Laut yang Bersih agar Ikan Segar Terus Tersaji di Piring
Ikan ”segar” di daerah pesisir tidak lagi sesegar dahulu. Perubahan lingkungan menjadi penyebabnya.
Bagi masyarakat pesisir, ikan segar tidak tergantikan rasanya. Namun, lingkungan yang berubah membuat gurih dan manis ikan turut berkurang. Tidak hanya itu, nelayan juga melaut lebih jauh, membuat ikan tidak lagi segar saat tiba di piring.
Teresia Darince (52) saksama memperhatikan proses mengolah dan memasak ikan kakap merah. Di depannya, Chef La Ode Saiful Rahman sedang demo memasak ikan berukuran satu baskom sedang itu. Ikan diolah dengan cara dikukus dengan bumbu sederhana.
”Di rumah biasanya olah ikan itu dimasak, digoreng, atau dibakar. Tergantung juga jenis ikannya, tapi kalau dikukus masih jarang,” katanya. Akan tetapi, ujar Teresia, ”Yang jelas harus ada ikan di rumah. Itu menu utama.”
Sabtu (16/3/2024) jelang waktu berbuka puasa, Teresia bersama puluhan ibu lainnya mengikuti kegiatan Green Ramadhan di Kelurahan Talia, Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kegiatan ini merupakan rangkaian peringatan Hari Perempuan Sedunia yang diselenggarakan oleh Perempuan Pesisir Sultra.
Meski begitu, ibu tiga anak ini melanjutkan, ikan yang sering ia konsumsi saat ini jauh berbeda dengan kisaran dua dekade lalu. Ikan yang dibawa pulang suaminya saat ini lebih sering tidak segar dan cepat rusak. Suaminya, Sul (55), adalah buruh pengangkut ikan di Pelabuhan Samudera Kendari.
Hal itu terjadi, ia menduga, karena ikan lajang yang ditangkap nelayan berada lebih lama di dalam boks. Setelah ditangkap, nelayan memasukkan ke penampungan di kapal sembari didinginkan dengan es.
”Sudah tidak gurih dan manis. Sama juga ikan yang ditangkap di teluk ini, rasanya beda sekali dengan dulu. Jadi, mau diolah apa saja kalau ikan tidak segar rasanya pasti beda,” ucapnya. Teresia adalah pemulung sampah plastik di Teluk Kendari. Bersama organisasi, mereka mendirikan bank sampah untuk diolah di kawasan pesisir.
Chef La Ode Saiful Rahman sibuk mencampur bumbu berupa bawang putih, jahe, minyak wijen, gula, hingga jeruk nipis. Daging ikan kakap merah yang telah diiris lalu dimasukkan ke dalam racikan bumbu. Ikan lalu dikukus sekitar 10 menit.
Sembari memasak, ia menceritakan, memilih ikan segar harus memperhatikan berbagai hal, mulai dari mata, sisik, hingga insang. Namun, ada hal lain yang lebih penting dari semua itu, yaitu bagaimana menjaga lingkungan perairan.
Baca juga: Nikmat dan Cemas Saat Sarapan Buntal
”Yang saya rasa, ikan betul-betul segar itu di Sultra hanya di Wakatobi. Rasanya gurih, tekstur ikannya kenyal, dan ada manis yang tertinggal di lidah. Kalau di tempat lain, rasa ikannya sudah beda,” katanya.
Menurut Chef Ode, hal itu bisa terjadi karena beberapa faktor. Di Wakatobi, laut masih cukup terjaga. Air di perairan yang terhubung dengan laut lepas juga masih cukup bersih. Serupa manusia membutuhkan udara segar, ikan juga membutuhkan air yang segar untuk hidup.
Sementara itu, ikan di daerah lain, khususnya Kendari, didatangkan dari banyak tempat. Waktu tempuh, cara penyimpanan, hingga asal ikan memengaruhi kualitas ikan tersebut. Akhirnya, rasa ikan tidak lagi senikmat dahulu.
