Ramadhan Datang, Waktu Berburu Kudapan di Palangkaraya Pun Tiba
Ramadhan tiba, saatnya berburu kudapan di pasar ”wadai”. Pasar kudapan ini hanya bisa dinikmati saat bulan puasa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Bulan puasa tiba, waktu berburu kudapan pun datang. Di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ratusan pengusaha kecil dan menengah memanfaatkan momen Ramadhan untuk berjualan kudapan atau yang dikenal dengan sebutan wadai.
Pasar Ramadhan atau Pasar Wadai selalu muncul jelang Ramadhan di Kota Palangkaraya. Bahkan, pemerintah memfasilitasi para pengusaha kecil menengah itu dengan membangun pasar khusus untuk berjualan kudapan yang dalam bahasa Banjar disebut wadai, atau yang lebih dikenal lagi dengan sebutan takjil.
Di Kota Palangkaraya, pemerintah menyiapkan delapan tempat untuk penduduk di ibu kota Provinsi Kalteng itu berburu wadai. Delapan titik itu ada di Jalan AIS Nasution, tepatnya di depan SMA Negeri 2 Palangkaraya; Jalan Hasanuddin di sebelah Masjid Al Husna di kawasan Pasar Datah Manuah; Jalan Rajawali; kawasan Masjid Shalahuddin Universitas Palangkaraya; lalu di kawasan Masjid Kubah Kecubung; dan kawasan pasar Kahayan.
Adapun pusat perayaan Festival Ramadhan ada di sebelah rumah jabatan Gubernur Kalteng. Pembukaan Festival Ramadhan itu sekaligus membuka pasar-pasar wadai yang sudah disiapkan dalam satu minggu belakangan. Tenda-tenda dibangun dengan lebih kurang 100-115 lapak di dalamnya. Hal itu seperti ditemui di Jalan AIS Nasution pada Selasa (12/3/2024) pagi, masyarakat sudah memenuhi pasar wadai.
Ribuan kendaraan diparkir tak jauh dari Stadion Mantikei. Jalan masuk ke pasar pun macet karena begitu banyak yang datang berburu takjil sejak pukul 15.00. Surianti (40), salah satu penjual kue bingka, mengaku hanya berjualan selama lebih kurang tiga jam sebelum kudapan khas Banjar itu ludes terjual.
Bingka yang ada di pasar wadai di Jalan Nasution punya beragam rasa, mulai dari bingka pisang hingga bingka cokelat. Harganya pun beragam. Kue bingka dengan bentuk bunga dijual dengan harga Rp 1.000 per potong, sedangkan bingka dengan bentuk kue tar dijual dengan harga Rp 5.000 per potong, dan untuk satu loyang dijual Rp 45.000.
Bingka jadi salah satu yang paling diincar pembeli karena rasanya unik. Rasa manis kue ini, seperti yang dibuat oleh Surianti, tidak menggunakan gula pabrik, tetapi dari manis pisang atau buah-buahan lain yang dicampur. “Bisa juga pakai air tebu,” ungkapnya.
Selain bingka, ada juga berbagai macam gorengan, es buah, dan berbagai macam wadai. Pembeli yang datang dari berbagai wilayah di Kota Palangkaraya. Sebagian besar bahkan bukan orang yang sedang berpuasa atau non-Muslim.
“Ini yang saya tunggu kalau Lebaran, pasar wadai. Meski saya enggak puasa, di sini banyak wadai yang enggak bisa kita nikmati setiap hari, jadi saya selalu berburu kue kalau udah ada pasar wadai,” ungkap Jhon (31), warga Palangkaraya.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran, di sela-sela acara pembukaan Festival Ramadhan, mengatakan, Lebaran kali ini selalu punya makna tersendiri bagi tiap orang. Kali ini, Lebaran di Kalteng akan diramaikan dengan berbagai macam acara yang terangkai dalam Festival Ramadhan,
Mulai dari perlombaan hingga pasar wadai semua digelar untuk memeriahkan Ramadhan. Kemeriahan dan kenikmatan itu dilakukan bukan hanya untuk masyarakat Muslim, melainkan juga warga secara umum.
“Semua harus ikut merasakan kemeriahan dan kesucian bulan Ramadhan untuk Kalteng yang lebih berkah,” ungkap Sugianto.
Kalteng dikenal sebagai ”Bumi Pancasila”. Predikat itu muncul pada 11 Juni 2011 saat Provinsi Kalteng dideklarasikan sebagai Bumi Pancasila oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang bersama Yayasan Indonesia Satu.
Deklarasi itu dilaksanakan di Tugu Soekarno di Jalan Ahmad Yani, Kota Palangkaraya. Di tugu ini, Soekarno meletakkan batu pertama yang menandai penetapan Kalteng sebagai provinsi baru di Indonesia pada 1957 (Kompas, 6 Juni 2019).
Mulai dari perlombaan hingga pasar wadai semua digelar untuk memeriahkan Ramadhan. Kemeriahan dan kenikmatan itu dilakukan bukan hanya untuk masyarakat Muslim, melainkan warga secara umum.
Sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan Bumi Pancasila, lanjut Sugianto, kerukunan dan toleransi harus menjadi yang utama.
Sugianto mengingatkan kembali soal semangat Bumi Pancasila yang didasari Filosofi Huma Betang. Huma betang merupakan rumah adat khas Dayak yang diisi oleh sejumlah orang dengan berbagai latar belakang.
Tak ayal, di Kalteng terdapat begitu banyak daerah yang membangun tempat ibadah berdampingan, seperti masjid dan gereja yang dibuat satu dinding di Kota Palangkaraya, serta empat tempat ibadah bagi umat yang berbeda di Kotawaringin Timur. “Mari kita sambut Ramadhan dengan penuh sukacita dan khidmat,” ujarnya.