Ubi Pangan Alternatif: dari Embal Maluku Hingga Tiwul Yogyakarta
Jika hanya mengandalkan beras, Maluku mungkin akan krisis pangan ekstrem. Pangan lokal embal mencegah hal itu terjadi.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE, MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Jika hanya mengandalkan beras, kawasan Kepulauan Maluku akan selalu mengalami krisis pangan ekstrem. Produksi beras di daerah itu jauh di bawah konsumsi. Apalagi, harga beras juga meroket belakangan ini. Namun, krisis itu tidak terjadi karena masyarakatnya merawat pangan lokal khususnya berbahan ubi, sagu, dan hotong.
Embal berbahan dasar ubi menjadi salah satu jenis pangan yang masih cukup luas dikonsumsi masyarakat di Kepulauan Maluku khususnya di Kota Tual, Kabupaten Maluku Tenggara (Maluku), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara).
Pangan lokal ini sangat mudah ditemukan di pasar maupun di rumah-rumah warga. Embal yang sering dikonsumsi adalah embal kering yang disebut juga suami. Bahan pangan ini memiliki rasa tawar, berwarna putih, dan bertesktur sedikit kasar, mirip daging kelapa muda parut.
“Meski ada beras, embal selalu diburu masyarakat. Hampir di seluruh pasar di Kota Tual dan Maluku Tenggara menjual embal. Makan embal lebih kenyang ketimbang nasi,” kata Maria Ditubun (35), warga Desa Ohoijang, Kabupaten Maluku Tenggara.
Embal dibuat dari bahan dasar singkong atau ubi kayu. Setelah dipanen, ubi dibersihkan lalu diparut. Hasil parutan dibungkus dengan kain saring. Setelahnya, batu ditumpuk di atas embal untuk mengeluarkan kandungan air. Cara ini juga merupakan kearifan lokal untuk mengeluarkan kandungan racun sianida dari ubi.
Embal yang sudah diperas lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama satu hari. Embal yang sudah kering ini siap dijual untuk dikonsumsi. Satu kilogram embal kering dihargai sekitar Rp 100.000 per kilogram. Bila pasokan sulit, harganya embal kerap meroket.
Mahfud Lohor (42), petani asal Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, menyebutkan, embal biasa dikonsumsi petani karena memberi energi yang lebih besar ketimbang nasi. Pangan ini masih menjadi pilihan para petani. Singkong juga lebih mudah ditanam sehingga membuat pasokannya lebih mudah didapat sehari-hari.
“Kami biasa makan embal sedikit lalu minum air. Nanti embalnya mengembang di dalam perut. Mungkin itu kenapa cepat kenyang,” ujarnya sambil tertawa.
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Pieter Kunu menjelaskan, pengembangan pangan di Maluku harus berorientasi pada pangan lokal, bukan hanya beras. Hal ini didasarkan pada potensi masing-masing wilayah dan kearifan lokal masyarakat.
Bila hanya bersandar pada produksi beras, kata Pieter, masyarakat Maluku akan selalu mengalami krisis pangan ekstrem. Hal tersebut tidak terjadi karena keberadaan pangan lokal. “Hanya saja, potensi dan ketersediaannya jarang dihitung dan dievaluasi dengan baik sehingga belum dikembangkan dengan optimal,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2023, konsumsi beras masyarakat Maluku sebesar 195.770 ton beras. Dengan tingkat produksi beras 44.780 ton, maka masih ada defisit yang sangat lebar sebesar 150.900 ton beras.
“Kedepan parameter kapasitas pangan lokal perlu dihitung untuk mengetahui daya dukung pangan lokal,” ucap Pieter.
Meski demikian, pangan lokal masih menghadapi sejumlah masalah seperti alih fungsi lahan menjadi kebun sawit dan pemukiman. Menurut Pieter, setiap gugus pulau di Maluku punya komoditas unggulan lokal yang bisa memenuhi nutrisi warganya, seperti biji-bijian di Maluku Barat Daya dan umbi-umbian di Maluku Tenggara.
Popularitas ubi sebagai pangan lokal juga masih hidup di DI Yogyakarta. Sejak lama ubi diolah menjadi tiwul, pangan alternatif beras, terutama di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Bukan hanya berfungsi sebagai makanan pokok, tiwul juga bisa menjadi makanan ringan atau camilan.
Tiwul terbuat dari singkong atau ketela pohon. Singkong dikupas bersih lalu ditumbuk menjadi tepung. Tepung diremas dengan tangan sambil dibasahi air sedikit demi sedikit hingga teksturnya menjadi butiran-butiran besar. Adonan dikukus dan tiwul siap dimakan.
Sebagai makanan pokok, tiwul disajikan dengan sayur dan lauk-pauk, layaknya menyantap nasi. Kalau sebagai camilan, pasangan tiwul paling lazim adalah gula jawa atau gula merah dan kelapa parut.
Saat ini banyak pula bermunculan “genre” tiwul camilan dengan beraneka rupa dan rasa. Varian ini mengikuti perkembangan zaman dan peminat yang lebih luas.
Salah satu varian yang muncul adalah gerai bernama Thiwul Kukus. Selain rasa “ori” gula jawa, gerai itu menawarkan tiwul kukus rasa coklat, gula pasir, stroberi, keju, dan pandan. Ada pula kreasi tiwul bakar dengan varian teh hijau, tiramisu, vanila oreo, keju, choco crunchy, dan stroberi.
“Kreasi ini agar tiwul bisa menjangkau semua kalangan, termasuk anak muda. Selama ini tiwul kerap dianggap sebagai makanan orang tua,” kata Restu, Kepala Toko Thiwul Kukus cabang Kalasan, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (20/3/2024).
Variasi tiwul terbukti menarik minat konsumen. Bukan hanya wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, tapi juga warga Yogyakarta sendiri.
Berdasarkan makalah berjudul “The Exploration of Thiwul Gastronomic: Gastronomy and Tourism Studies in Yogyakarta-Indonesia”, tiwul adalah bagian integral dari identitas budaya warga Gunungkidul. Makalah itu dimuat di The American Journal of Humanities and Social Sciences Research volume 7 issue 01 Januari 2023.
Makalah yang disusun oleh Marwanti, Minta Harsana, Kadarsih, dan Diptya Andaru Pramudita dari Universitas Negeri Yogyakarta tersebut mengungkapkan, tiwul memiliki nilai sejarah, tradisi, dan simbolis dalam kehidupan sehari-hari warga. Karena itu, melestarikan tiwul sebagai warisan gastronomi Gunungkidul juga menjaga keanekaragaman kuliner bangsa.
Makalah itu menyebut, sejarah tiwul bermula sekitar tahun 1884. Kala itu, Indonesia mengalami krisis pangan akibat kegagalan panen padi di berbagai wilayah. Warga Gunungkidul pun memanfaatkan singkong yang telah dibudidayakan di Jawa pada tahun 1852 sebagai pangan alternatif.
Tiwul kembali populer sebagai makanan pokok pengganti beras pada periode penjajahan Jepang tahun 1942-1945. Tiwul juga menjadi pangan penyelamat pada masa gejolak politik tahun 1960-an.