Hidroganik, Cara Bertanam Padi Tak Kenal Musim
Pertanian hidroganik yang memadukan padi dan ikan dalam instalasi khusus menguntungkan petani, termasuk soal musim.
Pola pertanian cerdas menguntungkan petani. Tidak hanya panen yang lebih banyak dibanding dengan pola konvensional, mereka juga bisa menyiasati pergeseran musim akibat dampak perubahan iklim. Salah satu pertanian cerdas itu melalui pola pertanian hidroganik.
Mendung menggelayut di langit Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (26/2/2024) sore, tatkala tiga pekerja sibuk memisahkan anakan ikan lele yang berbeda ukuran di pekarangan milik Basiri (51) yang disulap menjadi lahan pertanian hidroganik.
Sebelum anakan lele dipilah berdasarkan ukuran besar dan kecil, para pekerja itu menguras air dari kolam yang terbuat dari terpal dan memindahkan airnya ke tong plastik. Begitu air di kolam tinggal sedikit, ikan-ikan yang jumlahnya ribuan ekor itu lebih mudah diserok.
Baca juga: Harga Gabah Petani Berangsur Turun
”Anakan lele yang besar dan kecil dipisahkan agar bisa tumbuh merata. Kalau tidak sama, ikan yang gede juga bisa makan yang kecil,” ujar Basiri, yang menunggui ketiganya sambil duduk tidak jauh dari kolam.
Pekarangan milik Basiri sebenarnya tidak berbeda dengan milik kebanyakan warga desa lainnya. Yang membedakan, di lahan seluas 300 meter persegi itu terdapat deretan pipa paralon yang digunakan untuk menanam padi. Saat ini, padi varietas Inpari-32, berumur 35 hari dari benih (gabah)—bukan dari bibit persemaian ala persawahan pada umumnya—itu pun tumbuh menghijau.
Total ada tujuh instalasi paralon masing-masing berukuran 2 x 12 meter. Satu unit instalasi bersisi 386 rumpun padi. Padi-padi itu akan dipanen setelah berumur 120 hari atau pada April nanti dengan hasil 30 kilogram gabah organik kering panen. Jika dikonversi ke persawahan, hasil panen itu setara dari lahan seluas 100 meter persegi.
Instalasi paralon itu pun disusun bertingkat dengan kolam di bagian bawah. Antara paralon dan kolam dijalin memakai pipa yang diameternya lebih kecil guna mengalirkan air dari paralon ke kolam dan sebaliknya. Sirkulasi air yang terus berputar berguna untuk keduanya, baik tanaman padi maupun ikan.
”Ini sudah berumur delapan tahun. Sampai 10 tahun dia tahan karena garansi paralon sampai 20 tahun. Artinya, ini bisa dipakai sampai 20 tahun,” tuturnya.
Untuk mendukung pertanian hidroganik miliknya, Basiri melengkapinya dengan kolam khusus untuk mengembangkan azola. Azola berfungsi sebagai pakan alternatif untuk ikan dan hasilnya lebih produktif dibanding maggot yang sebelumnya juga dia kembangkan.
Baca juga: Pertanian Maju, Mandiri, Modern
Basiri juga mengembangkan pupuk organik yang ditempatkan di sisi utara pekarangan. Sementara puluhan jeriken urine kelinci tertata di sisi selatan, di luar ruangan yang dimanfaatkan untuk bibit tomat. Selain padi, Basiri juga menanam kangkung menggunakan paralon.
Diakuinya, sistem hidroganik banyak memberikan keuntungan bagi petani. Selain pertanian organik lebih tahan terhadap serangan hama, keuntungan yang didapat tentu saja dari hasil panen. Sebelum harga beras premium tembus Rp 17.000 per kg, Basiri telah menjual beras organik dengan harga Rp 25.000 per kg.
Jika dikalkulasi setiap instalasi paralon bisa panen 30 kg gabah (setara 20 kg beras), total hasil jual (dengan harga beras saat ini Rp 17.000) mencapai Rp 340.000. Sementara total ada tujuh instalasi, artinya ada Rp 2,3 juta hasil yang diperoleh.
