Cuaca Ekstrem Bukan Satu-satunya ”Biang Kerok” di Balik Banjir Semarang
Hujan ekstrem bukan satu-satunya penyebab banjir di Kota Semarang, Jateng. Penyelesaian komprehensif perlu dilakukan.
Aktivitas sebagian masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah, lumpuh akibat banjir yang menggenangi sejumlah titik pada Kamis (14/3/2024). Hujan ekstrem yang turun sepanjang hari pada Rabu (13/3/2024) disebut-sebut sebagai biang kerok dalam bencana itu. Padahal, ada faktor lain yang turut memicu banjir di ibu kota Jateng tersebut.
Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jateng mencatat, sepanjang Rabu, hujan yang turun di Kota Semarang tergolong lebat, sangat lebat, hingga ekstrem. Hujan ekstrem yang terjadi di hampir seluruh wilayah Kota Semarang itu memiliki curah hujan sekitar 152 milimeter per hari hingga 238 mm/hari.
Prakirawan cuaca BMKG Jateng, Rany Puspita Eka Wati, menyebut, hujan lebat hingga ekstrem yang melanda Kota Semarang terjadi karena adanya tekanan rendah di Samudra Hindia, tepatnya di selatan Pulau Jawa. Kondisi itu masih ditambah dengan aktifnya Madden Julian Oscillation (MJO).
Baca juga: Cuaca Ekstrem, Pekalongan dan Semarang Dilanda Banjir
”Hal-hal itu yang kemudian menyebabkan pertumbuhan awan hujan yang sangat tinggi. Hujan yang terjadi juga merata, mulai dari wilayah pegunungan hingga ke pantura,” kata Rany saat dihubungi, Kamis (14/3).
Menurut Rany, hujan dengan kategori ringan hingga ekstrem masih berpotensi terjadi di Kota Semarang hingga tiga hari sampai sepekan mendatang. Masyarakat diminta mewaspadai potensi banjir, tanah longor, hingga pohon tumbang akibat angin kencang.
Hujan ekstrem seperti yang terjadi Rabu, kata Rany, bukanlah fenomena baru. Di tahun-tahun sebelumnya, hujan seperti itu sudah sering kali terjadi di Kota Semarang dan sekitarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, banjir yang timbul setelah beberapa jam hujan deras pernah terjadi pada akhir November 2023. Kondisi itu membuat sejumlah kelurahan di Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, terendam banjir dengan ketinggian mencapai 70 sentimeter. Banjir itu membuat aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas belajar-mengajar di sejumlah sekolah, terganggu.
Sebelumnya, banjir bandang setelah hujan ekstrem turun selama beberapa jam terjadi di perumahan Dinar Indah, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, pada awal 2023. Dalam kejadian itu, air yang meluap dari Sungai Pengkol yang ada di wilayah tersebut merendam permukiman warga. Ketinggian banjirnya disebut mencapai 2 meter.
Banjir dengan ketinggian mencapai 1 meter juga pernah merendam sejumlah titik di Kota Semarang selama lebih dari lima hari pada pengujung 2022. Banjir itu terjadi setelah hujan deras turun selama seharian. Kala itu, aktivitas masyarakat terhambat karena genangan tak kunjung surut. Bahkan, sejumlah perjalanan kereta yang melalui jalur pantura Jateng juga harus dibatalkan atau dialihkan melalui jalur selatan.
Jika ditilik lebih lanjut, hujan ekstrem bukanlah satu-satunya pemicu banjir yang terjadi di Kota Semarang pada Rabu-Kamis, ataupun banjir-banjir sebelumnya. Banjir pada akhir November 2023, misalnya, terjadi lantaran sejumlah saluran air tersumbat sampah. Di saat yang sama, pompa-pompa air yang seharusnya bisa membantu mengurangi genangan rusak.
Sementara itu, banjir di perumahan Dinar Indah kian parah karena adanya bagian tanggul Sungai Pengkol yang jebol. Setelah diselidiki lebih lanjut oleh pemerintah setempat, wilayah itu tidak ideal untuk dijadikan permukiman. Belakangan diketahui, pihak pengembang tidak punya izin pembangunan perumahan di kawasan tersebut.
Adapun banjir yang terjadi pada pengujung 2022 terjadi salah satu talud sungai rusak akibat dihantam derasnya air dari daerah hulu. Selain air, sejumlah material longsoran yang turut terbawa membuat potensi jebolnya talud menjadi lebih besar.
Pembelajaran
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung, Mila Karmilah, mengatakan, alam kerap kali dituding sebagai biang kerok dalam bencana yang terjadi. Menurut dia, hal itu tidak adil sebab peristiwa banjir yang terjadi setelah hujan lebat sudah berkali-kali terjadi, termasuk di Kota Semarang.
”Kejadian seperti ini kan terjadi hampir setiap tahun. Pemerintah harusnya belajar. Kalau menyalahkan curah hujan, itu kan sudah diprediksi oleh BMKG, bisa diantisipasi,” ujar Mila.
