Kisah Marbot, Jalan Menuju Ketakwaan
Marbot masjid memiliki peran penting. Meski upah rendah, mereka ikhlas menjalani profesi itu.
Muhammad Syafiq Ismail (23) menjalani profesi sebagai marbot masjid dengan bahagia. Meski upah rendah, ia mendapati ketenangan batin yang tidak bisa dihargai dengan rupiah. Baginya marbot adalah jalan menuju ketakwaan.
Setelah menyantap makan sahur, Kamis (21/3/2024), tidak ada waktu untuk bersantai. Mengenakan celana kain dan baju kaus, Syafiq langsung menyiapkan kebutuhan untuk shalat Subuh berjamaah di Masjid Ar-Rahman, Desa Merduati, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.
Menyalakan lampu, kipas angin, memutar suara pengajian, serta membersihkan karpet dan tempat wudhu telah menjadi rutinitas yang dilakukan setiap menjelang waktu shalat. Setelah semua urusan beres, dia kembali ke ruangan pengurus masjid.
Baca juga: Jalan Mulia Meniti Karier Para Mantan Marbot
Setelah muazin mengumandangkan azan, Syafiq keluar dengan mengenakan baju koko yang dibalut jubah imam dan kopiah hitam. Kini Syafiq terlihat lebih bersahaja. Syafiq mengimami shalat Subuh dan memimpin doa.
”Kalau tidak ada imam, saya yang menggantikan,” ujar Syafiq.
Menjadi imam bukan tugas utama marbot, tetapi dia harus bersiap mengisi posisi itu jika imam utama berhalangan. Berstatus sebagai sarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh menjadikannya dinilai cukup syarat menjadi imam. Selain ilmu agama yang mumpuni, bacaan surat Al Quran juga fasih.
Ini tahun ke empat Syafiq menjadi marbot. Profesi itu mulai dijalani tahun 2021, semester lima. Alasan utama menjadi marbot agar menghemat pengeluaran dan jalan menjaga ketakwaan.
Setelah lulus di Sekolah Aliyah Negeri di Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Syafiq memilih melanjutkan kuliah ke Banda Aceh. Berasal dari keluarga ekonomi lemah membuatnya harus mencari jalan agar tetap bisa berkuliah tanpa menghabiskan biaya besar.
Kebersihan masjid ada pada tangan marbot. Masjid yang bersih membuat jemaah nyaman dan ibadah khusyuk.
”Sejak awal tiba di Banda Aceh, saya memang mencari masjid. Paling tidak dengan menjadi marbot saya memiliki tempat tinggal tanpa harus bayar. Syukur-syukur saya mendapat sedikit honor,” kata Syafiq.
Kala itu dia mendatangi satu per satu masjid yang berada di seputar kampus. Namun, rata-rata masjid itu sudah memiliki marbot, umumnya juga para mahasiswa. Nyaris menyerah, akhirnya seseorang memberikan informasi ke dirinya: masjid Ar-Rahman membutuhkan marbot.
”Akhirnya Tuhan mendengar doa saya, mengizinkan saya tinggal di rumah-Nya,” kata Syafiq.
Sebuah kamar ukuran 3 x 2 meter ditempati Syafiq bersama seorang marbot yang lain. Kamar itu terhubung dengan ruangan kerja pengurus masjid dan ruang istirahat imam. Kasur busa, lemari kayu, gantungan baju, hingga celengan masjid berbagi tempat di ruang itu. Sekilas kamar marbot tidak ubahnya kamar kos mahasiswa.
Tugas utama Syafiq menjaga kebersihan lingkungan masjid. Menjadi marbot pun dirasanya tidak mengganggu jadwal kuliah.
Baca juga: Marbot Masjid Masih Jauh dari Sejahtera
Tidak ada kontrak kerja, sebab marbot tidak dianggap sebagai pekerjaan formal. Formal dianggap pekerjaan paruh waktu dan bentuk pengabdian kepada agama. Meski demikian, Syafiq mendapatkan upah Rp 200.000 per pekan, setiap usai shalat Jumat. Upah untuk para marbot diambil dari infak jemaah.
Mereka pun tidak mendapatkan jaminan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk menambah penghasilan, Syafiq mengajar pengajian privat ke rumah-rumah dan menjadi guru honorer di sekolah swasta.
Meski sudah mengantongi gelar sarjana, dia masih menikmati menjalani profesi itu. Pendapatan sebagai marbot kecil, tetapi Syafiq ibadahnya disiplin. Dia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Namun, suatu hari dia ingin mendapatkan pekerjaan lain dengan pendapatan yang lebih baik, seperti pegawai negeri atau karyawan swasta.
”Kalau sudah menikah, kan, tidak cocok lagi jadi marbot. Harus punya rumah sendiri dan biaya hidup akan lebih besar,” kata Syafiq.
Tidak terdata
Mayoritas warga Aceh memandang marbot bukan pekerjaan formal. Oleh sebab itu, tidak terdata berapa jumlah marbot. Namun, dapat dipastikan di semua masjid terdapat marbot.
Ketua Tim Kemasjidan dan Hisab Rukyat pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh Alfirdaus Putra mengatakan, meski tidak dianggap pekerjaan formal, peran marbot sangat penting. Keberadaan marbot diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No DJ.II/802/2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid.
Dalam surat keputusan itu, aktivitas marbot masuk dalam kategori ri’ayah. Tanggung jawabnya meliputi pemeliharaan lingkungan, kebersihan, serta keamanan masjid. Meski demikian, dalam praktiknya marbot melakukan lebih banyak pekerjaan, bahkan hingga menjadi imam pengganti.
Firdaus mengatakan, tidak ada regulasi yang mengatur besaran upah dan hak para marbot. Besaran upah tergantung kondisi keuangan masjid. Karena marbot dianggap bagian dari ibadah, tidak ada yang mempersoalkan besaran upahnya.
Data dari Kemenag Aceh, jumlah masjid di provinsi itu sebanyak 4.443 unit yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Status setiap masjid berbeda, seperti masjid raya, masjid agung, masjid besar, dan kemukiman.
Perbedaan level status memengaruhi kondisi anggaran masjid. Misalnya, Masjid Raya Baiturrahman Aceh berada di bawah pengelolaan UPTD yang dibentuk oleh gubernur. Selain dari infak jemaah, masjid raya juga mendapatkan alokasi anggaran dari APBD Aceh.
Baca juga: Dukungan Pemda Turut Sejahterakan Marbot
Firdaus mengatakan, tidak terdata berapa jumlah marbot di Aceh. Namun, dapat dipastikan setiap masjid memiliki marbot.
Sementara itu, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Aceh Syekh Fakhruddin Lahmuddin mengatakan, tidak bisa dipungkiri, tanpa marbot pelaksanaan ibadah di masjid tidak akan berjalan lancar. Namun, tidak ada aturan teknis yang mengatur tentang hak dan kewajiban marbot.
”Kebersihan masjid ada pada tangan marbot. Masjid yang bersih membuat jemaah nyaman dan ibadah khusyuk,” kata Fakhruddin.
Fakhruddin mengatakan, profesi marbot merupakan pekerjaan paruh waktu yang tidak menyita waktu sepanjang hari sehingga kerap dianggap pekerjaan sampingan. ”Soal upah kesepakatan antara pengurus masjid dan marbot, tergantung kemampuan masjid,” kata Fakhruddin.
Fakhruddin mengatakan, pengurus masjid perlu memperhatikan kesejahteraan marbot. Aset masjid perlu diberdayakan agar memberikan pemasukan untuk masjid sehingga dapat memakmurkan masjid, termasuk para marbot.