Mereka yang Senantiasa Menjaga Masjid dengan Ikhlas
Meski tidak digaji atau mendapat upah rutin, rasa ikhlas membuat marbot menjalankan tugas mereka dengan semangat.
Menjadi penjaga masjid atau marbot menjadi jalan pengabdian bagi banyak masyarakat di Tanah Air, termasuk di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Meski tidak digaji, mereka senantiasa menjalankan tugas mulia itu dengan ikhlas sekaligus ibadah.
Menjelang azan zuhur, sekitar pukul 11.30 Wita, Masjid Nurul Iman, Dusun Kuang Jukut, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Minggu (24/3/2024), masih lengang. Hanya terlihat Sanadi (70) sedang menyapu di halaman masjid yang berada sekitar 18 kilometer tenggara Mataram, ibu kota NTB itu.
Setelah membersihkan area luar, Sanadi mencuci kaki. Lalu menuju beranda dan menyisir area dalam masjid. Di sana, selain menyapu lantai dan karpet, ia juga membersihkan area mimbar.
Baca juga: ”Begibung”, Lambang Kebersamaan Masyarakat Lombok Saat Idul Fitri
Begitu selesai, sambil menunggu waktu zuhur tiba, ia melanjutkan memotong rumput untuk pakan sapi yang diternaknya di rumah. Aktivitas itu yang rutin dilakukan Sanadi sebagai marbot.
”Saya sudah jadi marbot sejak muda. Menggantikan mendiang marbot sebelumnya,” kata Sanadi yang tidak ingat persis tahun awal dia jadi marbot.
Yang pasti ia ingat, telah puluhan tahun dirinya jadi marbot. Hal ini membuatnya tahu perjalanan bangunan masjid yang dijaganya, mulai dari bentuk tradisional dengan atap genteng, hingga kini menjadi bangunan yang lebih megah dengan kubah besar.
Namun, bagi Sanadi, ia tidak begitu memikirkan bagaimana rupa masjid. Menurut dia, yang penting adalah masjid tetap terjaga kebersihannya sebagai tempat ibadah. Oleh karena itu, ia terus berusaha memastikan hal itu di samping azan tepat waktu.
Oleh karena itu, di luar Ramadhan, sejak pukul 03.00 Wita, ia sudah bangun tidur. Lalu shalat sunat dan mengaji. Baru berjalan kaki membawa senter karena jalan desa ke masjid yang berada sekitar 500 meter dari kediamannya, gelap.
Karena memang menjadi marbot ini bukan untuk mencari gaji.
Selama puluhan tahun menjadi marbot, Sanadi mengaku tidak mendapat honor atau upah bulanan. Kecuali beberapa tahun terakhir.
”Saya lupa persisnya, tetapi pernah dapat sekitar Rp 1 juta untuk enam bulan. Dibuatkan rekening dan dikirim ke sana. Kadang juga ada dari desa diminta ke sana untuk ambil,” kata Sanadi.
Namun, Sanadi mengaku tidak begitu memikirkan honor. Apalagi ia memang sangat mencintai tugas yang dilakukannya dengan ikhlas itu. Ia mengaku dirinya suka merasa berat jika harus keluar kampung karena membuatnya meninggalkan masjid.
Sementara untuk urusan kebutuhan sehari-hari, sudah cukup dari keluarga. Ia juga punya simpanan untuk belanja dari hasil beternak sapi dan hasil panen di sawah.
Bertugas dengan ikhlas
Semangat serupa disampaikan marbot di Masjid Mamba’ul Hikmah, Lingkungan Taman Gajah Mada, Kelurahan Taman Sari, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Letaknya yang berada di pertemuan berbagai jalan utama di Mataram membuat masjid ini setiap hari disinggahi banyak orang untuk melaksanakan shalat lima waktu berjamaah. Termasuk di bulan Ramadhan.
Seperti terlihat pada Sabtu (23/3/2024) sore. Setelah berwudhu dan masuk masjid, pengunjung lantas melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid atau shalat sunah saat masuk masjid. Seusai shalat, ada yang berzikir hingga membaca Al Quran untuk menunggu waktu Ashar tiba.
Di sisi selatan luar masjid, Suarno (65) terlihat mengambil sapu dan alat pengangkut sampah. Ia kemudian mengumpulkan dedaunan yang jatuh di sana dan menaruhnya di bak sampah.
