Kisah Petani di Cirebon Bersiasat dengan Pupuk dan Pestisida Organik
Petani di Cirebon bersiasat dengan pupuk dan pestisida organik. Namun, perjuangan petani untuk mandiri masih panjang.
Ketika alokasi pupuk bersubsidi berkurang, harga pestisida kimia membuat pusing, dan hama menyerang, sejumlah petani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tetap tenang. Mereka bersiasat dengan pupuk dan pestisida organik. Namun, perjuangan petani untuk mandiri masih panjang.
Rojai (49) tersenyum menunjukkan drum biru berisi urine sapi yang telah melalui fermentasi di kandang miliknya di Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon, Rabu (28/2/2024). Saat tutup drum dibuka, aroma urine yang menyengat menguar. Tampak pula gelembung di atasnya.
Bagi orang lain, urine itu mungkin bau dan kotor. Tapi, untuk Rojai, kencing sapi itu menghasilkan cuan. Bagaimana tidak, urine itu menjadi bahan utama pupuk organik cair (POC) untuk membantu pertumbuhan tanaman. Ia menjual POC itu dengan harga Rp 20.000 per liter.
Baca juga: Kemandirian ala Petani Indramayu
“Ini kalau dijual, harganya Rp 2 juta,” ucap Rojai tentang wadah berisi 100 liter urine itu. Kumpulan urine itu berasal dari 10 ekor sapi yang buang air tiga hari. Artinya, selama itu, ia bisa meraup uang yang hampir menyentuh upah minimum kabupaten, yakni Rp 2,4 juta per bulan.
POC buatan Rojai jauh lebih murah dibandingkan harga pupuk cair kimia yang berkisar Rp 60.000 – Rp 90.000 per liter. Meski demikian, POC bukan berarti murahan. Sawah yang memakai pupuk itu batang dan daun padinya tampak hijau. Tanahnya mudah ditanami, subur.
“Urine sapi itu mengandung pestisida. Jadi, enggak usah beli obat (pestisida kimia) lagi, larang (mahal),” ucap Ketua Kelompok Ternak Jaya ini. POC itu biasanya disemprotkan ke sawah saat tanam dengan interval 10 hari berikutnya. Dalam satu hektar, kebutuhan POC minimal lima liter.
Tidak hanya urine ternak, Rojai juga mengolah kotoran sapi menjadi pupuk kompos. Ia bahkan memiliki kemasan khusus pupuk organik padat dengan merek Supersonik. Harganya hanya berkisar Rp 2.000 per kg, lebih murah dibandingkan pupuk kimia yang bisa belasan ribu rupiah.
Pupuk kompos sangat membantu di tengah berkurangnya alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah. Petani, misalnya, hanya dijatah 70 kilogram per satu pupuk bersubsidi untuk satu hektar sawah. Padahal, biasanya, petani mendapat lebih dari 1 kuintal per jenis pupuk bersubsidi.
Petani pun membeli pupuk nonsubsidi yang harganya bisa Rp 1 juta per kuintal. “Sebenarnya, pupuk kimia itu hanya semacam starter untuk pertumbuhan tanaman. Selanjutnya, pakai pupuk kompos saja. Lebih murah dan bagus,” ucap Rojai yang masih memakai sedikit pupuk kimia.
Ketika petani lainnya mengeluhkan jatah pupuk bersubsidi yang berkurang, ia tetap tenang. Sebab, ia sudah mengandalkan pupuk kompos. “Dari 2017, saya enggak pernah bergantung sama pupuk dan pestisida kimia,” ungkap Ketua Kelompok Tani Makmur Desa Tegalkarang ini.
Rojai mulai intens mengembangkan pupuk dan pestisida organik pasca mendapatkan program unit pengelolaan pupuk organik dari Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon tahun 2016. Program itu merupakan apresiasi pemerintah setelah ia menjadi peternak terbaik tingkat kabupaten.
“Saat itu, saya bisa punya 120 ekor sapi dan 50 ekor kambing saat kurban,” ucapnya. Dengan populasi ternak tersebut, ia belajar mengolah kotoran menjadi pupuk dan pestisida organik. Rojai pun keliling daerah untuk belajar dari peternak, petani, hingga profesor.
