Lima gempa dangkal terjadi di perairan Wawonii, Sultra. Sesar Naik Tolo menyimpan potensi hingga magnitudo maksimum 7,5.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Lima gempa dangkal terjadi di perairan Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Gempa terkuat tercatat bermagnitudo maksimal 4,7 yang juga terjadi di laut. Kewaspadaan mesti ditingkatkan seiring aktifnya Sesar Naik Tolo.
Pada Selasa (2/4/2024) hingga Rabu (3/4/2024), lima gempa mengguncang wilayah perairan Wawonii. Gempa pertama terjadi pada pukul 23.55 Wita bermagnitudo 4,7 di kedalaman 7 kilometer. Gempa lain lalu menyusul dengan kekuatan 3,2 M, lalu 4,7 M, disusul gempa berkekuatan 3,1 M, dan terakhir berkekuatan 3,4 M. Gempa terjadi di kedalaman 5-22 kilometer.
Kepala Stasiun Geofisika Kendari Rudin mengatakan, semua gempa ini terjadi di laut, yaitu di perairan Wawonii yang lebih dekat ke Pulau Menui, Sulawesi Tengah. Meski berkekuatan cukup besar, yaitu hingga 4,7 M, gempa tidak berpotensi menimbulkan tsunami dan tidak ada laporan kerusakan.
”Sejauh ini kami juga belum menerima laporan yang merasakan dampak gempanya. Kami telah cari informasi di Wawonii dan Menui, tetapi belum ada laporan. Di satu sisi gempa terjadi dengan kekuatan cukup besar dan berulang,” ucap Rudin.
Gempa yang beruntun ini, ia melanjutkan, terjadi akibat pergerakan Sesar Naik Tolo. Sesar sepanjang 120 km tersebut membentang dari perairan Kendari hingga melintasi perairan Wawonii.
Meski belum ada laporan kerusakan, menurut Rudin, gempa ini menjadi pengingat akan sesar yang terus aktif. Terlebih lagi, Sesar Naik Tolo menyimpan potensi gempa dengan magnitudo maksimum 7,5.
”Tentu hal ini perlu menjadi perhatian dan meningkatkan kewaspadaan kita bersama. Terlebih lagi pada 2009 terjadi gempa dengan kekuatan 5,8 yang membuat panik warga,” ujarnya.
Pada 2009, gempa dengan magnitudo 5,8 terjadi. Saat itu, ribuan orang mengungsi ke Kendari karena takut ancaman tsunami dan dampak gempa lain. Orang-orang berlarian dan mencari tempat aman di ketinggian.
Menurut Rudin, Sesar Naik Tolo memang merupakan sesar aktif yang terus bergerak. Setelah mengguncang pada 2009, sejumlah guncangan gempa lain tercatat dengan magnitudo di bawah 2. Setelah lebih dari 10 tahun, yaitu pada 2021, gempa kembali tercatat dengan magnitdo 4,7.
Selain Sesar Naik Tolo, di Sultra juga terdapat sejumlah sesar aktif, di antaranya Sesar Buton, Sesar Kendari, dan Sesar Lawanopo. Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejumlah gempa terjadi di beberapa wilayah ini pada 2021.
Sesar Buton termasuk yang cukup aktif, ditandai dengan guncangan gempa yang terjadi beberapa kali di wilayah ini. Sesar ini memiliki pergerakan 0,1 milimeter per tahun dan terbagi menjadi dua segmen, yaitu segmen A sepanjang 60 km di Pulau Muna dan segmen B sepanjang 29 km di Pulau Buton.
Sebelumnya, Jamhir Safani, pengajar di Teknik Geologi Universitas Halu Oleo yang banyak meneliti bencana di Sultra, menuturkan, rentetan gempa yang terjadi di sejumlah sesar di Sultra menunjukkan kerentanan wilayah ini terdampak bencana. Gempa bisa menimbulkan bencana lanjutan, mulai dari tanah longsor, runtuhnya bangunan, hingga potensi tsunami.
Sesar Buton termasuk yang cukup aktif, ditandai dengan guncangan gempa yang terjadi beberapa kali di wilayah ini. Sesar ini memiliki pergerakan 0,1 milimeter per tahun dan terbagi menjadi dua segmen, yaitu segmen A sepanjang 60 km di Pulau Muna dan segmen B sepanjang 29 km di Pulau Buton.
Oleh karena itu, Jamhir menyampaikan, pemerintah daerah penting untuk membuat kebijakan yang peka terhadap bencana. Aturan pendirian bangunan, lokasi, struktur, hingga tinggi bangunan sebaiknya memperhitungkan dampak gempa.
”Peta rawan bencana yang lengkap, dengan memperhitungkan kondisi struktur batuan dan rentannya bencana gempa, harus diaplikasikan pada kebijakan. Dengan demikian, antisipasi korban bisa dilakukan lebih dini ketika gempa terjadi. Selain itu, mitigasi dan program penyebarluasan informasi ke masyarakat juga harus terus dilakukan,” tuturnya.