Harap Cemas Pedagang Pakaian Bekas di Kendari
Hingga pertengahan Ramadhan, masyarakat masih menahan untuk berbelanja. Dampak kenaikan harga makanan, terutama beras.
Di depan jejeran dagangan baju dan celana bekas miliknya, Nisar (36) gusar memandang jalanan. Pembeli masih sepi di pertengahan Ramadhan, sementara dagangan masih menumpuk. Efek kejut kenaikan harga beras ditengarai memengaruhi pola belanja masyarakat selama Ramadhan.
Cerah matahari sore menembus sela-sela kios dagangan Sinar, Sabtu (23/3/2024). Segelintir calon pembeli datang dan mengecek pakaian. Kaus, celana, hingga jaket menjadi sasaran. Namun, sebagian di antara mereka berlalu tanpa bertanya.
”Kalau dulu, minggu pertama Ramadhan saja sudah ramai cari RB (rombengan). Ini sudah mau masuk minggu ketiga sepi betul,” ujarnya, di pasar pakaian bekas Lawata, Kendari, Sulawesi Tenggara. Pasar Lawata adalah salah satu kawasan pakaian bekas yang legendaris di ”Kota Lulo” ini.
Saat masa ramai tersebut, ia mengenang, pembeli menumpuk. Jalanan macet sejak pukul 16.00 Wita hingga menjelang berbuka. Bisnis pakaian laris manis. Dalam sehari ia bisa mendapatkan omzet di atas Rp 1 juta. Ia telah berjualan pakaian bekas lebih dari satu dekade terakhir.
Baca juga: Saat Pedagang Rombeng di Kendari Terpuruk Dihantam Pandemi Covid-19
Namun, kondisi berbeda terjadi saat ini. Rata-rata pendapatan harian di bawah Rp 500.000. Situasi ini bahkan di bawah pendapatannya di luar Ramadhan. Sejak masa Covid-19, tambahnya, bisnis pakaian bekas memang tidak selancar sebelumnya. Barang sulit didapatkan, dan harga turut naik. Mau tidak mau ia juga menaikkan harga jual kepada pembeli.
”Tapi, sekarang tidak tahu kenapa sepi sekali, padahal kami berharap sudah ada tambahan untuk Lebaran nati,” ujar Sinar.
Pedagang lainnya, Aswar (23), berjalan berkeliling kios miliknya. Duduk sebenar, ia kembali ke depan untuk mengecek pembali. Namun, lebih dari setengah jam, hanya ada kurang dari sepuluh pengunjung. Itu pun belum ada yang membeli.
Padahal, ia telah menyiapkan satu bal pakaian untuk dibuka sore itu. Warga mengenalnya dengan istilah ”buka baru”. Membuka bal biasanya dilakukan di akhir pekan, saat pengunjung mengerubungi dan berusaha mencari pakaian terbaik. Tidak jarang calon pembeli saling tarik dan teriak satu sama lain.
”Kalau dibuka, siapa yang mau beli? Kayaknya saya mau jualan takjil saja,” katanya berkelakar.
Menurut Aswar, setiap pedagang pakaian bekas tentu menyiapkan modal untuk memasuki Ramadhan. Mereka menyiapkan stok pakaian yang akan dijajakan selama hampir sebulan. Dengan harga barang yang cukup tinggi, mereka harus menyiapkan modal lebih.
Harga satu bal kaus sekitar Rp 8 juta, celana Rp 9 juta, dan topi Rp 10 juta. Harga paling bawah adalah celana olahraga yang berkisar Rp 6 juta per bal. Setiap pedagang mengeluarkan anggaran tidak sedikit untuk momen Ramadhan.
”Yang bingung kenapa orang belum belanja ini. Apa karena harga beras mahal? Atau menunggu sampai tanggal baru nanti? Semoga hari-hari besok lebih ramai,” ucapnya.
Hingga lewat pukul 17.00 Wita, suasana Pasar Lawata jauh dari ramai. Suasana ramai terjadi di sudut jalan yang berdagang takjil.
