Presiden: Minyak Makan Merah Lebih Sehat dan Sejahterakan Petani
Pabrik minyak makan merah pertama beroperasi di Deli Serdang. Minyak ini disebut lebih sehat dari minyak goreng biasa.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik minyak makan merah pertama di Indonesia, di Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (14/3/2024). Pabrik yang dikelola koperasi petani itu memberikan nilai tambah bagi petani sawit.
MEDAN, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik minyak makan merah pertama di Indonesia, Kamis (14/3/2024). Pabrik yang ada di Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, itu akan meningkatkan nilai tambah yang diperoleh petani karena dikelola koperasi petani sawit.
”Minyak makan merah ini sudah dicoba beberapa chef. Mereka menyampaikan minyak makan merah itu beda, lebih enak dan gizinya lebih baik. Saya nanti mau beli, mau coba juga,” kata Presiden.
Pabrik minyak makan merah, menurut Presiden, sangat penting untuk program hilirisasi sawit petani. Indonesia memiliki 15,3 juta hektar kebun sawit. Sebanyak 6,2 juta hektar atau 40,5 persen di antaranya adalah kebun sawit petani. Karena itu, peran petani sangat penting dalam membangun industri sawit nasional.
”Pabrik minyak makan merah ini kita diharapkan memberikan nilai tambah yang baik bagi petani sawit. Jadi, harga tandan buah segar (TBS) sawit tidak naik dan turun karena di sini semuanya diolah menjadi barang jadi, yaitu minyak makan merah,” katanya.
Pabrik Minyak Makan Merah Pagar Merbau itu dikelola oleh Koperasi Pujakesuma Sumut yang memiliki anggota 500 petani sawit. Pembangunan pabrik senilai Rp 15,8 miliar itu dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Pabrik itu bisa menghasilkan 7,4 ton minyak makan merah per hari.
Jokowi menyebutkan, petani yang selama ini hanya bisa menjual TBS kini bisa memproduksi minyak makan merah yang mempunyai nilai tambah berlipat ganda. ”Ini bukan jumlah yang sedikit. Artinya memang harus banyak yang beli sehingga kita harapkan memberikan nilai tambah yang baik. Inilah yang namanya hilirisasi,” kata Jokowi.
CPO itu lalu diolah di pabrik minyak makan merah yang dikelola oleh petani anggota koperasi.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki menambahkan, hilirisasi TBS sawit petani menjadi minyak makan merah bertujuan untuk memastikan petani sejahtera, memastikan keberlanjutan suplai minyak goreng yang sehat, dan harga yang terjangkau. Pabrik di Pagar Merbau merupakan satu dari tiga pabrik percontohan. Dua pabrik percontohan lainnya akan dibangun di Kabupaten Langkat dan Asahan.
”Kami juga sedang menyiapkan skema mandiri dari petani sawit rakyat di sejumlah lokasi, antara lain di Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan), Pelalawan (Riau), Sekadau (Kalimantan Barat), dan provinsi lainnya untuk replikasi pabrik minyak makan merah ini,” kata Teten.
Untuk sementara, minyak makan merah itu masih hanya dijual untuk anggota koperasi. Sebelum Oktober ini, Teten menargetkan minyak makan merah dapat dijual ke pasar umum dengan harga sekitar Rp 15.000 per liter.
Ilustrasi
Peneliti di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Frisda Rimbun Panjaitan, yang memberikan penjelasan kepada Presiden, menyebutkan, bahan baku pabrik dipasok dari 1.000 hektar kebun sawit petani yang menghasilkan 50 ton TBS per hari. TBS dari petani diolah menjadi CPO di pabrik kelapa sawit Pagar Merbau milik PTPN II dan menghasilkan 10 ton CPO.
”CPO itu lalu diolah di pabrik minyak makan merah yang dikelola oleh petani anggota koperasi,” kata Frisda.
Frisda menyebutkan, kandungan vitamin dalam minyak makan merah bisa dijaga karena diolah pada suhu 70 derajat celsius. Sementara minyak goreng biasa diolah pada suhu 250 derajat celsius.
Minyak makan merah bisa dimanfaatkan untuk menggoreng layaknya minyak goreng atau dikonsumsi langsung sebagai minyak makan. Kandungan beta karoten, vitamin A, fitonutrien, dan komposisi asam lemaknya dinilai sangat baik untuk mengatasi tengkes (stunting).
Petani sawit di Pagar Merbau, Misran (65), berharap bisa mendapat keuntungan lebih banyak dengan beroperasinya pabrik itu. Dari kebun seluas dua hektar miliknya, Misran mendapat 3 ton TBS per bulan.
”Harga sekarang lagi bagus, Rp 2.050 per kilogram. Jadi, saya dapat sekitar 6 juta rupiah sebulan. Tapi harga memang lagi tinggi, harga lebih sering di bawah 1.500 rupiah,” katanya.
Salah satu kendala yang dihadapi petani sawit, menurut dia, adalah harga pupuk komersial yang sangat tinggi. Sementara, pupuk subsidi sangat langka. Untuk itu, pemerintah diharapkan bisa mengatasi krisis pupuk yang sudah bertahun-tahun dialami petani.
”Sawit itu harusnya diberi pupuk dua kali setahun, tetapi karena pupuk langka dan mahal, saya hanya memberi pupuk sekali setahun,” kata Misran.
Terkait dengan kelangkaan dan tingginya harga pupuk yang dialami petani skala usaha kecil itu, Teten menyebutkan hal tersebut bukan urusannya. ”Itu bukan wilayah saya. Itu pertanian. Nanti saya jadi menteri segala macam,” kata Teten saat ditanya Kompas.