Membumikan Usmar Ismail di Kota Kelahiran
Generasi muda di Kota Bukittinggi dikenalkan dengan karya dan gagasan Usmar Ismail yang tak lekang oleh zaman.
Meskipun pahlawan nasional, Usmar Ismail begitu masyhur di kalangan insan perfilman, kiprahnya cenderung belum banyak diketahui kalangan umum, terutama di kota kelahirannya, Bukittinggi, Sumatera Barat. Inisiatif untuk ”membumikan” Usmar kepada generasi muda terus digerakkan melalui pemutaran film, diskusi, tur sejarah, dan pameran.
Gelak tawa penonton tak henti mengiringi jalan cerita film yang diputar siang itu. Mereka begitu terhibur oleh interaksi para aktor cilik di film hitam-putih itu meskipun di beberapa scene sangat kontras dan membuat mata tak nyaman karena belum direstorasi. Pemutaran film berdurasi 1 jam 19 menit ini diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari ratusan penonton.
Baca juga: Restorasi Film Karya Usmar Ismail Dilanjutkan
Film tersebut adalah satu film yang diproduseri Usmar Ismail melalui rumah produksi Perfini. Judulnya Djenderal Kantjil dan dirilis tahun 1958 dengan Ahmad Albar cilik sebagai pemeran utamanya. Film ini disutradarai Nya’ Abbas Akup, sedangkan naskah skenarionya ditulis Alwi Dahlan.
”Filmnya sangat menarik. Selain menghibur, juga sarat dengan pesan. Namun, yang jadi pertanyaan, bagaimana caranya membuat film bagus ini di tengah keterbatasan teknologi pada zaman itu?” kata Iqbal Rizkyka (20), mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Islam UIN Bukittinggi.
Iqbal merupakan satu dari 150 peserta program Putar Film Usmar di Kota Kelahiran yang dihelat di Grand Rocky Hotel, Kota Bukittinggi, Kamis (28/3/2024). Program dalam rangka peringatan Hari Film Nasional ini diinisiasi oleh Sako Academy dan didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pesertanya dari kalangan siswa, mahasiswa, komunitas film, hingga kelompok literasi.
Sebelum pemutaran film, para peserta diajak tur singkat ke dua titik simpul sejarah Usmar di Bukittinggi, Kamis pagi. Pertama, ke SMA 2 Bukittinggi, tempat Usmar kerap menjemput keponakannya, Alwi Dahlan, sepulang sekolah untuk diajak menonton film di Bioskop Gloria, Pasar Ateh Bukittinggi. Di sekolah itu pula, ayah Usmar, Ismail Datuk Manggung, menjadi guru bahasa Melayu.
Kedua, ke Janjang 40, tempat mural Usmar dibuat oleh Sako Academy tahun 2021 dalam rangka peringatan 100 tahun Usmar Ismail. Lukisan itu disertai pula dengan puisi karya Usmar yang berjudul Ditengah Djalan. Rute ke sana melintasi Bioskop Gloria yang jaraknya tak begitu jauh dari lokasi mural.
Adapun sesudah pemutaran film, para peserta mengikuti kuliah umum bersama sutradara film Riri Riza; pendiri Usmar Ismail Cinema Society, Heidy Hermia Ismail, yang juga putri Usmar Ismail; dan sejarawan dan penulis Hasril Chaniago, yang berlangsung dari sore hingga malam.
”Kalangan pembuat film mungkin sudah cukup akrab dengan Usmar Ismail, tetapi masyarakat umum, terutama di kota kelahirannya, menurut kami perlu tahu siapa Usmar Ismail. Film menjadi jembatan untuk mentransformasikan pemikiran itu,” kata Arief Malinmudo, sutradara sekaligus Direktur Sako Academy.
Selain tur singkat, pemutaran film, dan kuliah umum, Sako Academy juga mengadakan pameran Usmai Ismail di kafe Kopigo x Panties Pizza, Bukittinggi. Pameran yang digelar pada 28 Maret-8 April 2024 ini memamerkan berbagai karya Usmar, antara lain cuplikan gambar-gambar film, kutipan dialog film, puisi-puisi, dan lini masa kehidupan Usmar Ismail.
Usmar lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921 dari pasangan Ismail Datuk Manggung dan Siti Fatimah. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Batusangkar dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang. Selepas itu, Usmar merantau untuk melanjutkan pendidikan ke Algemenee Middelbare School (AMS) di Yogyakarta, kemudian meniti karier di bidang perfilman.
Film pertama yang disutradarai Usmar, Darah dan Doa, merupakan film nasional pertama. Hari pertama pengambilan gambar film ini pada 30 Maret 1950 dijadikan insan film sebagai Hari Film Nasional. Usmar juga diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2021.
Tetap relevan
Meskipun karya-karya Usmar sudah berusia 50-an hingga 70-an tahun, karya-karya itu tetap relevan di tengah zaman yang terus berubah. Sepanjang hayatnya, Usmar menghasilkan 30 lebih karya film, baik sebagai sutradara, penulis skenario, maupun produser.
Sutradara Riri Riza mengatakan, karya-karya Usmar mendorong sikap yang sangat terbuka, tidak tertutup atau puritan. Orang Minangkabau dikenal sangat kuat memegang tradisi dan agama Islam. Walakin, identitas Usmar sebagai orang Minang, orang Bukittinggi, tidak membuatnya hanya memproduksi film-film religius.
