faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap perekonomian di NTT. Upaya yang dilakukan BI bersama pemangku kepentingan untuk mengatasi inflasi beras, di antaranya, adalah operasi pasar, koordinasi antardaerah khusus penyuplai beras agar membantu kelancaran distribusi ke NTT, serta mendorong gerakan menanam.
Pangan bukan hanya beras
Tak berhenti di situ, BI NTT mendorong anak muda produktif mengembangkan pangan berbasis teknologi untuk bidang pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Dorongan itu salah satunya dikerucutkan melalui kompetisi teknokreasi. Pesertanya anak muda usia 17-22 tahun.
”Kami ingin menciptakan anak muda yang punya jiwa kewirausahaan, terutama di bidang pangan. Kami ingin mereka punya inovasi dan produktif. Sekarang ini petani, peternak, dan nelayan kebanyakan sudah tua dan lulusan SD,” kata Agus.
Keragaman
Akan tetapi, sejumlah pihak menilai, defisit beras di NTT tidak semata dapat diatasi dengan meningkatkan produktivitas. Ada perubahan iklim yang terjadi dan rentan memengaruhi produktivitas. Apalagi, perubahan iklim berada di luar kendali petani. Yang pernah dilakukan adalah mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan beragam.
”Pangan bukan hanya beras,” kata Koordinator Program Voice for Climate Action Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Dina Soro.
Petani di NTT yang selama ini mengembangkan pertanian lahan kering didorong untuk terus menerapkan sistem tumpang sari. Selain padi dan jagung, teruslah menanam umbi-umbian dan pisang. Tanaman itu bisa bertahan kala terik atau cocok dengan iklim di NTT.
”Tidak bisa semua daerah kita dorong ke beras,” ujar Dina.
Telah terbukti, masyarakat suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan selama bertahun-tahun mempraktikkan pangan beragam itu. Cadangan makanan mereka pun selalu ada setiap waktu. Mereka tidak pernah kekurangan makanan ketika warga daerah lain kelaparan.
Raja Boti Namah Benu bahkan menolak bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) yang hendak diberikan pemerintah. Alasannya, mereka masih punya cadangan makanan. Sekadar membandingkan, di banyak daerah, warga berebut raskin, bahkan sampai terlibat perkelahian.
Defisit beras yang terjadi di NTT menjadi alarm betapa rapuh ketahanan pangan di daerah itu. Semua pihak terus berupaya meminimalkan dampaknya, termasuk BI NTT. Kita tunggu hasilnya.