Ironi Perang Sarung di Bulan Ramadhan, Nyawa Pun Melayang
Perang sarung yang berujung maut di kalangan remaja menjadi ironi.
Levino Rafa Fadila (14) meninggal di tangan remaja seusianya saat bulan Ramadhan baru berjalan sepekan. Peristiwa memilukan yang merenggut nyawa Levino itu terjadi pada Senin (18/3/2024) sekitar pukul 21.00 WIB di Jalan Kecapi-Pematang, Desa Kecapi, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. Lampung.
Seusai shalat Tarawih, sekelompok remaja dari Desa Kecapi dan Desa Pematang berkumpul di jalanan sembari membawa sarung.
Menurut Hendri (45), ayah korban, anaknya pulang ke rumah sebelum ikut bermain perang sarung bersama para remaja seusianya. ”Setelah shalat Tarawih, dia pulang ke rumah. Lalu, ia minta izin main dengan teman-temannya,” katanya.
Hendri tak pernah mengira permainan saling sabet menggunakan sarung berujung maut hingga merenggut nyawa anak bungsunya. Malam itu, Hendri yang sedang berada di pos ronda kampung melihat anaknya dibonceng menggunakan sepeda motor.
Baca juga: Perang Sarung Berujung Maut, Remaja di Lampung Selatan Tewas
Beberapa menit kemudian, ia sudah mendapat kabar kalau anaknya dibawa ke rumah bidan desa. Ia pun tergesa-gesa menyusul ke rumah bidan desa. Sesampainya di sana, Hendri mendapati anaknya sudah dalam keadaan lemas.
Sang bidan pun akhirnya menyarankan agar Hendri membawa Levino ke Rumah Sakit Bob Bazar, Kalianda. Selama di perjalanan, anaknya sudah tak sadarkan diri. ”Saya ajak ngomong sudah tidak respons,” ujarnya.
Pihak rumah sakit kemudian menyatakan bahwa Levino sudah meninggal pada Senin tengah malam. Hingga kini, kasus meninggalnya Levino masih diselidiki oleh Polres Lampung Selatan. Hingga Kamis (21/3/2024), polisi telah memeriksa setidaknya 22 saksi dalam kasus tersebut.
Kepala Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Besar Yusriandi Yusrin mengatakan, para saksi yang diperiksa adalah para remaja dari Desa Kecapi dan Desa Pematang yang terlibat perang sarung. Selain itu, polisi juga meminta keterangan sejumlah warga yang menjadi saksi di sekitar lokasi kejadian.
”Kami masih mendalami dan mencari bukti yang cukup untuk menentukan siapa yang diduga melakukan perbuatan kekerasan terhadap korban,” katanya.
Menurut Yusriandi, penyidik telah mengambil pakaian dan sandal milik korban sebagai barang bukti. Saat ini, polisi tengah mencari barang bukti lain dalam kasus itu. Selain sarung, polisi menduga ada benda-benda lain yang digunakan, seperti batu atau besi.
Sebab, hasil otopsi oleh tim forensik di RS Bob Bazar menyimpulkan, korban mengalami mati lemas akibat trauma benda tumpul di kepala. Selain itu, ditemukan pula luka memar pada bagian punggung dan lutut. Namun, polisi masih menunggu hasil uji laboratorium untuk mengetahui penyebab pasti meninggalnya korban.
Baca juga: Perang Sarung Purbalingga Digagalkan
Setelah kejadian itu, Polres Lampung Selatan langsung mengeluarkan imbauan di media sosial agar masyarakat menghentikan permainan perang sarung. Pihaknya mengajak semua pihak menjaga dan mengawasi anak-anaknya saat bermain di luar rumah. ”Jangan biarkan anak-anak menjadi korban akibat permainan perang sarung ini,” kata Yusriandi.
Polres Lampung Selatan juga meningkatkan patroli selama Ramadhan untuk mencegah terjadinya aksi kenakalan remaja, seperti tawuran atau balap liar. Patroli pun difokuskan di sejumlah daerah rawan di Lampung Selatan.
Perang sarung tak hanya marak terjadi di Lampung. Pada Rabu (13/3/2024), sebanyak 21 remaja diamankan saat hendak melakukan perang sarung di Lapangan Jaka Kusuma Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Mereka kemudian dibawa ke kantor polisi untuk dibina.
Kehilangan norma
Dosen hukum dan kriminologi dari Universitas Lampung, Heni Siswanto, menyatakan amat prihatin atas peristiwa tersebut. Ia menyebut, saat ini anak-anak cenderung kehilangan rasa untuk saling menjaga etika, empati, dan moral. Kondisi itu yang membuat kenakalan remaja yang dilakukan sering kali berakibat fatal.
