Jemunak nan Enak Melawan Roti
Jemunak adalah hidangan khas Ramadhan dari Muntilan. Ini menjadi bagian dari rekaman sejarah bangsa.
Bulan Ramadhan tidak sekadar bermakna sebagai masa untuk menjalani ibadah puasa. Di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bulan itu juga sekaligus menjadi penanda dimulainya aktivitas pembuatan jemunak, kuliner ”perlawanan” berbahan dasar singkong, yang menjadi alternatif dari roti yang merupakan kuliner dari Barat.
Ponisih (58), salah seorang produsen jemunak di Dusun Karaharjan, Desa Gunungpring, menuturkan, aktivitas membuat jemunak sudah menjadi bagian dari rangkaian kegiatan yang dijalani keluarganya di bulan Ramadhan.
”Di bulan Ramadhan, aktivitas membuat jemunak setiap hari sudah kami mulai sejak pagi, setelah menyantap sahur dan shalat Subuh, sekitar pukul 05.00 atau pukul 06.00,” ujarnya saat ditemui, Rabu (13/3/2024).
Bagi sebagian masyarakat Desa Gunungpring, aktivitas membuat jemunak sudah menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Di keluarga Ponisih, tradisi membuat jemunak sudah dilakukan sejak tahun 1970, dan dia kini menjadi generasi kelima yang masih menjalankannya hingga sekarang. Setelah ibunya, Mujilah, meninggal sekitar tiga tahun silam, aktivitas membuat penganan ini biasa dilakukan bertiga, bersama dengan adiknya, Kasmirah (54), dan salah seorang keponakan, Danu Dupriyanto (37).
Keluarga ini sudah terbiasa membuat jemunak dengan bahan baku berkisar 20-25 kilogram (kg) singkong. Dengan aktivitas yang berlangsung sejak awal hingga akhir puasa selama satu bulan penuh, bahan baku singkong yang digunakan hampir 1 ton.
Setiap hari, pembuatan kudapan ini berjalan dengan pembagian tugas di antara ketiga anggota keluarga ini.
Jemunak adalah kudapan yang dibuat dari bahan-bahan sederhana, yaitu singkong, beras ketan, kelapa parut, dan gula merah. Pembuatannya tidak terlalu rumit.
Ponisih biasanya akan mengawali dengan mengupas singkong dan memarutnya. Sembari itu, dia mengukus beras ketan hingga setengah matang. Kedua bahan itu kemudian ditumbuk halus dan kembali dikukus, hingga matang.
Kasmirah biasa bertugas membuat juruh, atau cairan gula merah, yang kemudian dikemas dalam plastik, serta memotong daun pisang yang digunakan sebagai kemasan jemunak.
Tenaga laki-laki, dalam hal ini Danu, dikhususkan pada urusan menumbuk. Pekerjaan ini tidak mudah dilakukan karena menggunakan alu yang besar dan berat. Namun, teknik menumbuk yang benar sudah dipelajari Danu sejak dirinya mulai terlibat membuat jemunak, belasan tahun silam, saat dirinya masih duduk di bangku SMA.
”Agar tidak kepayahan dan kelelahan, kuncinya cuma satu, atur napas,” ujarnya. Resep ini didapatkan dari kakeknya yang sudah terlebih dahulu ”bertugas” menumbuk.
Diburu
Menjelang siang, tugas membuat jemunak sudah harus selesai. Sekitar pukul 12.00, biasanya mulai berdatangan pelanggan yang sigap membeli dan mengambilnya. Sebagian besar pembeli adalah para pemilik warung, pedagang jajanan atau takjil, dan sebagian lainnya adalah pembeli dari kalangan rumah tangga.
Murni (43), salah seorang pedagang jajanan dan takjil, adalah pembeli dan pelanggan jemunak produksi keluarga Ponisih sejak 10 tahun silam. Di bulan Ramadhan, penganan ini selalu diburu sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk habis terjual.
”Sekitar 50 bungkus jemunak biasanya habis terjual dalam waktu kurang dari satu jam,” ujarnya.
Karena itulah, dia kemudian sering kali bolak-balik kembali ke dapur Ponisih dan berupaya mencari tambahan jemunak yang masih tersisa.
Pelanggan jemunak, menurut dia, kebanyakan datang dari warga sekitar. Tak jarang, pelanggan dari jauh, seperti dari Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, ataupun Wonosobo, Jawa Tengah. sengaja melonggarkan waktu untuk membeli jemunak.
Tidak hanya itu, Ponisih menuturkan, jemunak juga sering kali dibeli oleh warga luar kota atau luar Pulau Jawa yang sengaja singgah saat mudik ke Kabupaten Magelang.
“Jemunak sudah sempat dibawa pelanggan ke rumahnya di Jakarta, ke sejumlah kota di Kalimantan, dan Batam,” ujarnya.
Dihasilkan dari tradisi yang sudah ada jauh sebelum teknologi digital dan media sosial, popularitas jemunak murni lahir dari gethok tular atau obrolan dari mulut ke mulut semata.
Tanpa pernah dengan sengaja mengiklankan produk atau memasang papan penanda berjualan jemunak, rumah para produsen kudapan ini selalu ramai didatangi pelanggan saat Ramadhan.
Tidak jarang, proses produksi dan pemasaran yang senyap tanpa woro-woro atau penanda apa pun ini menyulitkan pelanggan baru untuk membeli jemunak.
”Ada pelanggan dari Sleman yang sempat mengeluh kesulitan untuk mencari rumah saya (tempat memproduksi jemunak). Sudah berapa kali Ramadhan berlalu, dia akhirnya baru berhasil bertemu saya tahun lalu. Dia mengeluh kenapa di depan rumah tidak dipasang penanda yang menjelaskan bahwa saya memproduksi jemunak,” ujar Winar (60) sembari tertawa.