Ini belum termasuk dari hasil penjualan lele. Basiri menebar 5.000 ekor lele. Dari benih sebanyak itu, dia bisa memanen hingga 5 kuintal. Jika harga lele Rp 18.000 per kg, total hasil penjualan lele Rp 9 juta. Jika dikurangi biaya pakan Rp 3,7 juta dan pembelian benih Rp 1 juta, keuntungan bersih dari lele Rp 4,3 juta dalam sekali panen.
Memang, pembuatan instalasi paralon membutuhkan modal cukup besar di awal waktu. Biaya pembuatan paralon lengkap dengan kolam terpal sebesar Rp 10 juta-Rp 12 juta per unit. Namun, setelah instalasi jadi tidak perlu lagi mengeluarkan uang.
”Untuk menanam padi hampir tidak ada modal yang dikeluarkan karena benihnya gabah kita sendiri, sisa panen sebelumnya. Untuk pupuk sudah diperoleh dari pupuk organik, termasuk kotoran lele. Biaya yang dikeluarkan lebih banyak dari sisi ikan. Itu pun sebagian pakan sudah didukung azola,” tuturnya.
Baca juga: Beras Bakal Picu Inflasi Lagi Produktivitas Padi Alami Leveling Off
Lelaki yang menjadi Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Bengkel Mimpi ini mengatakan, hasil panen padi organik lebih banyak dipakai untuk kebutuhan sendiri. Beras yang dijual hanya sekitar 25 persen dari total panen. Sementara biaya sehari-hari lebih banyak diperoleh dari penjualan ikan.
”Kata bapak saya, ‘Wong tani minimal duwe gabah, iku wis sugih. Lek perkoro lawuh e sembarang ono ndek tegalan’ (Petani minimal punya gabah, itu sudah kaya. Kalau soal lauk, sudah ada di tegalan). Filosofi itu sampai hari ini, termasuk oleh saya dan orang tua lainnya, terus dipegang. Meski harga beras sampai Rp 18.000 per kg, kita tidak bingung lantaran ketahanan pangan keluarga sudah terjaga,” ucapnya.
Kini, cara bertani yang dilakukan Basiri mulai menyebar ke daerah lain meski masih spot-spot dan jumlahnya baru satu-dua, seperti di Banyuwangi, Lampung, Aceh, dan Jambi. Di Malang sendiri ada beberapa petani yang mulai mengembangkan cara serupa.
Memang, ada beberapa faktor yang memengaruhi mengapa sebelum ini petani tidak banyak melirik cara seperti ini. Salah satunya lahan pertanian yang dimiliki petani masih luas dan kondisi air masih mencukupi (masa pergantian musim relatif tidak mundur). Satu hal lagi, selama ini harga beras masih terjangkau, tidak semahal sekarang.
Ruswadi, salah seorang petani di Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, yang juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Gedangan, mengatakan, dirinya baru merealisasikan meski di tataran angan-angan sebenarnya telah lama. Ruswandi baru membangun dua unit instalasi dengan panjang 6 x 2 meter.
Petani minimal punya gabah, itu sudah kaya. Kalau soal lauk, sudah ada di tegalan.
Kondisi geografis wilayah Gedangan memang cukup kering. Berbeda dengan tempat Basiri yang dekat saluran irigasi, lokasi di wilayah Ruswadi jauh dari sungai. Dia pun memanfaatkan air sumur untuk membantu air di instalasi hidroganiknya. ”Kan, hanya sekali mengisi airnya. Setelah itu akan berputar terus dan tidak habis,” ucapnya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang Avicenna M Saniputera membenarkan bahwa ada pola pertanian modern di wilayahnya yang dikembangkan oleh masyarakat. Pihaknya pun berupaya mendorong pertanian kreatif melalui kelompok-kelompok tani.
”Pertanian kreatif, salah satunya oleh Pak Basiri,” ujarnya.
Seperti daerah lainnya, Avicenna mengakui, pertanian di Malang, khususnya tanaman padi, kali ini terpengaruh El Nino. Waktu tanam yang seharunya pada Oktober-November mundur menjadi Desember. Hal ini tentu berpengaruh terhadap waktu panen yang diperkirakan juga mundur. Pihaknya pun mengatakan memacu persawahan di daerah-daerah yang dekat dengan irigasi untuk tetap menanam sepanjang tahun.
Pola pertanian cerdas terbukti menguntungkan petani. Setidaknya dampak perubahan iklim pun bisa diantisipasi.