Perang sarung antarkelompok seperti yang terjadi di Lampung Selatan dipandang sebagai cara para remaja itu untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka ingin dianggap tangguh, punya nyali, dan mampu bertahan, oleh teman-temannya.
Namun, anak-anak itu tidak hanya menggunakan sarung saat bermain perang-perangan. Ada yang iseng menyisipkan benda-benda keras, seperti batu atau besi di dalam sarung yang digunakan. Para remaja tersebut juga tidak memahami risiko buruk atas perbuatannya.
Lihat juga: Fenomena Tawuran Remaja Terjadi sejak Puluhan Tahun Silam
Heni mengamati, sebelumnya anak-anak sering berkumpul dan bermain petasan seusai shalat Tarawih atau sebelum sahur. Saat petasan dilarang, para remaja mencari jenis-jenis permainan baru untuk bisa berkumpul dengan teman-temannya, salah satunya dengan bermain perang sarung. Namun, permainan itu kini berkembang menjadi cara baru untuk tawuran.
Menurut dia, peran semua pihak untuk berupaya pencegahan sangat dibutuhkan. Ia mendorong agar aparat kepolisian meningkatkan patroli setelah shalat Tarawih dan sebelum sahur untuk mencegah aksi kenakalan remaja. Pemerintah desa atau pengurus rukun warga juga harus berperan mencegah aksi perang sarung di lingkungannya.
Anak-anak yang melakukan kenakalan biasanya berangkat dari pengalaman. Sebelumnya mereka mungkin pernah menjadi korban lalu melakukan hal serupa.
Terkait kasus kematian Levino akibat perang sarung, Heni menilai, Polres Lampung Selatan harus tetap menyelidiki kasus tersebut. Orang-orang bertanggung jawab atas kematian korban harus diberikan hukuman agar menimbulkan efek jera.
Meski begitu, Heni menyebut polisi perlu mempertimbangkan penggunaan pasal yang ditetapkan. Hal ini karena kenalakan remaja yang berujung pada kematian terjadi bukan karena adanya perencanaan kejahatan
”Anak-anak yang melakukan kenakalan biasanya berangkat dari pengalaman. Sebelumnya mereka mungkin pernah menjadi korban lalu melakukan hal serupa,” kata Heni.
Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Lampung Puji Raharjo menyampaikan, peristiwa ini menjadi alarm agar para orangtua dan semua pihak meningkatkan kepeduliaan pada anak-anaknya saat bermain di luar rumah.
”Kami tentu mengajak semua masyarakat agar mengisi bulan Ramadhan dengan kegiatan positif. Pengurus pondok pesantren dan pengurus masjid harus sama-sama mengajak para remaja untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat,” kata Puji.
Ironi
Perang sarung yang berujung maut di kalangan remaja tentu menjadi ironi. Hal ini karena sarung sungguh akrab dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Tradisi memakai kain sarung sudah ada sejak lama di Tanah Air. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang kaya dengan tradisi kainnya, seperti kain tenun, jumputan, sulam, dan tenun ikat.
Berdasarkan catatan Kompas, kain sarung mempunyai makna yang luhur di banyak daerah. Di Flores, sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan penenunnya. Bahkan, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora”. Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut.
Sementara bagi masyarakat Bugis, sarung ibarat teman dalam siklus kehidupan. Bayi yang baru lahir disandarkan di bantal yang dililit sarung. Orang menikah mengenakan sarung yang dipadankan dengan baju bodo untuk perempuan dan jas tutup untuk pria. Ketika ajal menjemput, keranda pun ditutupi sarung ataupun kain Bugis.
Di Banten, jawara silat Betawi kurang berwibawa dan gagah jika tak berselempang sarung. Begitu pun sarung digunakan para petani untuk membawa rumput dan kayu bakar, para ibu menggendong anaknya, dan anak sesaat setelah ia dikhitan. Bahkan, masyarakat Hindu di pegunungan Tengger menyelempangkan sarung di pundak untuk menepis dingin.
Dardiri Zubairi lewat Sarung: Menenun Islam dan Lokalitas (2013) menyebutkan, sarung bukanlah semata kain atau rajutan benang. Sarung adalah hamparan doa dan narasi tentang kemanusiaan dan lokalitas kebudayaan di Indonesia.
Kini, memakai sarung menjadi semacam ”seragam wajib” bagi masyarakat, terutama bagi umat Islam di Indonesia. Belakangan, muncul pula istilah kaum sarungan yang merujuk pada kalangan santri dan kiai.
Sayangnya, sarung yang mempunyai nilai-nilai luhur itu saat ini justru digunakan secara keliru oleh anak-anak untuk menyerang atau tawuran.