Bekas Rumah Potong Hewan Surya menjadi Serambi Ampel untuk kota tua Surabaya dan kawasan wisata religi Sunan Ampel.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Serambi Ampel, Sentra Wisata Kuliner Pegirian di Jalan Pegirian, Surabaya, Jawa Timur, baru diresmikan pada 5 Maret lalu. Pada Jumat (15/3/2024) petang kemarin, tak sampai dua jam dari jadwal buka puasa pukul 17.45 WIB, di Serambi Ampel baru ada 10 kios penjual minuman serbuk.
Mereka yang ingin menikmati tempat wisata kuliner baru itu perlu bergerak lagi ke lokasi lain untuk mendapatkan takjil atau menu-menu berbuka puasa. Mereka harus berjalan ke utara atau selatan menyusuri Jalan Pegirian atau menyeberang ke kawasan wisata religi Sunan Ampel (KWRSA).
Serambi Ampel bekas tempat jagal babi. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi telah meresmikan kompleks bangunan ini sebagai Sentra Wisata Kuliner (SWK) Pegirian. Serambi Ampel menjadi bagian dari penataan kota tua untuk pelestarian dan pemanfaatan pariwisata sejarah dan religi.
Di Serambi Ampel, proyek revitalisasi belum selesai. Pekerja masih sibuk mengangkut beton bertulang, mengelas besi, menyusun kursi gantung, mengecat dinding, dan memasang instalasi listrik dan air. Lampu-lampu dipasang pada jaringan rel baja yang dahulu tempat menggantung dan memindahkan karkas babi hasil penyembelihan.
Di selasar samping dan belakang gedung utama sudah ditata lebih dari 100 kios makanan dan minuman. Setiap lapak diberi nomor dan keterangan gilir dagang, bisa pagi-siang atau sore-malam. Kios-kios itu untuk menampung pedagang luberan di KWRSA.
Namun, pengunjung Serambi Ampel masih dominan pekerja proyek dan aparatur pemerintah, Polri, dan TNI yang berjaga. Ada beberapa yang makan dan minum karena tidak atau berhalangan puasa. Area parkir di depan gedung utama terisi truk dan mobil proyek serta sepeda motor pekerja dan aparatur.
Saat sedang berjalan sambil melihat-lihat kompleks, ada bau tak sedap yang mengganggu. Oh, bau bekas penyembelihan babi yang belum hilang. Semakin ke belakang, aroma yang bikin mual menguat. Di sini masih ada endapan kotoran babi yang belum terangkut.
Mungkin bacin busuk itu yang membuat kalangan pedagang luberan dan pengunjung masih enggan datang. Dengan bau tak sedap, sulit bagi siapa pun untuk menikmati makanan dan minuman. Apalagi, ini sedang bulan puasa. Aroma memualkan menambah cobaan.
”Saya berharap pemerintah segera menghilangkan bau, menyelesaikan pembangunan (revitalisasi), dan membuat acara untuk menarik pengunjung,” kata Nur Laela, pengelola kios.
Bekas penjagalan babi itu bagian dari kompleks Rumah Potong Hewan (RPH) Surabaya Raya (Surya). Sisi selatan dulu untuk penyembelian 150 babi per dwihari. Penjagalan babi sudah dipindah dan beroperasi di RPH Surabaya Unit Banjarsugihan di Surabaya Barat.
Sisi utara untuk penyembelihan sapi dan kambing. Penjagalan ternak ini akan pindah ke Unit Tambak Osowilangun di Surabaya Barat. Kompleks utara ini akan direnovasi sebelum dimanfaatkan untuk memperkuat Serambi Ampel. Menurut Pemerintah Kota Surabaya, RPH merupakan kompleks bangunan Hindia-Belanda sejak 1927.
Di era kolonial, kompleks itu bernama Abattoir Pegirian te Soerabaja dalam pengelolaan Gemeente Soerabaja. Harian Soeara Oemoem pada Senen, 19 Juli 1937, menulisnya sebagai abbatoir Pegirikan (Soerabaja). Di sini ada Persatoean Djagal Soerabaja. Selanjutnya, abattoir menjadi slach plats dan setelah kemerdekaan menjadi rumah pembantaian.
Keberadaan tempat jagal babi itu agak aneh mengingat di seberangnya ialah KWRSA. Umat Islam mengharamkan babi. Sunan Ampel adalah satu dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa. Di KWRSA ada masjid dan makam ulama agung yang diyakini berasal dari Champa (Indocina) dan bernama Raden Muhammad Ali Rahmatullah (Raden Rahmat) itu.
Sunan Ampel diyakini membangun dan membesarkan Kampung Denta atau Ampeldenta dalam kurun 1421-1481. Yang terutama membangun masjid dan pondok pesantren sebagai pusat syiar Islam atas izin penguasa Kerajaan Majapahit.
Dari Sunan Ampel terlahir Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Sejumlah santrinya ialah Sunan Giri dan Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak, yang turut membuat keruntuhan Majapahit pada 1527.
Saya berharap pemerintah segera menghilangkan bau, menyelesaikan pembangunan (revitalisasi), dan membuat acara untuk menarik pengunjung.
Catatan Kompas, penyembelihan babi sudah diprotes warga setidaknya sejak milenium ketiga atau setelah tahun 2000. Masyarakat Semampir pada 2014 pernah unjuk rasa ke pemerintah dan legislatif. Mereka mendesak pemindahan pemotongan babi itu karena terganggu dengan bau tak sedap dari limbah kotoran. Mereka juga amat mencemaskan RPH babi yang mengotori nuansa religi lingkungan.
Menurut Direktur Utama Perusahaan Daerah RPH Surya Fajar Isnugroho, pemindahan RPH dari Jalan Pegirian dilakukan karena kompleks tersebut tak lagi memadai untuk beroperasi. Lokasi memang strategis di pusat kota, tetapi bersebelahan dengan pemukiman padat penduduk dan KWRSA yang akan terus bermasalah.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, RPH milik ibu kota Jatim tersebut akan berada di tiga lokasi. Dua unit sudah beroperasi, yakni Kedurus dan Banjarsugihan. ”Kami berusaha mempercepat pembangunan di Tambak Osowilangun,” katanya.
Eri melanjutkan, bekas RPH Surya menampung 250 pengelola usaha mikro dan kecil (UMK) makanan dan minuman dari tiga kecamatan, yakni Semampir, Simokerto, dan Pabean Cantian. Sebanyak 161 pedagang ditampung di Serambi Ampel. Sebanyak 89 pedagang ditampung di parkir bus KWRSA.
”Ada sif dagang sehingga diharapkan ada kerja sama dan pembagian,” kata Eri.
Meski sudah diresmikan, peluncuran operasional Serambi Ampel untuk memeriahkan sekaligus kado Hari Jadi Surabaya pada 31 Mei 2024.
Dengan pindah ke lokasi baru, para pengelola UMK itu amat diharapkan betah dan menetap. Jika meluber ke jalan, hal itu akan mengganggu aktivitas pengunjung, masyarakat, dan lalu lintas. Jangan meluber dan menghambat karena itu karakter sulit diatur, egois, dan tak berbudaya yang tak religius.