Namun, kondisi serupa terjadi pada produsen jemunak lainnya, seperti Ponisih dan Susanti (47), anak Winar.
Baca juga: Jemunak yang Tidak Terlupakan di Masa Ramadhan
Regenerasi
Aktivitas membuat jemunak adalah kegiatan yang benar-benar secara khusus dilakukan di bulan Ramadhan saja. Di luar itu, para pembuatnya kembali melakukan ragam pekerjaan lain yang sudah menjadi rutinitas mereka.
Kendati sekadar pekerjaan sambilan yang dilakukan selama sebulan, aktivitas membuat jemunak sudah menjadi hal ”wajib” yang tidak boleh dilupakan.
Kasmirah menuturkan, dia dan keluarga merasa memiliki kewajiban moral untuk terus membuat jemunak karena aktivitas itu menjadi bagian dari pesan, ”wasiat”, yang berulang-ulang disampaikan ibunya, Mujilah, di sela-sela sakitnya, sebelum meninggal di usia 90 tahun, akhir 2021.
“Di sela-sela sakitnya, Ibu selalu mengingatkan agar jangan lupa membuat jemunak saat Ramadhan. Kasihan kalau ada orang yang mencari, tapi tidak mendapatkannya untuk berbuka,” ujarnya.
Saat ini, tradisi yang dilakukan Mujilah sudah diteruskan oleh Ponisih, Kasmirah, dan Danu. Namun, mereka saat ini juga tidak secara khusus menyiapkan generasi penerus pembuat jemunak.
Ponisih mengaku dirinya hanya memiliki seorang anak. Karena sudah memiliki pekerjaan formal sebagai perawat, dia pun memastikan anaknya tidak akan meneruskan membuat jemunak.
“Saya cuma memastikan sayalah yang akan terus membuat jemunak,” ujarnya.
Susanti, putri Winar, juga menuturkan hal serupa. Bahkan, dia sebatas memproduksi jemunak saat ada permintaan atau pesanan. Di luar itu, produksi libur dan dia bekerja membuat jajanan lain.
Susanti memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan. Anak perempuannya sudah bekerja di sektor formal. Sementara anak laki-lakinya juga tidak akan dipaksa untuk menjadi penerus pembuat jemunak.
Jika Ponisih dibantu oleh Kasmirah dan Danu, Susanti dibantu oleh putranya yang bertugas menumbuk campuran singkong dan ketan.
“Itu pun dia (putranya) sekadar mau karena dari kegiatan tersebut, saya menjanjikan tambahan uang jajan,” ujarnya sembari tersenyum.
Perlawanan terhadap roti
Tidak ada yang menyebut secara jelas asal muasal penamaan jemunak. Namun, ahli gastronomi dari Universitas Negeri Yogyakarta, Minta Harsana, mengatakan, masyarakat Jawa biasa memberikan nama makanan dengan dicocokkan dengan nama bahan, teknik pengolahan bahan, atau mungkin peristiwa atau kejadian tertentu.
”Tidak ada panduan yang pasti. Penamaan makanan biasanya berdasarkan teori cucokologi, dicocok-cocokkan saja,” ujarnya sembari tertawa.
Khusus untuk jemunak, menurut dia, sebagian orang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan akronim dari ”bar ngaji tinemu sing enak” atau ’setelah mengaji menemukan yang enak’.
Minta berharap, sebagai penganan yang sudah diproduksi sejak lama, lebih dari dua generasi, jemunak diharapkan bisa dilestarikan dan ditetapkan sebagai warisan budaya.
Baca juga: Petualangan Lidah Menu Buka Puasa dari Sumatera
Bagus Priyana, pegiat sejarah Magelang sekaligus Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, menuturkan, jemunak merupakan bagian dari ”keluarga” getuk. Hal ini bahkan tertulis dalam kompilasi cerita dan ajaran Jawa, Serat Centhini, yang diterbitkan di tahun 1814.
”Dari dokumentasi tersebut, jemunak, jumunak, atau jenis getuk tersebut sudah ada, dibuat masyarakat sejak ratusan tahun silam,” ujarnya.
Berbagai olahan berbahan singkong, antara lain jemunak, ini diduga juga menjadi simbol ’perlawanan’ rakyat di masa itu melawan kultur bangsa Eropa, termasuk Belanda, yang saat mengonsumsi dan secara otomatis juga memopulerkan roti di Indonesia.
Jika kemudian jemunak dikenal sebagai hidangan untuk berbuka, hal ini diyakini karena masyarakat terbiasa untuk memulai berbuka puasa dengan makanan atau minuman bercita rasa manis.
Masyarakat Jawa di masa lalu sering menyebut singkong sebagai roti sumbu. Istilah roti dimaksudkan untuk menyamakan dengan istilah roti dari Belanda, yang di masa penjajahan juga sudah dikonsumsi oleh sebagian orang, termasuk keluarga Keraton Yogyakarta. Yang disebut sumbu adalah serat bagian tengah dari potongan singkong yang menyerupai sumbu atau tali.
Berbagai olahan berbahan singkong, antara lain jemunak, ini diduga juga menjadi simbol ”perlawanan” rakyat di masa itu melawan kultur bangsa Eropa, termasuk Belanda, yang saat itu mengonsumsi dan secara otomatis juga memopulerkan roti di Indonesia.
Kuliner, tak terkecuali jemunak, menurut dia, juga menjadi bagian dari rekaman sejarah bangsa. Oleh karena itu, sama seperti Minta, Bagus berharap jemunak bisa terus lestari, terus dibuat oleh generasi-generasi berikutnya.