Penantian Tidak Berujung Pengungsi Rohingya di Kamp Mina
Rohingya sudah cukup menderita. Mereka harus mendapatkan kembali kehidupan yang hilang dengan kembali ke Myanmar.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Sebagai manusia, para pengungsiRohingya yang kini berada di Aceh masih berharap suatu saat dapat menjalani kehidupan selayaknya manusia merdeka: bisa bersekolah, bekerja, dan mewujudkan cita-cita. Namun, penantian itu kini menjadi mimpi yang tidak berujung.
Muhammad Fahad (16) sedang membaca Al Quran di mushala kompleks kamp pengungsian Yayasan Mina Raya, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh, Sabtu (30/3/2024). Ini tahun kedua Fahad berada di kamp pengungsian itu, tetapi hingga kini tidak ada tanda-tanda kapan akan dikeluarkan.
”Saya lahir di Arakan (Rakhine), saat masih kecil kami mengungsi ke Bangladesh,” ujar Fahad menggunakan bahasa Indonesia yang fasih. Dia belajar bahasa Indonesia dari para sukarelawan.
Arakan adalah sebuah provinsi di Myanmar yang didiami oleh etnis Rohingya. Junta militer Myanmar mengusir warga Rohingya dan melakukan tindak kekerasan. Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan Rohingya.
Pada 2017, mereka menyelamatkan diri ke Bangladesh. ”Rumah kami dibakar,” kata Fahad.
Di Bangladesh, dia tinggal di kamp pengungsian Kutupalong, Cox’s Bazar, sebuah kota pelabuhan. Dia mendirikan rumah darurat dari bambu beratap plastik. Ayahnya bekerja sebagai buruh pengangkut hasil tani. Mereka hidup miskin. Di kamp pengungsian tidak ada sekolah formal.
Fahad menuturkan, hidup di kamp pengungsian Kutupalong sungguh berat. Dia tidak punya kesempatan untuk belajar, tingkat kriminalitas tinggi, dan tidak ada peluang kerja.
Hingga suatu hari keluarganya memutuskan untuk keluar dari Kutupalong dan menyelundup masuk ke Indonesia. Fahad bersama ayah, ibu, dan adiknya serta ratusan pengungsi lain menaiki kapal kayu. Setelah berlayar 1,5 bulan, pada akhir 2022, kapal itu mendarat di pantai Kabupaten Aceh Besar. Lalu mereka dipindahkan ke kamp Mina Raya, Pidie.
Bosan
Mina Raya merupakan bekas bangunan yayasan korban tsunami Aceh 2004. Karena lama tidak terpakai, tempat itu dijadikan tempat penampungan pengungsi Rohingya. Saat ini terdapat 241 orang di Mina.
Dua tahun di kamp Mina Raya, Fahad tidak bisa bergerak ke mana-mana. Mereka dilarang keluar dari kompleks. Petugas keamanan mengawasi setiap aktivitas pengungsi.
”Bosan karena tidak bisa ke mana-mana. Semoga saya bisa sekolah di Medan atau Jakarta,” kata Fahad.
Siang itu, pengungsi anak-anak bermain di halaman. Beberapa masih berusia 2-5 tahun. Sebagian menonton film di gawai.
Di ruang tidur, Muhammad Annas (16) dan Rejuan (19) sedang bermain gawai. Kamar itu semacam bangsal dan ditempati puluhan orang. Di dalam kelambu kain, sebagian pengungsi tidur lelap.
Annas nekat berlayar ke Indonesia tanpa disertai orangtua dan keluarga lain. Kehidupan di kamp pengungsian Bangladesh yang kian buruk memaksanya menyelundup ke Indonesia.
Saat berada di tengah laut, yang terpikir olehnya, peluang untuk hidup sangat kecil. Oleh sebab itu, ketika kapal berhasil mencapai bibir pantai, dia merasa semangat dan harapan hidup lebih baik akan ditemukan di Indonesia.
Saat ditanya ke mana tujuan akhir dari pelarian ini, Annas menjawab, tujuan akhir adalah tempat di mana dia bisa hidup bebas, bersekolah dan bekerja, seperti orang lain. Namun, hingga kini belum ada bayangan ke mana mereka akan dibawa.
”Untuk saat ini hidup di sini (Mina Raya) lebih baik, ke depan saya tidak tahu bagaimana,” katanya.
Ibu dan ayahnya masih berada di kamp Cox’s Bazar. Setiap hari dia melakukan panggilan video. Dia berharap suatu saat bisa kembali hidup bersama ayah dan ibunya.
Anggota staf Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, Faisal Rahman, mengatakan, saat ini sekitar 1.300 pengungsi Rohingya berada di Aceh. UNHCR dan lembaga kemanusiaan internasional menanggung kebutuhan dasar para pengungsi.
Aceh tidak memiliki pusat penampungan khusus pengungsi sehingga para pengungsi menempati posko atau kamp penampungan darurat. UNHCR pun tidak bisa memastikan sampai kapan mereka berada di Aceh.
Untuk saat ini hidup di sini (Mina Raya) lebih baik, ke depan saya tidak tahu bagaimana.
Meskipun bukan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia telah menyelamatkan Rohingya. Sejak 2009, pengungsi Rohingya mulai masuk ke Indonesia.
Faisal mengatakan, persoalan pengungsian merupakan masalah global. Belakangan pengungsi bertambah setelah terjadi perang di beberapa negara, seperti Ukraina dan Palestina.
Namun, masalah yang dihadapi pengungsi Rohingya berbeda dengan pengungsi dari negara lain.
”Warga Rohingya ini tidak diakui kewarganegaraannya oleh Pemerintah Myanmar. Mereka tidak punya dokumen atau administrasi sehingga menyulitkan untuk diterima karena tidak ada record-nya,” kata Faisal.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menuturkan, penyelesaian konflik Myanmar harus jadi prioritas agar etnis Rohingya dapat kembali ke Myanmar. Retno menyebutkan, Myanmar adalah rumah bagi etnis Rohingya (Kompas, 18/9/2020).
Dalam artikel yang dimuat di Kompas (8/12/2024), Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal A Yani, menyebutkan, Pemerintah Indonesia harus meminta Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta atau UNHCR untuk memulangkan warga etnis Rohingya.
Hal ini senada dengan harapan Fahad dan Annas, pengungsi Rohingya di Mina Raya, Pidie, bahwa suatu saat mereka dapat kembali ke tanah asalnya, Rakhine, Myanmar. Menjalani kehidupan yang merdeka seperti manusia lain.
Berharap dunia dapat menerima pengungsi Rohingya sangat sulit. Dibutuhkan jalur afirmasi dan lobi yang kuat. Mengakhiri konflik dan mengembalikan mereka ke Myanmar merupakan solusi paling logis.