Ramadhan Kala Banjir Bandang Sumbar, Separuh Telur untuk Berbuka dan Sahur
Di tengah bencana, warga di Kampung Langgai tetap berpuasa meskipun serba kekurangan dan bergantung pada bantuan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Di tengah cahaya remang-remang, Lisnayenti (41) menyajikan menu berbuka untuk keluarganya. Susu sereal dan air putih serta bubur nasi-durian jadi pembuka. Menu utama nasi putih, telur bulat goreng balado, dan ayam gulai kiriman sanak yang dihangatkan berkali-kali. Tak ada sayur.
”Apa yang dikirimkan orang, itulah yang kami masak. Harta benda kami, termasuk beras, habis semuanya,” kata Lisnayenti, yang mengungsi di rumah orangtuanya di Kampung Langgai, Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Rabu (13/3/2024) malam.
Lisnayenti merupakan satu dari puluhan keluarga yang kehilangan rumah akibat banjir bandang di Kampung Langgai, Kamis (7/3/2024) malam. Selain merusak masjid dan belasan rumah, galodo atau banjir yang membawa material lumpur, kayu, dan batu sebesar rumah itu juga merenggut nyawa 8 orang dan 2 orang lainnya masih hilang.
Bencana juga memutus jalan dan jembatan. Sebanyak 465 keluarga di kawasan hulu Sungai Surantiah itu terisolasi dan kekurangan bahan pangan, termasuk keluarga yang tak terkena bencana. Bantuan logistik dari luar hanya bisa dikirimkan dengan sepeda motor trail. Perekonomian lumpuh. Penerangan dan internet nyaris tidak ada karena rusaknya jaringan listrik PLN.
Setelah shalat Maghrib dan santap menu pembuka, Lisnayenti bersama suami, tiga anak, ayah, dan adik laki-lakinya mulai makan nasi. Kondisinya relatif terang karena tetangga mulai berbagi listrik dari genset. Namun, arusnya tidak stabil karena genset kecil itu kelebihan beban karena mesti menerangi empat rumah.
Di tengah cahaya lampu naik-turun, setiap anggota keluarga mengambil separuh telur. Yang tidak mengambil telur makan dengan ayam gulai yang mulai terasa asin akibat terlalu sering dihangatkan. Meski tak ada instruksi, semua anggota sepertinya paham mereka harus berhemat di tengah keterbatasan.
Suasana sahur pada Kamis (14/3/2024) juga tak jauh berbeda. Selain nasi, telur balado sisa semalam kembali dihidangkan. Hanya ada tambahan selembar telur dadar dan mi rebus. Menu tersebut dimakan bersama-sama, barang sedikit seorang. Yang penting semuanya kebagian.
Apa yang dikirimkan orang, itulah yang kami masak. Harta benda kami, termasuk beras, habis semuanya.
Karemanto (44), suami Lisnayenti, mengatakan, tidak menyangka akan menjalani bulan Ramadhan dengan suasana seperti ini. Ia dan keluarga hendak mengisi bulan suci umat Islam ini dengan memperbanyak ibadah. Namun, apa daya, cobaan datang mendera.
Tetap bersyukur
Meskipun demikian, Karemanto tetap bersyukur tetap bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan di tengah musibah yang terjadi. Keluarga ini masih diberikan keselamatan dan kesehatan meskipun harus kehilangan rumah dan harta benda.
”Kami tidak begitu gamang karena bisa tinggal di rumah orangtua. Cuma, keluarga lainnya kasihan, ada yang mengungsi ke rumah sanak jauh dan tetangga bersempit-sempit dengan banyak anak kecil. Tak ada penerangan,” kata pria yang juga Kepala Kampung Langgai itu.
Apa yang dikatakan Karemanto dialami oleh Edma Yuniati (30), warga lainnya. Rumah Edma yang berada di hamparan yang sama dengan Karemanto juga hancur ditelan banjir bandang. Cuma pakaian dan barang-barang yang melekat di badan yang selamat.
Kini, Edma bersama suami dan tiga anak, serta ibu, ayak, dan adik, menumpang di rumah sepupu. Total ada 5 keluarga dengan 17 jiwa, sebagian besar anak-anak, yang tinggal bersempit-sempit di rumah yang baru dihuni tiga hari menjelang Ramadhan ini.
Kondisi santap berbuka dan sahur di rumah itu lebih redup. Penerangan hanya dari lampu minyak tanah dari botol bekas dan senter redup yang hampir habis baterainya. Daya genset tetangga tidak cukup kuat untuk berbagi. Rumah yang baru dihuni itu juga dikelilingi agas.
Adapun menu berbuka dan sahur di rumah itu sama, nasi putih, tumis kacang panjang, dan mi rebus. Enam butir telur bantuan yang didapat beberapa hari lalu hanya untuk lauk anak-anak. ”Susah menelan nasi, tapi bagaimana lagi, nanti tidak sanggup puasa,” ujar Edma.
Selanjutnya, ia belum tahu hendak memasak apa. Bahan pangan hanya tersisa beras dan mi instan. ”Kami bergantung pada uluran tangan. Tak ada yang bisa diusahakan, jalan putus,” kata ibu rumah tangga dari keluarga petani gambir ini.
Pembukaan akses jalan
Edma berharap akses jalan bisa dibuka agar penyaluran bantuan lancar dan perekonomian kembali hidup. Ia juga berharap adanya bantuan hunian sementara bagi keluarganya karena sangat sulit tinggal bersempit-sempitan di satu rumah.
Tadi sahur hanya makan nasi dan pucuk ubi rebus. Tidak ada lauk. Hanya tiga buah cabai direbus untuk penambah-nambah rasa.
Sementara itu, Kasir (77), warga lainnya, mengatakan, rumahnya memang selamat dari banjir bandang, tetapi seperempat hektar sawahnya tidak. Sama seperti warga lainnya, keluarganya juga kekurangan bahan pahan akibat terputusnya akses jalan. Masalahnya, ia tak mendapat bantuan seperti korban lain yang rumahnya terdampak.
”Tadi sahur hanya makan nasi dan pucuk ubi rebus. Tidak ada lauk. Hanya tiga buah cabai direbus untuk penambah-nambah rasa,” katanya.
Kampung Langgai merupakan daerah terujung Nagari Ganting Mudiak Utara Surantih yang berjarak sekitar 30 kilometer (km) dari Pasar Surantih, pusat Kecamatan Sutera. Sementara itu, dari Painan, ibu kota Kabupaten Pesisir Selatan, jaraknya 68 km.
Selama ini, kebutuhan pokok warga, seperti ikan, ayam, cabai, bawang, dan sayuran, dipasok dari luar, terutama Pasar Surantih. Sejak jalan terputus, tidak ada lagi pedagang yang masuk. Kasir berharap akses jalan segera dibuka.
Terlepas dari berbagai masalah tersebut, warga di Kampung Langgai mulai berupaya bangkit. Shalat Tarawih yang biasanya digelar di rumah masing-masing karena hancurnya masjid mulai dilakukan berjemaah di salah satu ruangan SMP 6 Langgai. Tidak sekadar beribadah, momen berkumpul ini sekaligus untuk saling menguatkan.