Hanya Baju di Badan yang Tersisa
Korban banjir bandang di pedalaman Pesisir Selatan kehilangan rumah dan mengungsi dalam kondisi serba kekurangan.
Ingatan banjir bandang atau galodo yang menerjang kampung membawa duka mendalam bagi Nurhayati (43). Rumahnya lenyap tersapu air bah Sungai Surantiah. Seluruh harta benda hilang dalam sekejap.
”Hanya baju di badan yang tersisa,” ujarnya, Selasa (13/3/2024), di Kampung Batu Bala, Nagari Ganting Mudik Utara Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat,
Ia tak sendirian. Seratus lebih keluarga kehilangan tempat tinggal. Galodo memang tak pandang bulu.
Hujan deras turun sejak Kamis (7/3/2024) sore. Waktu itu, ia bersama anaknya berkumpul di rumah, sedangkan suami masih di ladang gambir.
Selepas maghrib, air meninggi dan menggenangi bagian dalam rumah. Karena khawatir, Nurhayati membawa anaknya yang masih berusia enam tahun berlari ke luar rumah.
Rupanya, air sungai meluap dengan cepat. Bahkan, sekitar pukul 19.00, galodo menerjang dengan membawa batang-batang kayu besar, lumpur, serta bebatuan. Galodo menghantam rumah mereka tak bersisa. Kengerian itu sulit hilang dari ingatan.
Baca juga: Lokasi Banjir Bandang di Pedalaman Pesisir Selatan Sulit Dijangkau
Malam itu, ia hanya bisa meratapi rumahnya yang hanyut. Karena tiada pilihan, mereka pun bermalam di bangunan sekolah TK yang telah dipenuhi lumpur.
Nasib serupa dialami Reno (52), warga Kampung Batu Bala lainnya. Saat galodo menerjang pada Kamis malam, ia sedang di ladang. Sewaktu pulang dari ladang, ia kaget mendapati rumahnya sudah runtuh. Hanya lantai rumah yang tersisa. Reno pun menangis kehilangan akal. Harta benda dan surat-surat juga hanyut.
”Rencana sepulang dari ladang hendak malamang (membuat lemang) untuk puasa. Namun, ketika sampai di rumah, malah bencana yang menanti,” ujarnya.
Lari ke bukit
Reno dan suami kemudian menyusul anak-anaknya yang sudah berlari lebih dulu ke arah bukit. Di tengah perjalanan, pinggang suaminya dihantam batang pohon yang terbawa arus. Beruntung sang suami bisa selamat.
Galodo seperti ini tidak pernah terjadi, bahkan sejak zaman ayek (nenek) saya.
Malam itu, mereka numpang menginap di rumah warga di sekitar bukit. Pada hari-hari selanjutnya, mereka berpindah-pindah menumpang ke rumah lain.
”Karena rumah hancur, anak kami baserak-serak (terpencar-pencar). Ada yang tinggal bersama kakaknya di kampung sebelah karena anak kecil, ada yang di tempat lain,” ujar perempuan yang sebelumnya tinggal berdelapan dengan suami, anak-anak, menantu, dan cucu itu.
Baca juga: Lokasi Banjir Bandang di Pesisir Selatan Sulit Dijangkau
Menurut Reno, galodo baru kali ini terjadi di desa itu. Memang biasanya air sungai meluap, tetapi banjirnya tidak pernah sampai besar. Biasanya, air meluap hanya sampai jalan permukiman. ”Galodo seperti ini tidak pernah terjadi, bahkan sejak zaman ayek (nenek) saya,” ungkapnya.
Sementara itu, Raminis (43) yang juga terdampak banjir bandang di Kampung Batu Bala mengamati kondisi rumahnya yang tinggal separuh di bagian dapur dan kamar belakang, Selasa siang. Bagian depan rumah sudah hanyut dibawa air bah.
”Baru sekarang saya berani berdiri di sini. Sebelumnya hanya lihat dari kejauhan. Tiap pagi melihat rumah ini, saya selalu menangis. Hasil jerih payah selama ini hilang begitu saja. Hanya dengan baju sehelai di badan saja kami lari,” katanya.
Baca juga: Potret Dahsyatnya Banjir Bandang di Pesisir Selatan, Sumatera Barat
Selain rumah, keluarganya juga kehilangan tabungan emas, uang tunai, dan mesin penggiling padi. Surat-surat berharga, perabotan rumah, dan pakaian juga tak bersisa. Sekarang Raminis dan keluarga bergantung hidup dari bantuan.
Raminis berkisah, saat air di dalam rumahnya sudah setinggi lutut, ia sedang memasak. Tanpa pikir panjang, Raminis sekeluarga lari ke gedung SD beberapa puluh meter dari rumahnya. Namun, air semakin deras. Mereka pun lari ke rumah warga di atas bukit.
Sekitar pukul 23.00 WIB, tiga rumah di depan rumah Raminis berderak dan hanyut. Tak berapa lama, rumahnya turut hancur. ”Kami sigi dengan senter dari atas bukit, rumah sudah hilang sebagian,” katanya.
Jumat (8/3/2024), beberapa pria yang tinggal di lokasi banjir bandang, termasuk suami Raminis, turun untuk memantau kondisi. Saat itu, sang suami hanyut ke seberang sungai. ”Akhirnya diselamatkan pemuda dengan tali,” ujarnya.
Butuh bantuan
Raminis berharap ada bantuan dari pemerintah untuk membangun rumah. Sejak kehilangan rumah, ia bersama suami dan lima anaknya tinggal berpindah-pindah di rumah keluarga dan tetangga. Kebutuhan sehari-hari bergantung pada bantuan meskipun tidak mencukupi.
”Dibuat pondok-pondok kecil saja di bukit sana. Kalau ada rencana relokasi, saya juga mau. Tak mungkin selamanya kami menumpang, apalagi anak-anak banyak,” kata perempuan petani gambir ini.
Para korban bencana itu kini hidup serba kekurangan. Makanan tak memadai. Malam tanpa penerangan. Selimut pun tak ada demi sekadar menghangatkan tubuh.
”Kalau bisa, ada bantuan rumah bagi keluarga kami. Kalau direlokasi, setuju saja, kami tak lagi punya tanah,” kata Nurhayati.
Bantuan tenda darurat sangat dia harapkan sebagai tempat berteduh sementara. Namun, ia tidak tahu hendak meminta kepada siapa.
Baca juga: Pemda Diminta Prioritaskan Kebutuhan Dasar Korban Banjir dan Longsor Sumbar
Adapun Reno mencoba bertahan dengan mengalasi lantai rumah menggunakan beberapa lembar papan dan tikar. Lalu, terpal dipasang sebagai atap. Itulah tempat tinggal sementara bagi keluarganya.
”Kalau dingin, nanti pindah ke rumah tetangga, masih ada sebelah ruangan tersisa meskipun berlumpur,” kata Reno sembari melipat pakaian tersisa yang dipungutnya dari timbunan lumpur dan telah dicuci.