Jimmy (35), salah seorang pengunjung, menuturkan, setiap Ramadhan ia memang mengalokasikan khusus untuk berbelanja. Pakaian bekas selalu menjadi incarannya, bahkan di luar Ramadhan.
Namun, ia juga tengah gemar berbelanja daring. Beberapa keperluannya ia beli dari berbagai aplikasi penjualan. Lebih penting, ia mengalokasikan untuk belanja makanan dan kebutuhan rumah tangga.
Di Sultra alokasi belanja masyarakat memang di kisaran 60 persen untuk makanan, selebihnya untuk nonmakanan.
Perubahan pola
Berdasaran survei lembaga riset pasar YouGov pada Januari lalu, selain zakat, alokasi anggaran yang meningkat tinggi pada Ramadhan tahun ini adalah pos belanja untuk makanan dan minuman. Dari hasil survei, belanja keperluan makanan dan minuman pada Ramadhan tahun ini diperkirakan akan meningkat sebesar 48 persen dari Ramadhan tahun lalu.
Naiknya alokasi anggaran konsumsi tersebut mengindikasikan sejumlah hal. Pertama, daya beli masyarakat meningkat sehingga mengalokasikan dana lebih besar untuk dibelanjakan. Kedua, kebutuhannya memang meningkat seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian sehingga perlu konsumsi lebih banyak karena jumlah keluarga yang berkumpul juga bertambah.
Ketiga, kenaikan harga barang kebutuhan sehingga mendorong alokasi belanja juga turut meningkat meski jumlah yang dibeli relatif sama. Khusus kenaikan harga barang konsumsi tersebut, kemungkinan besar memang terjadi sekarang ini.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret 2024, penyumbang inflasi terbesar pada akhir bulan lalu mayoritas bersumber dari sektor makanan, minuman, dan tembakau (Kompas, Selasa, 19/3/2024).
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Haluoleo Syamsir Nur mengungkapkan, ada kecenderungan masyarakat menahan pola belanja dan pola komsumsi. Hal itu terjadi setelah ada efek kejut kenaikan harga beras beberapa waktu terakhir.
Situasi itu menyebabkan warga memitigasi pengeluaran. Di tengah suasana Ramadhan yang membutuhkan pengeluaran berlebih, pola belanja harus diupayakan berbeda dan tidak jorjoran.
”Di Sultra alokasi belanja masyarakat memang di kisaran 60 persen untuk makanan, selebihnya untuk nonmakanan. Di minggu ketiga Ramadhan nanti ini akan kelihatan polanya. Selain makanan, pasti akan banyak ke pakaian, perabot rumah tangga, dan transportasi,” ucapnya.
Baca juga: Kaum Milenial dan Gen Z Makin Gemari Pakaian Bekas
Alokasi tunjangan hari raya (THR), tutur Syamsir, akan membantu masyarakat. Namun, kenaikan harga yang masih terjadi membuat alokasi belanja tetap harus terjaga. Terlebih lagi kenaikan harga makanan, seperti beras, diprediksi hingga April mendatang.
Pakaian bekas impor sebenarnya dilarang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Namun, secara global, pasar pakaian bekas justru melampaui pasar pakaian jadi.
Menurut laporan terbaru oleh thredUP, pasar pakaian bekas global diperkirakan tumbuh 127 persen pada tahun 2026. Pertumbuhan ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan pasar pakaian secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, proyeksi-proyeksi ini menandakan evolusi dalam industri mode. Pasar pakaian jadi diperkirakan akan melemah, terutama untuk fast fashion (pakaian yang diproduksi dengan cepat dan harganya terjangkau). Fast fashion memproduksi pakaian dengan cepat, tetapi sering kali menghasilkan kualitas yang lebih rendah.
Konsumen kerap harus membuang pakaian setelah 10 kali pemakaian sehingga mereka terus membeli pakaian baru. Sementara pasar pakaian bekas menawarkan penggunaan kembali pakaian yang tahan lebih lama dan dapat dijual kembali berkali-kali (Kompas, 19/1/2024).