Dengan organik, produksi padinya bertambah. Rojai mengklaim, hasil panen musim gadu (tanam kedua) tahun lalu mencapai 10,3 ton gabah basah per hektar. Padahal, petani biasanya hanya memanen 6 – 7 ton gabah per hektar. Tidak hanya itu, rendemennya juga lebih tinggi.
“Kalau padi biasanya rendemennya saat digiling jadi beras 62-65 persen. Kalau hasil panen saya, rendemennya bisa 70 persen,” ungkapnya. Dari panen musim lalu, ia menyimpan sekitar 5 kuintal gabah yang dapat bertahan hingga lebih dari dua bulan ke depan. Ia tak perlu beli beras.
Laboratorium
Tidak hanya mengolah pupuk kompos, Rojai juga punya laboratorium agen pengendali hayati (APH). Bekerja sama dengan Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Indramayu, ia membangun Laboratorium APH pada 2023. Di sanalah, ia belajar menangani serangan hama.
Di dalamnya, berjejer tabung reaksi berisi Trichoderma sp, mikroorganisme tanaman, hingga bakteri Painibacillus. Tabung yang tertutup kapas itu disimpan di dalam kulkas. “Trichoderma bisa menangkal jamur di daun. Kalau Painibacillus mengatasi kresek daun,” ucapnya.
Terbaru, Rojai tengah meramu cairan untuk mengatasi serangan hama tikus. Cairan itu berbahan belerang, garam, hingga soda api. “Belerang itu dipakai petani mengatasi tikus. Saya sudah pakai (cairan itu) di sawah. Tapi, belum lihat hasilnya,” ungkapnya.
Jika berhasil, ia akan menawarkan ke petani lainnya. Sejauh ini, katanya, setidaknya sudah aada 10 petani yang rutin menggunakan pupuk dan pestisida nabati dari Rojai. Bahkan, dinas pertanian setempat pernah memesan 18 ton pupuk kompos dan 160 liter POC darinya.
Anami (60), petani di Tegalkarang, penasaran dengan cairan pengusir tikus yang dikembangkan Rojai. “Petani sudah putus asa dengan tikus. Banyak yang malas ke sawah. Kalau saya, tidak. Saya sudah tiga kali mupuk. Bekas dimakan tikus juga saya pupuk lagi,” ungkapnya.
Meski masih ada pupuk kimia, ia mulai memakai pupuk kompos. Bahkan, ia telah mengurangi membeli pestisida pabrikan dan menggantinya dengan POC. “Bekas yang sudah kena tikus itu (padinya) masih isi lagi,” ucap Anami yang dua tahun terakhir menggunakan POC urine sapi.
Ia juga tidak lagi tergantung sepenuhnya dengan pupuk kimia. Saat persemaian, misalnya, Anamai memakai pupuk kompos. Hasilnya, tanah subur. Hal itu tampak dari mudahnya mencabut benih padi. Akan tetapi, ia belum bisa menggunakan pupuk itu hingga panen.
“Sawah yang saya garap satu bahu (0,7 hektar). Itu tanah keluarga. Jadi, penggarapnya bisa berganti. Kalau saya pakai kompos semua, nanti orang lain yang sewa lahan itu enggak begitu,” ungkap Anami. Persoalan kepemilihan lahan ini turut menghambat pengembangan organik.
Selain menjadi sumber pangan desa, lahan (abadi) itu juga tempat anak muda belajar pertanian dengan bantuan teknologi.
Di sisi lainnya, akses mendapatkan pupuk dan pestisida organik tidak semudah mencari pupuk pabrikan yang tersedia hampir di setiap desa. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Cirebon Kuryadi mendorong Pemkab Cirebon membuat lahan abadi 5 hektar di setiap desa.
“Selain menjadi sumber pangan desa, lahan itu juga tempat anak muda belajar pertanian dengan bantuan teknologi,” ujarnya. Generasi muda dapat mengenal pertanian organik yang lebih ramah lingkungan di lahan itu. Pertanian yang terintegrasi dengan peternakan pun bisa dikembangkan.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Alex Suheriyawan berkomitmen mengembangkan pertanian berkelanjutan. Pihaknya pun mendukung upaya petani, seperti Rojai, dan mendampingi petani milenial. “Dengan itu (pertanian berkelanjutan), petani bisa tetap bertahan,” ucapnya.
Baca juga: Giliran Harga Beras Bagus, Benih Padi Malah Dimakan Tikus