Mila menyayangkan, persoalan banjir sekadar diatasi dengan jurus itu-itu saja, seperti pompanisasi. Padahal, upaya itu juga disebutnya tidak terlalu efektif. Buktinya, banjir masih terus saja berulang meski pompa-pompa air portabel dan permanen sudah dioptimalkan.
Langkah lain berupa peninggian tanggul yang bersifat semi-permanen juga, kata Mila, tidak efektif. Pemerintah diharapkan mengecek penyebab pasti air sungai meluap. Selain karena tanggulnya yang rendah, ada kemungkinan sungai-sungai yang meluap dalam kondisi dangkal akibat sedimentasi.
”Jika sudah dengan pompa atau peninggian tanggul tetapi tetap banjir, berarti kan ada permasalahan di luar itu semua. Mungkin, perencanaannya tidak pas, pembangunannya tidak sesuai, daya dukung lingkungannya sudah tidak sesuai,” tutur Mila.
Kejadian seperti ini kan terjadi hampir setiap tahun. Pemerintah harusnya belajar. Kalau menyalahkan curah hujan, itu kan sudah diprediksi oleh BMKG, bisa diantisipasi.
Mila menyebut, Pemerintah Kota Semarang sedang menyusun rencana detail tata ruang. Ia berharap, dalam proses itu, pemerintah setempat bisa merencanakan penataan ruang yang berbasis bencana dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
”Misalnya, investor maunya di pesisir, ya, bagaimana fungsi tata ruang itu harus mengendalikan itu. Misal, harus dijaga supaya tidak menimbulkan banjir semakin parah, tidak menyedot air tanah. Jangan hanya menyediakan lahan tetapi pengelolaan lingkungannya diabaikan,” imbuhnya.
Beberapa waktu lalu, dosen planologi Universitas Negeri Semarang, Saratri Wilonoyudho, mengatakan, setidaknya ada tiga penyebab lain di luar cuaca buruk yang memicu banjir di Kota Semarang. Pertama, adanya penurunan muka tanah.
”Kondisi itu dipicu aktivitas pengambilan air bawah tanah yang masif. Penurunan muka tanah yang dibarengi dengan peningkatan air muka laut ini membuat air laut mengalir ke daratan atau banjir rob,” ujar Saratri.
Senada dengan Mila, Saratri juga menilai, Kota Semarang sudah tidak memiliki daya dukung lingkungan yang memadai. Bangunan-bangunan yang ada sudah melebihi kapasitas, bahkan dibangun tanpa ada perencanaan sistem drainase yang memadai. Kondisi itu masih ditambah dengan jumlah ruang terbuka hijau yang kurang dari 30 persen dan daerah resapan yang minim.
Sementara itu, faktor ketiga yang turut andil dalam memicu banjir adalah kerusakan hutan bakau atau mangrove di kawasan pesisir pantai utara Jateng. Kerusakan mangrove, kata Saratri, muncul seiring masifnya pembangunan di wilayah pesisir, seperti pembangunan kawasan-kawasan industri.
Minta maaf
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu meminta maaf kepada masyarakat di wilayahnya atas banjir yang terjadi. Ia menyebut, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya antisipasi, tetapi hujan ekstrem yang turun di luar perkiraannya.
”Kalau yang banjir ini di luar prediksi, tidak ada warning-nya,” ujar Hevearita di sela-sela peninjauan banjir di Kota Semarang, Rabu malam.
Hevearita mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mengatasi genangan dengan pompa air. Di samping itu, evakuasi kepada warga-warga yang masih terjebak banjir juga dilakukan.
Dapur umum juga, kata Hevearita, telah dilakukan. Dapur umum yang didirikan di sejumlah titik itu untuk menyuplai kebutuhan konsumsi warga terdampak banjir.
Selain di Kota Semarang, banjir juga melanda lima daerah lain di Jateng, yakni Kabupaten Pekalongan, Grobogan, Demak, Pati, dan Kudus. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jateng Bergas Catursasi Penanggungan mengatakan, pihaknya telah mengevakuasi bencana di sejumlah daerah tersebut.
”SOP (standar operating procedure) penanganan kami hampir sama. Jadi, SOP pertama kami adalah penyelamatan. Ini menjadi upaya utama dalam penyelamatan masyarakat. Bukan bicara harta benda, itu ditinggal dulu. Masyarakat harus aman dulu,” kata Bergas.
Baca juga: Cuaca Ekstrem Bayangi Jateng, Masyarakat Diminta Kurangi Aktivitas di Luar Rumah
Selain melakukan evakuasi, BPBD Jateng bersama BPBD kabupaten/kota juga menyediakan tempat pengungsian, menyiagakan pompa air portabel, mendirikan dapur umum, mendistribusikan kebutuhan konsumsi kepada warga yang terdampak, hingga kerja bakti dengan warga membersihkan puing-puing pasca-banjir.
”Kami juga telah berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Juana dan Pengeloalaan Sumber Daya Air untuk penanganan kondisi sungai,” katanya.
Semarang, sebagai kota yang sudah berkali-kali dilanda banjir, seharusnya bisa belajar dari bencana masa lalu. Setidaknya langkah antisipasi perlu dilakukukan agar banjir tak terulang, Jika tidak, warga akan selamanya terbelit persoalan bencana ini.