Produksi Miras Ilegal Rumahan yang Mengancam Nyawa
Polres Malang membongkar usaha minuman keras ilegal. Minuman beralkohol itu dibuat tanpa standar kesehatan yang jelas.
Tak perlu belajar khusus untuk bisa membuat minuman keras. Secara otodidak pun jadi. Namun, tentu saja produk dari pembuatan yang serampangan bisa membahayakan bagi tubuh orang yang mengonsumsinya. Produk tersebut tidak sesuai standar kesehatan.
”Sepuluh (bungkus) ragi, 4 kilogram (kg) ketan, satu drum air (200 liter), dan 39 kg gula pasir,” kata Fajar Agung Widodo (36) ketika menjelaskan pembuatan minuman keras skala rumah tangga yang dia buat, Senin (25/3/2024).
Bersama kerabatnya, Adi Wiyono (46), siang itu yang bersangkutan digelandang polisi ke rumah tempat keduanya memproduksi minuman beralkohol ilegal. Kedua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus minuman keras (miras) ilegal itu menjelaskan bagaimana pembuatan cairan memabukkan itu.
Sejauh ini, warga setempat tidak mengira bahwa rumah besar dua lantai di pinggir jalan desa di wilayah RT 010 RW 003, Dusun Krajan, Desa Sumberejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, itu menjadi lokasi pembuatan miras, setidaknya dalam 1,5 tahun terakhir.
Baca juga: Empat Orang di Semarang Tewas Seusai Tenggak Miras Oplosan
Sebelumnya, kata warga, tempat itu pernah digerebek oleh kantor bea dan cukai lantaran memproduksi barang yang sama beberapa tahun lalu. Warga menyebut miras dengan istilah ”obat”. Setelah penggerebekan itu, tidak pernah lagi ada aktivitas pembuatan miras. Adapun pemilik rumah kemudian meninggal.
”Karena sudah tidak membuat, saat ini peralatan seperti kompor gas sering dipinjamkan ke warga yang punya hajat untuk memasak makanan dalam jumlah besar,” ujar salah satu tetangga yang enggan disebut namanya.
FAW dan AW mengaku bisa membuat miras secara otodidak. Sementara peralatan yang digunakan warisan dari kerabat. Sistemnya memakai cara fermentasi dan distilasi. Tetesan pertama hasil penyulingan dibuang lantaran mengandung metanol. Baru tetesan berikutnya ditampung lalu disaring.
Hasilnya dikemas dalam botol berkapasitas 1,5 liter. Miras itu lalu dijual seharga Rp 50.000 per botol. Atas aksinya ini, kedua tersangka memperoleh keuntungan Rp 25.000 per botol.
”Dalam satu bulan mereka meraup laba Rp 4 juta,” kata Wakil Kepala Polres Malang Komisaris Imam Mustolih.
Imam menyebut, pada 23 Maret lalu, pihaknya mendapatkan informasi terkait peredaran miras ilegal. Informasi itu langsung direspons dengan penyelidikan dan pendalaman, berlanjut pada penggeledahan dan penyitaan. Para tersangka memproduksi barang haram itu di bagian belakang rumah yang ukurannya cukup luas.
Meski dinilai lebih maju dibandingkan produsen miras sejenis di lokasi lain, pembuatan miras di tempat ini dilakukan tanpa takaran dan komposisi yang jelas.
Hal itu tentu saja membahayakan konsumen dan bisa berakibat fatal. Apalagi, produksinya dalam jumlah besar. Dalam satu hari mereka bisa membuat hingga 500 liter. Polisi pun menyebut produsen ini sebagai yang terbesar di Kabupaten Malang.
Baca juga: Kembangkan Penyelidikan Kematian Tiga Mahasiswa Universitas Narotama akibat Minuman Oplosan
Apa yang ditemukan polisi saat penggeledahan diproduksi sebelum puasa. Total ada 500 liter yang dibuat, tetapi sebagian lainnya telah laku terjual. Ada rencana jelang atau setelah Lebaran, minuman dengan kadar alkohol 30 persen ini akan dijual kembali ke konsumen.
”Untuk peredaran miras, dari pengakuan tersangka, hanya di wilayah Kabupaten Malang dengan sistem jual, bukan suplai. Orang bisa datang ke sini dan membeli Rp 50.000 per botol,” ujar Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Malang Ajun Komisaris Aditya Permana.
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang Izzah Elmaila menyatakan, miras seperti ini tidak terukur kadarnya, tidak diketahui apakah hanya mengandung etanol atau juga methanol.
Padahal, jika mengandung metanol akan sangat berbahaya bagi tubuh peminumnya. Sejumlah organ, seperti jantung, hati, dan ginjal bisa rusak yang akhirnya berujung pada kematian.
”Karena tidak terukur, kebetulan hanya 30 persen. Namun, jika dari proses yang tidak standar, tentunya ini tidak bisa ditentukan kadarnya secara pasti,” katanya.
Lantaran dibuat tidak melalui proses yang terstandardisasi, bisa jadi miras yang diproduksi keduanya mengandung alkohol dengan rentang 20-40 persen. Kondisi ini berbeda dengan miras yang diproduksi secara legal, dengan standar dan pengawasan dalam pembuatannya.
Ketika tidak ada kepastian soal kandungan alkohol, maka konsumen akan kebingungan saat menghitung berapa banyak miras akan mereka konsumsi. Akibatnya, dosis yang masuk ke tubuh juga tidak terukur.
Baca juga: Metanol, Bahan Campuran Miras Oplosan yang Mematikan
Ketika tidak terukur, maka hal itu akan memunculkan efek yang berbahaya bagi tubuh. Denyut jantung akan bergerak cepat, koma, hingga menimbulkan kematian. Alkohol 30 persen ini merupakan kategori C. Jika dirunut dengan alkohol di pasaran, kandungan itu sudah tinggi, yakni 20-55 persen.
Orang bisa datang ke sini dan membeli Rp 50.000 per botol.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang Kamilin menyatakan, pemerintah daerah tidak pernah mengizinkan industri miras rumah tangga. Izin industri miras ada di Kementerian Perdagangan.
”Daerah tidak sampai ke situ karena kadar dan standardisasi tidak jelas sehingga berbahaya. Karena itu, tepat kalau polres tindak kegiatan ilegal ini,” ujarnya.
Atas dampak yang ditimbulkannya itulah, polisi menjerat keduanya dengan pasal berlapis, yakni Pasal 204 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Pasal 62 Ayat 1 juncto Pasal 8 Ayat 1 Huruf A UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kemudian Pasal 140 juncto Pasal 182 Ayat 2 UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 4 miliar.