Begitu selesai, ia kembali ke masjid untuk bersiap-siap menunaikan shalat Ashar. ”Kali ini bukan saya yang azan. Nanti ada adik-adik mahasiswa yang memang kami minta jadi marbot juga di sini,” kata Suarno.
Baca juga: Marbot, Pekerjaan Sukarela yang Menenteramkan
Suarno telah menjadi marbot di Masjid Mamba’ul Hikmah sejak 2013. Itu atas permintaan warga di lingkungan tersebut. Tetapi, ia tidak sendiri karena takmir masjid atau pengurus masjid tersebut juga secara rutin mengajak mahasiswa untuk tinggal di masjid dan menjadi marbot.
”Setiap tahun ada mahasiswa yang jadi marbot. Setelah selesai, cari pengganti. Itu pun dari rekomendasi mahasiswa sebelumnya. Langkah ini kami lakukan untuk membantu mereka menghemat kos karena dikasih tempat tinggal, juga uang untuk belanja,” kata Ketua Takmir Masjid Mamba’ul Hikmah Alimin Ali (71).
Selain azan, kata Suarno, mereka juga bertugas membersihkan bagian luar dan dalam masjid. Termasuk mengepel serta membersihkan debu di karpet masjid. Di luar Ramadhan, ia datang ke masjid menjelang Subuh. Sementara pada bulan Ramadhan, ia datang ke masjid sekitar pukul 03.00 pagi untuk membangunkan sahur.
”Tetapi, menjalakan tugas sebagai marbot tanpa ada keterpaksaan. Saya ikhlas,” kata Suarno.
Baca juga: Jalan Mulia Meniti Karier Para Mantan Marbot
Keikhlasan itu yang juga membuat Suarno tidak memikirkan apakah mendapat upah atau tidak. Ia mengaku memang mendapat Rp 250.000 dari Pemerintah Kota Mataram setiap bulan dan dibayar per enam bulan sekali.
”Dikasih Alhamdulillah. Tidak dikasih juga tidak apa-apa. Karena memang menjadi marbot ini bukan untuk mencari gaji,” kata Suarno.
Di luar sebagai marbot, Suarno mengatakan sehari-hari membantu istri berjualan sayur-mayur. Oleh karena itu, setelah pulang dari masjid, ia biasanya menemani istri ke pasar untuk belanja. Kemudian ke masjid lagi untuk mengecek kondisi di sana dan kembali lagi saat menjelang shalat wajib.
Keikhlasan juga yang mendorong Saeful Mahrip (52) yang kurang dari dua tahun menjadi marbot di Masjid Namira, Narmada, Lombok Barat. Di samping itu, ia melanjutkan semangat keluarganya yang juga marbot. Menurut Saeful, dari bapak hingga paman, sebelumnya juga marbot.
Baca juga: Masjid Bayan Beleq, Penanda Awal Islam di Lombok
Saat ini, hampir setiap hari Saeful yang sebelumnya menjadi kepala dusun Lingsar Barat, datang ke Masjid Namira Narmada. ”Jam 04.00 pagi saya sudah di sini sampai 21.00,” kata Saeful, Selasa (19/3/2024) lalu.
Selain azan tepat waktu, ia juga bertugas memastikan masjid berukuran 12 x 14 meter persegi itu tetap bersih. Biaya perawatan masjid diperoleh dari sumbangan jamaah yang datang dan beribadah di sana.
Menurut Saeful, ia tidak mendapat upah sebagai marbot di masjid yang selesai dibangun Oktober 2022 itu. Tetapi, di tahun awal, ia pernah mendapat Rp 1 juta per bulan dari donator yang membangun masjid tersebut. Tetapi, setelahnya, hingga saat ini sudah tidak ada lagi.
”Dari pemerintah kabupaten Lombok Barat juga tidak ada. Tetapi, saya tidak terlalu memikirkan itu. Ada atau tidak, yang penting ini (marbot) adalah ibadah, bentuk pengabdian. Saya sekarang selalu kangen masjid,” kata Saeful.
Baca juga: Dukungan Pemda Turut Sejahterakan Marbot
Ayah dua anak itu mengaku, untuk belanja kebutuhan, ia sesekali menjadi ojek. Pendapatannya tidak menentu. Kadang bisa mendapat Rp 30.000-Rp 40.000. ”Tetapi, kadang juga tidak dapat,” kata Saeful.