Aliansi Rakyat Menggugat di Banyumas ”Tapa Pepe” Kritisi Demokrasi
Aliansi Rakyat Menggugat di Banyumas menggelar demonstrasi tapa pepe di Alun-alun Purwokerto.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Sekitar 30 orang yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat menggelar demonstrasi untuk mengkritisi demokrasi Indonesia pasca-Pemilu 2024. Mereka menggelar aksi damai dengan tapa pepe alias bertapa berjemur di bawah terik matahari di Alun-alun Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (6/3/2024).
”Ini bagian dari gerakan nasional di banyak tempat, di banyak daerah, sebagai bentuk aksi keprihatinan atas mundurnya proses demokrasi di Indonesia,” kata Koordinator Lapangan Aksi Aliansi Rakyat Menggugat Bayu Aji, Rabu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Bayu menyampaikan, meski jumlah peserta aksi tidak banyak, gerakan ini menjadi peringatan bagi negara dan pemerintah. ”Ini bagian dari peringatan kepada negara, dalam hal ini adalah pemerintah. Kami memantau sebagai rakyat, ada ketidakberesan, ada kecurangan, dan kita tidak puas atas proses prapemilu yang memang sudah berjalan di tahun 2024,” paparnya.
Menurut Bayu, aksi tapa pepe ini adalah wujud keprihatinan masyarakat Banyumas. ”Mereka berdoa dengan keyakinannya masing-masing agar ke depan proses demokrasi terjaga dengan baik, tidak mundur, dan masyarakat ke depan tidak dikecewakan,” katanya.
Bayu juga menyebutkan, aksi dari buruh, aktivis, mahasiswa, dan warga ini merupakan bentuk dukungan terhadap hak angket yang pada turunannya terdapat penolakan terhadap hasil pemilu dan pemakzulan Presiden Joko Widodo.
”Latar belakangnya adalah karena memang penyelenggara negara, dalam hal ini yang berkewajiban melakukan tugas-tugasnya dalam proses pemilu, baik KPU, Bawaslu, atau Presiden, yang paling bertanggung jawab. Kami merasa mereka gagal melakukan proses demokrasi di 2024 ini,” ujarnya.
Selain tapa pepe, mereka juga membawa tumpeng. Bukan tumpeng nasi yang dibawa, melainkan tumpeng tiwul atau nasi dari olahan singkong. ”Tiwul adalah salah satu simbol harga beras yang saat ini relatif mahal. Jadi, hari ini kita pesta tiwul, boled (singkong rebus), munthul (ubi rebus), begitu istilah banyumasannya,” ujarnya.
Yatinah (53), salah seorang peserta aksi yang sehari-hari berjualan martabak, mengeluhkan tingginya harga beras. Dengan membawa wajan/penggorengan sebagai tutup kepala serta spatula, Yatinah membawa poster bertuliskan ”Inyong Ora Ngerti Apa-apa, Ngerti-ngerti Beras Larang”, yang artinya ’saya tidak tahu apa pun, tahu-tahu beras mahal’.
”Apa-apa mahal. Beras sampai Rp 17.000, tidak pernah semahal ini selama ini. Sekarang beras mahal. Aku nelangsa dadi wong cilik (saya nelangsa menjadi orang kecil),” tuturnya.
Tiwul adalah salah satu simbol harga beras yang saat ini relatif mahal.
Mereka juga membawa spanduk dan poster dengan aneka tulisan, antara lain ”Selamatkan Indonesia, Selamatkan Demokrasi”, ”Hak Angket Harus Menang, Pelaku Harus Tumbang”, ”Dorong DPR Gunakan Hak Angket”.
Kepala Bagian Operasi Polresta Banyumas Komisaris Agus Amjat Purnomo menyampaikan, total personel yang dikerahkan untuk mengamankan aksi ini sebanyak 510 orang yang terdiri dari jajaran TNI/Polri, Satpol PP, dan personel Dinas Perhubungan Kabupaten Banyumas.
Seperti diberitakan Kompas (6/3/2024), meski wacana hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024 semakin gencar digulirkan, fraksi-fraksi di DPR masih saling tunggu untuk mengajukannya.
Sejumlah fraksi menanti sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemilik kursi terbanyak di parlemen. Sementara itu, PDI-P justru membebaskan anggotanya di DPR untuk menentukan sikap soal hak angket.