Beberapa waktu lalu, ia menambahkan, pernah terlibat memasak saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kendari. Tim menyajikan ikan kakap yang dikukus. Namun, setelah diperiksa tim protokoler Istana, olahan tersebut dianggap tidak lolos uji.
”Katanya terlalu banyak zat kimia, yang entah dari mana. Baru pada kunjungan selanjutnya, kami memasak ikan yang betul-betul baru diambil dari keramba dan akhirnya lolos,” katanya. ”Tapi memang,” sambungnya ”kalau ikan tidak segar itu setelah dimasak maka teksturnya cepat rusak dan rasa yang tidak lagi gurih.”
Oleh sebab itu, semua pihak harus menjaga lingkungan. Ibu rumah tangga bisa memulai dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Selain itu, warga di pesisir benar-benar harus menjaga lingkungan dari limbah dan sampah.
Baca juga: Limbah Pertambangan Nikel Rusak Kawasan Konservasi Lasolo
”Yang susah itu kalau limbah dari pertambangan, industri yang sekarang terjadi di perairan Sultra. Kita menghadapi tantangan yang berat,” ujarnya.
Mutmainnah dari Perempuan Pesisir Sultra mengungkapkan, pihaknya sengaja mengangkat tema perempuan, pesisir, dan lingkungan karena ketiga hal ini berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Para ibu-ibu di pesisir yang juga sebagian besar beraktivitas di pesisir menggantungkan hidup mereka di laut.
Sayangnya, ketika laut tidak terjaga, maka hasilnya juga berbeda. Sampah dan limbah memenuhi teluk. Hal ini memengaruhi kualitas ikan yang tidak lagi sesegar dahulu. Rasa ikan berubah. Pendapatan keluarga juga menurun seiring berkurangnya ikan di teluk ataupun perairan sekitar Kendari.
”Sudah sedikit, kita juga tidak tahu kandungan ikannya bagaimana? Kalau laut tambah rusak maka ikan susah, ekonomi masyarakat terganggu, dan perempuan yang akan terkena imbasnya,” katanya.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO) La Ode M Aslan mengatakan, selama bertahun-tahun riset di kawasan pesisir Konawe Utara, Konawe, dan daerah pesisir lainnya di Sultra, kondisi perairan terus menunjukkan kualitas yang memburuk. Penambangan nikel di sepanjang pesisir tersebut menyebabkan lumpur tebal di perairan. Biodiversitas di perairan hancur dan mata pencarian masyarakat hilang.
”Kondisi ini terus berlangsung dan salah satu indikator mudah melihat tercemarnya perairan adalah hilangnya rumput laut. Itu indikator rusaknya perairan,” katanya. Akibatnya, kondisi ini berdampak panjang. Nelayan juga harus melaut lebih jauh karena ikan semakin sulit didapatkan di tepian.
Kalau laut tambah rusak maka ikan susah, ekonomi masyarakat terganggu, dan perempuan yang akan terkena imbasnya.
Bahkan, ia melanjutkan, lumpur hanya salah satu dampak yang terlihat dari penambangan tersebut. Akan tetapi, logam berat seperti timbal hingga kandungan nikel meningkat ratusan kali lipat di perairan. Kondisi ini berbahaya bagi ekosistem, termasuk manusia.
”Saya berani bilang kalau perairan, termasuk kawasan konservasi, yang berdampingan dengan penambangan nikel itu sudah tercemar berat. Temuan kami, analisis pada jaringan kerang laut itu sudah tercemar logam berat,” ujarnya.
Kondisi ini yang terus dikhawatirkan masyarakat pesisir di Sultra. Chef Ode menambahkan, profesinya adalah mengolah bahan makanan, khususnya hasil laut yang disebut melimpah di perairan Sultra. Namun, jika semakin sulit mendapatkan ikan segar, hal itu bisa berdampak panjang.
”Kita hidup di pesisir, tapi untuk dapat ikan segar masak harus ke daerah lain?” tanyanya.