Hormati Nyepi, Warga Muslim di Mataram Tarawih Tanpa Pengeras Suara
Sejumlah masjid di Kota Mataram, tidak menggunakan pengeras suara luar saat shalat Tarawih untuk menghormati Nyepi.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Shalat Tarawih pertama Ramadhan 1445 Hijriah di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, dilaksanakan saat umat Hindu di kota tersebut masih melaksanakan Catur Brata Penyepian dalam rangka Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946, Senin (11/3/2024). Umat Muslim di sejumlah masjid yang berdekatan dengan permukiman Hindu turut menjaga ketenangan Nyepi dengan tidak memakai pengeras suara luar saat beribadah.
Hal itu, misalnya, dilakukan pengelola Masjid At Taqwa Karang Bedil Cakranegara Timur, Kecamatan Cakranegara. ”Kami pakai speaker atas saat azan saja. Setelah itu, saat shalat dan tarawih, pakai speaker dalam,” kata Andi Usman (46), marbot Masjid At Taqwa Karang Bedil, Cakranegara Timur.
Menurut Andi, hal itu juga dilakukan tahun lalu karena Nyepi berlangsung saat tarawih pertama Ramadhan 1444 Hijriah. ”Selesai Nyepi juga, kami tetap berusaha menjaga ketenangan teman-teman Hindu yang tinggal di sekitar masjid. Misalnya dengan tidak lagi memakai pengeras suara atas saat tadarusan setelah jam 10 malam. Tidak enak rasanya, nanti istirahat mereka terganggu,” kata Andi.
Masjid At Taqwa berada dekat dengan permukiman atau tempat umat Hindu. Sisi barat, misalnya, hanya dibatasi dengan tembok, sisi utara sekitar tiga rumah, timur dibatasi jalan lingkungan, dan selatan sekitar 100 meter. Dengan jarak itu, menghidupkan speaker atas akan sangat mengganggu karena jangkauannya bisa sampai sekitar dua kilometer.
Samhadi (65), salah satu warga di kawasan itu, mengatakan, tidak menggunakan speaker atas saat umat Hindu melaksanakan Nyepi adalah bentuk toleransi mereka di antara umat beragama.
”Ini sudah jadi hal rutin. Tidak hanya pada momen seperti ini, tetapi juga sehari-hari. Bahkan, kami sudah terbiasa saling bantu dan saling undang saat acara keagamaan atau kepaten,” kata Samhadi.
Menurut Samhadi, karena sudah biasa, masyarakat tidak mempermasalahkan hal itu, termasuk pemadaman listrik di kawasan tersebut. ”Paling hanya lampu jalan sekitar masjid saja masih nyala. Biar orang tahu ada masjid,” kata Samhadi.
Masjid Nurul Yakin Seganteng Karang Gebang, yang juga berada di Cakranegara, melakukan hal serupa. Apalagi masjid ini bisa dibilang dikelilingi oleh rumah-rumah umat Hindu.
”Bahkan, di kawasan ini, tidak hanya Hindu yang sedang Nyepi. Warga dari agama lain juga ada yang tinggal. Jadi, kami berusaha menjaga ketenangan termasuk saat ibadah bulan Ramadhan," kata Zulkarnaen (57), salah satu warga.
Menurut Zulkarnaen, sama seperti masjid lain yang juga berdekatan dengan permukiman Hindu, pada saat Tarawih, mereka tidak menggunakan pengeras suara atas. Begitu juga saat tadarusan, menggunakan speaker dalam.
Pujiarno (37), warga lain di kawasan itu, menambahkan, memang tahun ini tidak ada surat edaran dari Pemerintah Kota Mataram. Meski demikian, atas kesadaran sendiri melakukan hal itu.
”Ini cara memperkuat toleransi antarumat beragama yang memang sudah sejak lama terjalin. Tidak hanya saat Nyepi, tetapi juga kesempatan lain. Bahkan, saat pembangunan masjid ini, umat agama lain juga ikut gotong royong,” kata Pujiarno.
Pantauan Kompas, di Masjid At Taqwa Karang Bedil, shalat tarawih berjamaah dimulai sekitar pukul 20.00 Wita. Umat Muslim di masjid itu terlihat khusyuk beribadah. Seperti shalat Isya berjemaah, saat shalat Tarawih, imam juga tidak menggunakan pengeras suara yang terdengar dari luar masjid.
Terkait hal itu, ketua pecalang sekaligus Kepala Lingkungan Karang Tulamben Cakra Timur Nengah Putu Suarta mengatakan sangat mengapresiasi apa yang dilakukan umat Muslim di kawasan itu.
”Kami sangat bersyukur karena merasa dihargai. Kami juga melakukan hal serupa di bulan Ramadhan saat warga Muslim di kawasan ini berpuasa. Misalnya kalau mau merokok, sembunyi-sembunyi atau jauh dari mereka,” kata Putu.
Selain itu, kata Putu, mereka juga aktif mendukung kegiatan umat Islam di kawasan itu. Misalnya, ikut menjaga keamanan saat berlangsungnya hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
”Di Cakra Timur ini, dari delapan lingkungan, dua lingkungan ditempati warga Muslim, sedangkan lainnya Hindu. Kepala lingkungan kami juga sudah mengarahkan hal itu (saling menghormati antarumat beragama),” kata Putu.
Kami sangat bersyukur karena merasa dihargai. Kami juga melakukan hal serupa di bulan Ramadhan saat warga Muslim di kawasan ini berpuasa.
Pelaksanaan Nyepi yang berbarengan dengan malam pertama shalat Tarawih juga menjadi salah satu perhatian Kantor Wilayah Kementerian Agama RI Provinsi NTB.
Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Islam Kanwil Kemenag RI Provinsi NTB Azharuddin mengatakan, Kepala Kanwil telah mengumpulkan seluruh tokoh dan instansi terkait.
Dalam pertemuan itu, disepakati untuk saling menghormati penyelenggaraan kegiatan keagamaan yang berdekatan. Dalam hal ini hari raya Nyepi dan Ramadhan.
”Kampung yang berbatasan, misalnya Lombok Barat dan Mataram, yang mayoritas atau banyak Hindu dan Muslim, kita berharap saling menghormati dan menjaga kegiatan-kegiatan antarumat beragama. Supaya daerah kita tetap tenang aman dan kondusif,” kata Azharuddin.
Kondusif
Hingga Senin malam, Catur Brata Penyepian Umat Hindu berjalan kondusif. ”Untuk wilayah saya, sampai malam ini aman. Tetapi dibandingkan pagi, untuk malam kami aktif misalnya untuk patroli. Hal itu karena lebih rawan karena lampu padam,” kata Putu.
Di kawasan Cakranegara, lampu-lampu di lingkungan warga Hindu dipadamkan. Tidak ada satu pun lampu yang menyala sebagai salah satu pantangan dalam Catur Brata Penyepian.
Catur Brata Penyepian adalah empat pantangan bagi umat Hindu selama Nyepi, yaitu amati karya (larangan bekerja), amati geni (larangan menyalakan api atau lampu), amati lelungan (larangan bepergian), dan amati lelanguan (larangan bersenang-senang).
Para pecalang di masing-masing lingkungan terlihat berjaga di pintu-pintu masuk lingkungan yang sudah ditutup. Ada juga yang berpatroli.