Sebanyak 21 remaja laki-laki ditangkap dan dibina karena hendak perang sarung di Kutasari, Purbalingga.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Kepolisian Sektor Kutasari Polres Purbalingga menggagalkan aksi perang sarung di Lapangan Jaka Kusuma Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2024) dini hari. Sebanyak 21 remaja ditangkap dan diberi pembinaan.
”Dari keterangan para remaja tersebut, mereka sebelumnya berkomunikasi melalui Whatsapp untuk melakukan perang sarung. Setelah ditentukan lokasi di Lapangan Jaka Kusuma, Desa Karangcegak, mereka kemudian berdatangan. Menurut rencana, perang sarung akan dilakukan lima lawan lima,” kata Kepala Kepolisian Sektor Kutasari Iptu Heru Riyanto, Rabu.
Heru menyampaikan, 21 remaja laki-laki yang ditangkap pukul 00.15 itu berasal dari Desa Karangcegak, Desa Sumingkir, Desa Meri, dan Desa Candiwulan. Disita pula 21 sarung yang sebagian sudah digulung siap digunakan perang sarung, 11 telepon seluler, dan 6 unit sepeda motor.
Heru menyebutkan, setelah didata, para remaja tersebut dibina. Orangtua serta perangkat desa masing-masing dihadirkan di Mapolsek Kutasari. ”Kami lakukan langkah pembinaan kepada mereka dengan menghadirkan orangtua dan pemerintah desa. Harapannya, mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya,” katanya.
Atas fenomena tersebut, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Tri Wuryaningsih, mengatakan, seyogianya sekolah, komunitas maupun desa setempat kiranya bisa membuat sarana kanalisasi agresi remaja tersebut.
”Yang namanya remaja itu, kan, harus punya penyaluran agresi, jadi harus dikanalisasi. Sementara ini, mereka terlalu banyak waktu ruang dan tidak ada kanal-kanal agresi yang sifatnya positif,” kata Tri.
Tri menyebutkan, kanalisasi agresi itu bisa berupa ketersediaan sarana olahraga maupun kegiatan-kegiatan penyaluran bakat.
”Sekarang semakin sedikit fasilitas publik yang dibiayai oleh negara dalam hal ini yang paling bawah adalah pemerintahan desa. Pemerintah desa harusnya menjawab kebutuhan itu,” ujarnya.
Tri mengkritisi pembangunan desa-desa masih sebatas infrastruktur fisik yang lebih cenderung memfasilitasi kebutuhan orang dewasa. Sementara itu, kebutuhan bagi anak dan perempuan cenderung kurang diperhatikan.
”Selama ini sudah ada program Indonesia layak anak sampai turun desa layak anak. Desa layak anak ini artinya desa itu mampu memberikan atau memenuhi hak-hak anak. Salah satunya ruang publik ramah anak,” paparnya.
Peran orangtua serta pemuka agama, lanjut Tri, juga perlu ditingkatkan, baik pengawasan, komunikasi, maupun pengarahan ke kegiatan yang positif.
”Pemuka agama juga harus terus mengingatkan bahwa bulan Ramadhan harus diisi kegiatan positif. Mereka bisa merangkul anak-anak muda dan remaja itu dilibatkan dalam kegiatan Ramadhan. Berikan mereka tanggung jawab untuk mengelola kemakmuran mushala, kemakmuran masjid, mengelola takjil, juga bisa menyelenggarakan pesantren kilat,” kata Tri.
Peran orangtua serta pemuka agama, juga perlu ditingkatkan, baik pengawasan, komunikasi, maupun pengarahan ke kegiatan yang positif.
Fenomena perang sarung umumnya terjadi selama puasa. Seperti diberitakan Kompas.id (27/3/2023), puluhan remaja di Kabupaten Wonosobo dan Banyumas ditangkap aparat karena kedapatan perang sarung yang berpotensi mengarah kepada tawuran antarkelompok.
Polres Wonosobo saat itu menangkap 29 remaja di sejumlah lokasi, sedangkan Polsek Kembaran Polresta Banyumas menangkap 8 remaja yang terlibat perang sarung.