Longsor Lagi di Jalur Wonosobo-Dieng, Mitigasi Mendesak Ditingkatkan
Longsor di jalur wisata Wonosobo-Dieng kembali terjadi. Kendati tak ada korban jiwa, mitigasi mendesak dilakukan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
WONOSOBO, KOMPAS — Tebing setinggi 10 meter di ruas jalan Wonosobo-Dieng, tepatnya di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, longsor pada Minggu (3/3/2024) sore. Tidak ada korban jiwa dalam bencana ini, tetapi akses wisata ini tertutup dan terjadi kemacetan hingga tiga jam. Longsor di wilayah ini terus berulang. Mitigasi perlu ditingkatkan untuk meminimalkan dampak.
”Hujan lebat dan lama mengakibatkan tebing setinggi 10 meter longsor dan menutup badan jalan provinsi. Dampaknya, terjadi kemacetan tiga jam lebih,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Wonosobo Dudy Wardoyo, Minggu malam.
Dudy menyampaikan, longsor tebing terjadi pukul 14.30 dan pembersihan material longsor dimulai pukul 15.00 hingga selesai pukul 17.45. ”Telah dipastikan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini,” ucapnya.
Dari catatan Kompas, longsor serupa pernah terjadi pada 10 Februari 2021. Tebing setinggi 15-20 meter di Dusun Kalilembu, Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, longsor menutup jalan sehingga menyebabkan kemacetan hingga lima jam (Kompas.id, 10/2/2021). Kemudian pada 9 Februari 2022, longsor terjadi di Desa Parikesit dan Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar. Saat itu seorang pengendara motor terluka akibat terseret longsoran (Kompas.id, 9/2/2022).
Dalam laporan akhir yang disusun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Wonosobo (2018) berjudul ”Risiko Bencana Kabupaten Wonosobo di Kecamatan Kejajar” disebutkan, faktor topografi yang sangat beragam, kemiringan lereng yang curam di sebagian wilayah, curah hujan yang tinggi, dan rendahnya kerapatan vegetasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada tingginya tingkat ancaman bencana longsor di sana (Nugraha, dkk, 2015).
Penelitian Setyari (2012), sebagaimana dikutip dari laporan akhir tersebut, menyebutkan, Kecamatan Kejajar rawan terjadi bencana longsor. Lahannya yang curam seharusnya tidak boleh digarap untuk pertanian. Namun, kenyataannya lahan tersebut diolah untuk pertanian. Apalagi, pada tahun 1985 hingga tahun 1995 terjadi booming penanaman kentang yang tidak mengenal musim dan telah memberikan kemakmuran serta kesejahteraan bagi petani setempat. Terjadinya penanaman kentang besar-besaran telah merangsang masyarakat di Kecamatan Kejajar untuk memperluas areal lahan pertaniannya. Perluasan areal lahan ini hingga merambah ke lahan pertanian untuk pembukaan hutan seluas 900 hektar menjadi lahan pertanian kentang (Setyari, 2012).
Dihubungi terpisah, Senin (4/3/2024), analis longsor Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indra Permanajati, menyampaikan, secara geologi daerah tersebut memang berpotensi longsor karena terdiri atas lapukan batuan-batuan vulkanik produk dari gunung api sekitar kawasan Dieng. Batuan vulkanik ini telah terbentuk jutaan tahun yang lalu dan sudah mengalami pelapukan menjadi tanah yang membentuk dinding-dinding tebing atau perbukitan di kawasan tersebut.
”Kondisi rawan longsor terutama disebabkan karena pemotongan tebing-tebing yang relatif curam dan tegak untuk akses pembuatan jalan. Tebing-tebing ini menjadi rawan longsor karena terpotong secara vertikal sehingga material lapuk yang menempel pada dinding-dinding tebing mudah sekali longsor,” ucap Indra.
Percepatan longsor bisa disebabkan oleh kondisi curah hujan yang tinggi sehingga air yang masuk ke dalam tanah akan mengubah karakteristik tanah menjadi lunak dan lembek sehingga mudah untuk bergerak dan longsor. Hal ini menjadi hal yang sangat wajar dan akan terjadi berulang pada lokasi dengan tipe yang sama.
”Yang menjadi perhatian adalah karena jalan tersebut merupakan akses yang penting bagi pengendara. Jadi, kejadian longsor harus diwaspadai, terutama bila kejadian terjadi di saat-saat kendaraan dalam intensitas yang tinggi,” katanya.
Menurut Indra, mitigasi bisa dilakukan secara sistematis, yaitu dengan melakukan pemetaan sepanjang jalan tersebut dan mengetahui tingkat kestabilannya. Hal ini bisa dilakukan dengan pengambilan sampel kondisi material tanah untuk kemudian dianalisis di laboratorium dan disimulasikan dengan perangkat lunak (software) kestabilan lereng.
”Dari hasil analisis dapat ditentukan tingkat kestabilan lerengnya yang selanjutnya dapat dilakukan langkah mitigasi. Langkah mitigasi akan tepat kalau identifikasi lokasi dapat ditentukan dengan baik. Gambaran sederhana dari mitigasi tersebut adalah dengan pelandaian geometri tebing, membuat dinding-dinding penahan jalan, dan teknologi geogrid untuk mengatasi erosi tanah pada tebing miring,” katanya.
Percepatan longsor bisa disebabkan oleh kondisi curah hujan yang tinggi sehingga air yang masuk ke dalam tanah akan mengubah karakteristik tanah menjadi lunak dan lembek sehingga mudah untuk bergerak dan longsor.
Indra menambahkan, langkah darurat bisa dilakukan dengan memberikan rambu rawan longsor untuk daerah-daerah yang berbahaya dan pemasangan alat (peringatan dini) jika kondisi sudah mengalami retakan atau rawan longsor.
”Masyarakat juga perlu diimbau dengan papan perhatian di jalan sebelum memasuki area rawan longsor untuk berhati-hari melewati jalan tersebut dan langkah praktis yang bisa dilakukan masyarakat jika terjadi longsor. Dengan mitigasi tersebut, diharapkan risiko akibat tanah longsor di lokasi sepanjang Dieng bisa diatasi atau diminimalkan,” ucapnya.