Atasi Banjir, Perlu Kajian Risiko Bencana Lintas Wilayah di Pantura Jateng
Kajian risiko bencana antarwilayah diperlukan guna mencegah banjir di pantura timur Jateng.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Banjir yang terjadi di sejumlah wilayah di kawasan pesisir pantai utara bagian timur Jawa Tengah perlu diantisipasi bersama tanpa memandang status administrasi wilayah. Salah satu langkah awal yang perlu dilakukan ialah menyusun kajian risiko bencana lintas wilayah.
Gagasan tersebut mengemuka dalam Talkshow Seri-1 Pengurangan Risiko Bencana yang diadakan Pusat Penelitian dan Penanggulangan Bencana (P3B) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) secara daring pada Senin (1/4/2024).
Pakar Manajemen Bencana P3B LPPM UNS, Sorja Koesuma, mengatakan, banjir yang terjadi di wilayah pantura timur Jateng memberikan pembelajaran terkait pentingnya pengelolaan dari wilayah hulu ke hilir. Hal itu karena banjir yang terjadi di wilayah-wilayah yang mayoritas berada di hilir tersebut dipicu, salah satunya, oleh kesalahan tata kelola lahan di kawasan hulu.
”Ada pergantian jenis tanaman di daerah hulu. Di wilayah Grobogan, misalnya, karena tanahnya kering banyak ditanami jagung yang sebenarnya tidak bisa menyerap banyak air. Akibatnya, airnya mengalir ke hilir semua,” kata Sorja.
Selain itu, ada dua faktor penyebab banjir di wilayah-wilayah pesisir pantura timur Jateng, yakni penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Di Demak, misalnya, dari hasil sejumlah penelitian, penurunan muka tanah yang terjadi mencapai 8,2 sentimeter per tahun. Adapun kenaikan muka air lautnya mencapai 5,52 milimeter per tahun.
Menurut Sorja, ada empat hal yang memicu penurunan muka tanah, yakni intrusi air laut yang menyebabkan stuktur tanah menjadi lembek, pengambilan air tanah yang berlebihan, karena beban bangunan di atasnya, dan karena aktivitas tektonik. Khusus di Demak, penyebab penurunan muka tanah itu belum diketahui.
”Sehingga perlu adanya kajian risiko bencana. Dari kajian itu nanti bisa dicari apa sebab penurunan muka tanahnya. Selain itu, alih fungsi lahan di wilayah hulu juga bisa dikendalikan,” ucap Sorja.
Kajian risiko bencana adalah dasar untuk menjamin keselarasan arah dan efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu daerah. Dengan kajian risiko bencana, potensi dan besaran kerugian akibat ancaman bencana dapat dipetakan. Sehingga penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu daerah bisa selaras dan efektif.
Sorja menyebut, untuk mengefektifkan penanganan banjir di pantura timur, perlu adanya kajian risiko bencana yang dibuat lintas wilayah. Sebab, banjir yang terjadi di suatu daerah di wilayah itu dipengaruhi oleh daerah lainnya.
”Kajian risiko bencana yang diperlukan itu tematis. Kajian risiko bencana tematis ini pernah dibuat di wilayah Daerah Aliran Sungai Juwana yang meliputi Grobogan, Kudus, dan Pati oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada tahun 2022. Dari hasil pemetaan itu, hasilnya mayoritas risiko tinggi bencana banjir,” ujarnya.
Sorja mengusulkan, selanjutnya, kajian risiko bencana tematis dibuat lintas wilayah untuk enam daerah, yakni Kudus, Demak, Grobogan, Jepara, Pati, Kota Semarang. Setelah membuat kajian risiko, perlu dilakukan penandatanganan komitmen bersama untuk menindaklanjuti hasil kajian tersebut.
”Jadi, tidak hanya habis sampai jadi laporan saja, tapi juga ada komitmen. Misalnya, ada penataan irigasi, penataan kota, ini harus merujuk pada kajian risiko bencana tersebut,” imbuhnya.
Upaya bersama lintas wilayah juga dinilai Pakar Dinamika Atmosfer Universitas Diponegoro, Rahmat Gernowo, perlu dilakukan. Sebab, perubahan iklim yang terjadi diperkirakan bakal lebih banyak memicu munculnya anomali cuaca.
”Saat banjir terjadi di Pantura Jateng beberapa waktu terakhir, sedang ada Madden Julian Oscillation (MJO) dan siklon. Dua faktor itu memicu tingginya pertumbuhan awan konvektif yang menyebabkan turunnya hujan ekstrem. Adanya tambahan debit air dari hujan ekstrem ini tidak mampu tertampung di wilayah tangkapan dan langsung mengalir ke daerah hilir, kemudian terjadi banjir,” kata Gernowo.
Menurut Gernowo, ke depan, anomali cuaca berpotensi untuk terus berulang. Untuk itu, ia meminta masyarakat dan pemerintah beradaptasi dan memitigasi potensi bencana yang kemungkinan timbul akibat cuaca.
”Kalau sungainya tidak bertambah, apakah perlu menambah sodetan sehingga air hujannya bisa dialirkan merata? Atau perlu penambahan embung? Intinya perlu dipikirkan caranya menjadikan air hujan ini bermanfaat, bukan menimbulkan malapetaka,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, anomali cuaca yang berpotensi akan kembali terjadi di masa mendatang perlu diantisipasi bersama-sama. Dengan cara itu, bencana yang kemungkinan terjadi bisa dicegah.
”Kita sering melakukan penanganan dan mitigasi, tapi sangat jarang melakukan pencegahan, padahal aktor utama dari pencegahan itu kita semua. Kita yang di hulu harus memastikan bagaimana tata kelola lahan hijau dan kita yang di wilayah tengah harus mencermati kondisi tanggul-tanggul sungai. Jangan sampai pas (tanggul) sudah jebol, baru sadar kalau ada masalah, seperti yang terjadi di pantura timur Jateng kemarin,” ucap Eko.
Menurut Eko, kondisi tanggul-tanggul yang ada saat ini perlu perbaikan. Sebab, mayoritas tanggul dibangun beberapa tahun lalu. Pembangunannya juga dilakukan sesuai dengan kondisi perkiraan bahaya di tahun-tahun tersebut.
”Dengan adanya peningkatan intensitas bahaya berupa cuaca ekstrem dan memburuknya tata kelola lahan, maka dibutuhkan tanggul-tanggul yang lebih baik,” ujarnya.