Terus Pulihkan Warga Pulau Bawean yang Trauma Gempa Susulan
Pemulihan psikologis warga Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, karena trauma gempa tektonik Laut Jawa jadi atensi besar.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Warga Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, terdampak gempa tektonik di Laut Jawa hidup dengan ketakutan dan trauma. Pemulihan kondisi psikologis warga juga menjadi atensi selain pemenuhan kebutuhan dasar.
Pulau Bawean diserang rentetan gempa besar atau berkekuatan magnitudo di atas 5 pada Jumat (22/3/2024). Gempa mengakibatkan kerusakan 5.333 bangunan dan memaksa 33.745 jiwa warga mengungsi. Sampai dengan Rabu (27/3/2024) atau hari keenam, gempa susulan masih terjadi. Namun, guncangan di bawah magnitudo 5.
Pulau Bawean berada 145 kilometer di utara Pelabuhan Gresik, Pulau Jawa. Gempa bersumber dari kedalaman setidaknya 10 kilometer sehingga dangkal dan berdaya rusak tinggi terhadap lingkungan dan bangunan. Lokasi gempa paling dekat 30 kilometer dari pesisir barat Pulau Bawean yang berpopulasi 105.000 jiwa. Pulau Bawean terbagi menjadi dua kecamatan, yakni Sangkapura dan Tambak, dijangkau selama 4 jam dengan kapal cepat, 9 jam dengan feri, atau 1 jam penerbangan dengan pesawat kecil.
Bantuan dan tim terpadu penanganan dampak gempa telah berdatangan sejak Sabtu (23/3/2024). Bantuan terus mengalir dan dikirim dengan kapal dan feri bersamaan dengan tim terpadu dari berbagai unsur. Pemenuhan kebutuhan dasar, yakni pangan, sandang, dan papan (pengungsian), menjadi atensi utama. Selain itu, juga kesehatan jasmani dan rohani atau psikologis serta sanitasi atau kebersihan.
Damih bin Jamian (84), warga Desa Dekatagung, Sangkapura, mengatakan belum pernah merasakan gempa sekuat pada Jumat. Orangtua dan leluhur juga nyaris tak pernah bercerita tentang pengalaman gempa di masa silam yang sampai merusak. ”Kalau gempa kecil pernah, tetapi tidak sampai merusak,” katanya.
Menurut Damih, nelayan, mereka tidak punya pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk menghadapi gempa. Yang mereka tahu, jika terjadi gempa yang kuat dan sampai merusak, mereka harus segera mengungsi ke perbukitan dan menjauhi laut. Nelayan yang harus melaut terpaksa tidak jauh dari pantai meski berkonsekuensi tangkapan ikan sedikit atau tidak memuaskan.
Kalau gempa kecil pernah, tetapi tidak sampai merusak.
Kepala Dusun Sungai Laut, Dekatagung, Muhammad Sabit, yang dihubungi dari Surabaya, mengatakan, warga masih trauma dengan gempa susulan. Mereka belum berani tinggal dalam rumah, terutama untuk tidur. Aktivitas warga menjadi terbatas di bagian depan rumah. Saat tidur, mereka pindah ke teras, dhurung atau pondok dan lumbung, halaman, atau ke pengungsian terdekat.
”Aktivitas kami terhambat,” kata Sabit. Warga diliputi perasaan cemas jika harus beraktivitas misalnya ke sawah, laut, atau berdagang dengan meninggalkan anggota keluarga sebab takut dengan gempa susulan. Selain trauma, mereka juga bingung untuk beraktivitas secara maksimal. Di sisi lain, ini bulan puasa sehingga menjalankan ibadah juga menjadi bagian penting dalam kehidupan.
Komandan Komando Distrik Militer 0817/Gresik Letnan Kolonel (Inf) Ahmad Saleh Rahanar mengatakan, pemulihan kondisi psikologis dari rasa trauma menjadi atensi besar tim penanganan dampak gempa. ”Tantangan termasuk bagi kami untuk membangkitkan dan menjaga keberanian warga sehingga tetap optimistis dalam menghadapi bencana,” ujarnya.
Hal senada diutarakan Kepala Kepolisian Resor Gresik Ajun Komisaris Besar Adhitya Panji Anom yang datang ke Pulau Bawean bersama tim trauma healing. Adhitya turut menghibur kalangan warga di pengungsian, terutama anak-anak, agar mulai terkikis rasa trauma pada gempa susulan.
Pemulihan trauma juga menjadi atensi harian Kompas melalui wartawan foto, Bahana Patria Gupta alias BAH. Sejak Sabtu, pendiri Perpustakaan Boneka Surabaya ini, selain menjalankan tugas jurnalistik, juga datang ke sejumlah pengungsian untuk bercerita dan menghibur anak-anak.
Gempa mengakibatkan aktivitas pendidikan nyaris lumpuh karena banyak bangunan sekolah yang roboh. Data dari pos komando, gempa membuat 5 sekolah rusak berat, 6 sekolah dan pondok pesantren rusak sedang, dan 59 sekolah rusak ringan. Meski ada yang rusak ringan, bukan berarti aktivitas pendidikan bisa dijalankan di gedung karena anak-anak juga diliputi trauma gempa susulan. Di pengungsian, anak-anak bisa tertekan karena aktivitas bermain amat terbatas.
Universitas Negeri Surabaya mengirimkan tim dan sukarelawan untuk pertolongan psikologis. ”Sukarelawan telah terlatih bahkan secara khusus untuk pendampingan korban gempa, banjir, kebakaran, erupsi, tanah longsor, bahkan urusan dapur umum,” ujar Ketua Tim Subdirektorat Mitigasi Crisis Center (SMCC) Unesa Aghus Sifaq yang bertanggung jawab dalam misi kemanusiaan itu.
Kepala SMCC Unesa Diana Rahmasari mengatakan, tim akan bertugas selama empat hari di Pulau Bawean. Tim juga berkompetensi memberikan pendampingan warga untuk perbaikan dan pembangunan kembali hunian dan bangunan agar tahan gempa.