Lagi, Belasan Remaja di Lampung Terlibat Perang Sarung
Perang sarung yang melibatkan remaja terus terjadi di Lampung. Perlu upaya serius untuk mencegah peristiwa itu terulang.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Fenomena perang sarung yang melibatkan remaja kembali terjadi di Lampung. Pada Jumat (22/3/2024) dini hari, belasan remaja terlibat perang sarung di Bandar Lampung setelah saling tantang lewat media sosial.
Kepala Kepolisian Sektor Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung, Komisaris Adit Priyanto mengatakan, terdapat 13 remaja yang terlibat perang sarung pada Jumat dini hari di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Bumiwaras, Bandar Lampung.
Ketiga belas remaja itu adalah AG (15), RF (17), VN (17), AJ (16), ZI (17), MS (15), AS (16), JS (16), DL (17), DE (16), JT (17), MA (17), dan AA (16). Para remaja itu tergabung dalam dua kelompok berbeda, yaitu Portal 21 LPG dari Keluarahan Sukaraja dan Kalbab 04 Selatan dari Kelurahan Bumi Waras.
”Awalnya mereka saling tantang lewat media sosial, lalu kedua kelompok ini sepakat bertemu,” kata Adit di Bandar Lampung, Sabtu (23/3/2024).
Semula, kedua kelompok itu sepakat untuk bertemu di wilayah Pahoman, Bandar Lampung. Namun, mereka kemudian bertemu di depan Puskesmas Sukaraja di Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Bumi Waras. Selain berkelahi menggunakan sarung, para remaja itu saling serang menggunakan petasan dan besi.
Polisi kemudian membawa para remaja itu ke kantor polisi untuk dilakukan pembinaan. Mereka diminta untuk membuat surat pernyataan tidak mengulangi hal serupa. Orangtua para remaja itu juga dipanggil untuk menjemput anak-anaknya.
Sebelumnya diberitakan, Levino Rafa Fadila (14), remaja asal Desa Kecapi, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, tewas setelah terlibat perang sarung di sekitar tempat tinggalnya. Peristiwa naas itu terjadi pada Senin (18/3/2024) malam di Jalan Kecapi Pematang, Desa Kecapi, sekitar pukul 22.00.
Saat itu sekelompok remaja dari Desa Kecapi dan Desa Pematang berkumpul dan melakukan perang sarung. Korban yang ikut dalam permainan perang sarung itu tiba-tiba terkapar di jalan. Setelah itu, korban dibawa ke bidan terdekat.
Karena sudah tidak sadarkan diri, Levino kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bob Bazar, Kalianda, untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Namun, korban dinyatakan meninggal di rumah sakit.
Kepala Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Besar Yusriandi Yusrin mengatakan, polisi telah memeriksa setidaknya 22 saksi dalam kasus tersebut. Saksi yang diperiksa adalah para remaja dari Desa Kecapi dan Desa Pematang yang terlibat perang sarung.
Selain itu, polisi juga meminta keterangan dari sejumlah warga yang menjadi saksi di sekitar lokasi kejadian. ”Kami masih mendalami dan mencari bukti yang cukup untuk menentukan siapa yang diduga melakukan perbuatan kekerasan terhadap korban,” kata Yusriandi.
Menurut dia, penyidik telah mengambil pakaian dan sandal milik korban sebagai barang bukti. Saat ini, polisi tengah mencari barang bukti lain dalam kasus itu. Selain sarung, polisi menduga ada benda-benda lain yang digunakan, seperti batu atau besi.
Sebab, hasil otopsi oleh tim forensik di RS Bob Bazar menyimpulkan, korban mengalami mati lemas akibat trauma benda tumpul di kepala. Selain itu, ditemukan pula luka memar pada bagian punggung dan lutut. Namun, polisi masih menunggu hasil uji laboratorium untuk mengetahui penyebab pasti meninggalnya korban.
Setelah kejadian itu, Polres Lampung Selatan langsung mengeluarkan imbauan di media sosial agar masyarakat menghentikan permainan perang sarung. Polisi mengajak semua pihak menjaga dan mengawasi anak-anaknya saat bermain di luar rumah. ”Jangan biarkan anak-anak menjadi korban akibat permainan perang sarung ini,” kata Yusriandi.
Polres Lampung Selatan juga meningkatkan patroli selama Ramadhan untuk mencegah terjadinya aksi kenakalan remaja, seperti tawuran atau balap liar. Patroli difokuskan di sejumlah daerah rawan di Lampung Selatan.
Kehilangan empati
Dosen pengajar Hukum dan Kriminologi Universitas Lampung, Heni Siswanto, berpendapat, saat ini banyak remaja yang kehilangan rasa untuk menjaga etika, empati, dan moral. Kondisi itulah yang membuat terjadinya kenakalan remaja yang berakibat fatal.
Perang sarung antarkelompok seperti yang terjadi di Lampung Selatan dipandang sebagai cara para remaja untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka ingin dianggap tangguh, punya nyali, dan mampu bertahan oleh teman-temannya.
Akan tetapi, anak-anak itu tidak hanya menggunakan sarung saat bermain perang-perangan. Ada yang iseng menyisipkan benda-benda keras, seperti batu atau besi, di dalam sarung yang digunakan. Para remaja tersebut juga tidak memahami risiko buruk atas perbuatannya.
Heni menuturkan, sebelum maraknya perang sarung, anak-anak sering berkumpul dan bermain petasan seusai shalat Tarawih atau sebelum sahur. Saat petasan dilarang, para remaja mencari jenis-jenis permainan baru saat berkumpul dengan teman-temannya, salah satunya dengan bermain perang sarung. Namun, permainan itu kini berkembang menjadi cara baru untuk tawuran.