Banjir di Kalimantan Tengah bukan hanya karena intensitas hujan, melainkan deforestasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Banjir di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, perlahan surut. Banjir yang melanda selama seminggu lebih itu merendam 23 desa dan kelurahan di kabupaten tersebut. Banjir tersebut terjadi hampir setiap tahun dan dinilai bukan hanya karena intensitas hujan.
Banjir mulai surut seiring dengan intensitas hujan yang berkurang. Herianto (30), warga Desa Hanjalipan, Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, mengungkapkan, sehari lalu banjir menutup akses sehingga desanya hampir terisolasi. Pada Senin (4/3/2024) pagi, banjir perlahan surut meski beberapa rumah masih terendam.
”Sejak kemarin sudah enggak ada hujan. Semoga di hulu juga enggak hujan, jadi sungai enggak meluap lagi,” kata Herianto saat dihubungi dari Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotawaringin Timur Multazam menjelaskan, sebelumnya banjir melanda 23 desa dan kelurahan di wilayahnya. Kini banjir mulai surut dan masyarakat mulai beraktivitas seperti biasa.
Multazam menambahkan, sampai saat ini tidak ada laporan korban jiwa selama banjir. Masyarakat yang terdampak banjir sempat mengungsi, tetapi kini sudah mulai kembali ke rumah mereka masing-masing.
Dari data Pusat Pengendalian Operasi dan Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) mencatat, banjir tidak hanya melanda Kabupaten Kotawaringin Timur. Sampai saat ini banjir juga melanda di Kabupaten Barito Selatan, Katingan, Pulang Pisau, dan Kabupaten Murung Raya. Terdapat 7 kecamatan dengan total 28 desa dan kelurahan yang masih terdampak banjir.
Di Barito Selatan, banjir sudah melanda selama lebih kurang satu bulan. Alif Rahman (35), warga Buntok, Kabupaten Barito Selatan, mengungkapkan, banjir datang begitu cepat, lalu bertahan cukup lama. Di wilayahnya, banjir sudah terjadi sejak Januari lalu.
”Sekarang sudah surut lagi, tetapi kalau hujannya makin lebat, ya, banjir lagi. Hampir setiap tahun begini,” kata Alif.
Banjir sekarang malah ada yang sampai atap.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalteng Ahmad Toyib menjelaskan, banjir di Kalteng berdampak ke 6.735 keluarga dengan total 20.503 orang. Banjir kali ini juga merendam setidaknya 80 fasilitas publik, mulai dari rumah sakit, sekolah, hingga puskesmas. Total terdapat 2.609 rumah warga terdampak banjir.
”Sebagian besar mulai surut, tetapi kami mengimbau warga untuk tetap waspada dengan cuaca ekstrem,” kata Toyib.
Bencana
Banjir di Kalimantan Tengah terjadi hampir setiap tahun dan semakin memburuk. Melihat hal itu, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menjelaskan, selain intensitas hujan yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir, banjir juga terjadi karena penurunan daya dukung alam dan lingkungan.
Seperti yang terjadi di Kotawaringin Timur, lanjut Habibi, banjir sudah terjadi sejak lama. Sebagai warga Kotawaringin Timur, tepatnya di Cempaga Hulu, Habibi melihat banjir yang terjadi hampir tiap tahun itu semakin buruk.
”Orangtua kami bangun rumah panggung yang cukup tinggi itu memperhitungkan banjir, sesuai pengalamannya mereka dulu. Banjir sekarang malah ada yang sampai atap,” kata Habibi.
Habibi menilai, intensitas hujan bukan faktor tunggal penyebab banjir, termasuk juga menurunnya daya dukung dan daya tampung hujan oleh lingkungan. Penurunan itu disebabkan deforestasi yang terjadi karena alih fungsi lahan ke perkebunan dan pertambangan.
”Kotawaringin Timur itu wilayah yang kehilangan tutupan hutan paling banyak di antara daerah lain di Kalimantan Tengah. Ini yang perlu dilihat daripada sekadar menyalahkan intensitas hujan,” kata Habibi.
Penting bagi masyarakat dan pemerintah, lanjut Habibi, untuk mencegah agar bencana karena ulah manusia ini tidak terjadi terus-menerus. ”Tidak ada cara lain selain memulihkan lingkungan yang rusak dan menjaga hutan yang tersisa,” katanya.