”Pak Usmar membuka diri. Namun, keutamaan nilai sebagai orang Minangkabau dan Muslim itu ada di dalam karyanya. Tokoh di filmnya bisa jadi seorang anak muda yang sangat modern, tetapi tetap saja pemikiran tentang keislaman, adat, budaya, kebiasaan orang Minang itu ada di dalam filmnya,” katanya.
Riri melanjutkan, karya-karya Usmar juga tetap istimewa hingga sekarang karena selalu aktual dan kontemporer. Film-film itu mendorong kemajuan dan kebaruan serta inovasi dalam sinematografi.
Riri mengambil film Korban Fitnah (1959) sebagai contoh. Film yang diproduksi bersama Cathay Keris Film, perusahaan Singapura yang merajai produksi film di negara rumpun Melayu, ini memulai tradisi co-produksi internasional. Dalam film itu, Usmar menggunakan nama samaran, PL Kapur, karena ketegangan politik antara Indonesia dan Malaysia.
Dari segi ceritanya, kata Riri, film tersebut sangat kontekstual dan menantang. Kisahnya tentang seorang bernama Husein yang diseret ke pengadilan karena hendak bunuh diri. Ia merasa bersalah karena telah membutakan sang kakak. Maka, ia harus bunuh diri agar bisa mendonorkan matanya.
”Ia (Usmar) berani mendorong nilai-nilai baru, yang agak sedikit menentang nilai-nilai moral umum pada masa itu,” ujarnya. Selain itu, film Korban Fitnah juga punya pendekatan film noir dan courtroom drama yang sedang populer di kancah perfilman global.
Faktor-faktor film Usmar selalu aktual dan kontemporer, kata Riri, antara lain ia bertahan pada gaya realisme tetapi mendorong pengembangan bahasa-bahasa sinematorgrafi. Daya ungkap filmnya diperluas dengan kekayaan sastra, musik, dan seni peran.
Kemudian, Usmar juga melawan konvensi umum di zamannya sehingga filmnya tampil menonjol. Ia juga membuka diri dengan kolaborasi internasional. Selain itu, Usmar turut pula memberi pengaruh pada pembuat film generasi berikutnya mulai dari Misbach Yusa Biram, Nya’ Abbas Akup, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Eros Djarot, Christine Hakim, hingga Garin Nugroho dan seterusnya.
”Kalau mau dibuat family tree-nya film Indonesia, bisa kita mulai dari Pak Usmar. Saya yakin sampai saat ini pun kita semua (pembuat film) masih tersambung,” ujarnya.
Meneladani Usmar
Riri menambahkan, Usmar pantas menjadi teladan. Saat berkecimpung di dunia film, Usmar tak tanggung-tanggung. Ia menekuninya sepenuh hati di tengah kondisi politik tidak stabil sesudah kemerdekaan dan keterbatasan teknologi di masa itu.
Sementara itu, Heidy Hermia Ismail bercerita, sebesar apa pun ambisi ayahnya di dunia film, keluarga tetap menjadi prioritas. Sebelum fokus membuat film atau menulis skenario, Usmar selalu memberikan waktu berkualitas kepada istri dan anak-anaknya terlebih dahulu.
”Pernah suatu waktu, kami berlibur di vila kecil di Cipayung. Ayah bersama kami selama 4-5 hari. Setelah menjalani quality time, kami kembali pulang untuk sekolah, ayah tinggal di sana sampai dua minggu. Jadi, sebelum ia sibuk, ia memberi kami waktu terlebih dahulu,” ujarnya.
Sejarawan dan penulis Hasril Chaniago berpendapat, Usmar dan tokoh-tokoh Sumbar lainnya adalah contoh bagaimana orang Minang merespons hal baru. Terhadap sistem pendidikan Barat, misalnya, mereka tidak menolak, tetapi mengambil hal yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Hasril melanjutkan, hal lain yang bisa diteladani dari Usmar, yaitu bagaimana ia mempercayai generasi muda, termasuk terhadap keponakannya, Alwi Dahlan. Skenario film Djenderal Kantjil, misalnya, merupakan hasil adaptasi terhadap cerpen Alwi semasa SMA yang berjudul Pistol Simancil.
Usmar dan tokoh-tokoh Sumbar lainnya adalah contoh bagaimana orang Minang merespons hal baru. Terhadap sistem pendidikan Barat, misalnya, mereka tidak menolak, melainkan mengambil hal yang baik dan meninggalkan yang buruk.
”Usmar percaya terhadap anak muda. Maka, kita sekarang harus memberikan kesempatan kepada anak-anak muda. Kuncinya, mereka harus menguasai satu kompetensi,” ujarnya.
Jadi inspirasi
Adapun Iqbal, peserta Putar Film Usmar di Kota Kelahiran, mengaku, sebelum kegiatan ini, ia sekadar tahu nama Usmar Ismail tetapi tidak tahu kiprahnya di bidang apa. Sekarang, bagi pemuda yang suka menonton dan menganalisis grafik dan substansi film ini, semuanya menjadi lebih terang.
”Saya tidak tahu ada orang Minang menjadi pelopor di bidang film, bahkan jadi pahlawan nasional. Sebab, selama ini, Usmar tidak begitu dibahas di kampus. Yang sering dibahas tokoh yang itu-itu saja,” kata pemuda yang kerap membuat film pendek untuk tugas kuliahnya.
Meskipun demikian, Iqbal tidak ingin terjebak euforia dan romantisisme kejayaan tokoh Minang di masa lampau. Rekam jejak Usmar yang mentereng justru menjadi inspirasi agar ia dan generasi muda Minang bisa percaya diri berkarya di dunia film.