Dampak El Nino Membuat Waktu Panen Mundur
Mundurnya masa tanam padi akibat dampak El Nino tahun lalu berpengaruh terhadap masa panen padi di Kabupaten Malang.
MALANG, KOMPAS — Mundurnya masa tanam padi akibat dampak El Nino tahun lalu berpengaruh terhadap masa panen padi di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dari pengamatan di lapangan, dalam beberapa hari terakhir baru sebagian kecil petani yang panen. Itu pun di beberapa titik, tidak menyeluruh dalam satu kawasan yang luas.
Sebagian besar sawah lainnya masih menghijau, bahkan ada yang baru tanam. Sementara sebagian lainnya baru dalam pengolahan lahan dan lahan masih cenderung dibiarkan begitu saja seusai panen terakhir beberapa waktu lalu. Hal ini terpantau, antara lain, di wilayah Kecamatan Singosari, Pakis, Pakisaji, Kepanjen, dan Pagelaran.
Jama’ali (55), salah satu petani di Desa Banjararum, Kecamatan Singosari, yang tengah panen, Kamis (29/2/2024), menuturkan, waktu taman memang mundur akibat musim. Hal itu masih ditambah sulitnya mencari traktor untuk membajak sawah. Petani yang tidak memiliki traktor harus menyewa dengan harga Rp 300.000 untuk lahan sekitar 0,5 hektar.
”Itu pun hasil panen kali ini tidak sebagus musim tanam sebelumnya karena banyak hujan, salah satunya organisme pengganggu tanaman mudah muncul,” ucapnya.
Baca juga: Beras Mahal
Petani sekaligus Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) ”Bengkel Mimpi” Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Basiri (51), mengatakan, tak hanya musim hujan yang mundur, tetapi hingga kini curah hujan satu wilayah dengan wilayah lainnya di Kabupaten Malang juga tidak sama.
Di wilayahnya, Basiri mengatakan, hujan deras baru beberapa kali turun. Dampaknya, hingga Februari berakhir banyak tanaman padi di wilayahnya yang masih menghijau. Basiri mengembangkan pertanian hidrogranik sehingga tidak terdampak bergeseran musim. ”Biasanya bulan-bulan seperti ini sudah panen raya,” ucapnya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang Avicenna M Saniputera mengatakan, seharusnya musim tanam di wilayahnya berlangsung pada Oktober-November 2023. Namun, karena pengaruh El Nino, waktu tanam mundur dan baru bisa dilakukan pada Desember 2023.
”Rata-rata awal Desember baru mulai tanam. Itu pun belum semua wilayah mengalami curah hujan normal. Ada sawah yang sudah tanam, ada yang belum,” katanya.
Baca juga: Kalbar Mulai Panen Raya Padi
Untuk mengoptimalkan tanam, sejak awal Desember DTPHP menggerakkan seluruh kelompok tani melalui petugas penyuluh pertanian agar melakukan percepatan tangan di daerah-daerah yang kondisi air irigasinya terpelihara. Bagaimana irigasi dan embung dibersihkan agar aliran air berlangsung baik.
Beberapa hari lalu, menurut Avicenna, pihaknya juga melakukan pemantauan di beberapa daerah dan mendapati tanaman padi sudah mulai muncul malai (biji). Kemungkinan 1-1,5 bulan lagi mereka sudah mulai panen.
Keuntungan relatif
Sejumlah petani di Malang mengatakan, melonjaknya harga gabah dan beras yang terjadi saat ini memang menguntungkan. Namun, besar keuntungan yang didapat itu sangat relatif lantaran ongkos produksi juga tinggi. Biaya produksi berbeda satu daerah dengan daerah lain meski berada pada satu wilayah kabupaten yang sama.
Saat ini harga gabah kering giling di tingkat petani rata-rata RP 8.500 per kilogram. Sementara harga beras di pasar tradisional, berdasarkan data Sistem Informasi Ketersediaan Bahan Pokok Kota Malang pada 29 Februari, untuk beras kualitas medium Bulog Rp 10.900 per kg, beras medium Rp 14.671 per kg, dan beras premium Rp 15.386 per kg.
Harga beras premium sedikit menurun dari sehari sebelumnya, Rabu (28/2/2024), yang mencapai Rp 15.554 per kg dan 20 Februari Rp 15.608 per kg. Adapun jenis medium naik sedikit dari sehari sebelumnya Rp 14.517 per kg dan pada 20 Februari Rp 13.923 per kg. Adapun harga beras medium Bulog relatif stabil dalam sebulan terakhir.
Harga pupuk subsidi terjangkau. Namun, ya, itu, pupuk bersubdisi terkadang telat.
Sahri (70), petani di Desa Banjararum, mengatakan, harga gabah saat ini memang tinggi, tetapi hasil panen sawah miliknya dan beberapa petani lainnya tidak sebagus musim tanam sebelumnya. Terlalu banyak hujan disinggung menjadi penyebab, genangan air terlalu tinggi, sehingga batang padi mudah roboh.
Sahri memiliki lahan kurang dari 2.500 meter persegi. Hasil panen sebagian besar dikonsumsi sendiri. Hasil panen mencukupi untuk makan keluarga sampai panen berikutnya tiba. Dia tidak berniat menjual semuanya meski harga gabah saat ini tinggi.
”Harga tinggi, tetapi kalau hasilnya berkurang, ya, sama saja keuntungannya. Jika biasanya saya dapat 7 karung gabah (350 kg), kini hanya 5 karung (250 kg),” ucap Sahri yang tengah panen.
Sebagai petani tradisional, Sahri tidak pernah menghitung secara detail berapa penghasilan seandainya menjual semua gabah hasil panen. Begitu pula biaya produksi yang dikeluarkan untuk bertani. Yang penting hasil panen mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Jika ada keperluan, dia baru menjual sebagian hasil panennya.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Gedangan Ruswadi membenarkan bahwa keuntungan yang diperoleh petani sangat relatif. Di wilayahnya yang berada di sisi selatan Kabupaten Malang, misalnya, banyak petani yang hanya bisa melakukan satu kali tanam lantaran kondisi geografis kering.
Petani tersebut mengandalkan pengairan dari hujan. Banyak petani menanam komoditas lain, seperti tebu dan palawija untuk mengantisipasi kondisi air yang terbatas.
”Ongkos produksi di sini sulit dikalkulasi karena lokasi beda. Kondisi tanah beda. Untuk biaya produksi satu kali taman padi Rp 10 juta tidak cukup. Apalagi, jika lahannya sewa yang bisa mencapai Rp 30 juta per tahun. Ongkos tenaga kerja dan lainnya juga naik. Jadi, keuntungan dari harga gabah yang tinggi juga sangat relatif,” ucapnya.
Masalah dan harapan
Salah satu masalah yang dihadapi petani sampai saat ini adalah ketersediaan pupuk. Pupuk bersubsidi yang menjadi andalan kerap datang terlambat saat dibutuhkan. Bagi petani yang memiliki kemampuan finansial besar, hal itu tidak jadi persoalan lantaran memiliki dana cukup untuk membeli pupuk nonsubsidi.
”Harga pupuk subsidi terjangkau, yakni Rp 130.000 per zak ukuran 50 kg. Sementara pupuk nonsubsidi harganya tinggi, Rp 500.000 per zak. Namun, ya, itu, pupuk bersubdisi terkadang telat,” ujar Jama’ali.
Dia pun berharap keberadaan pupuk yang menjadi salah satu faktor produksi bisa tersedia selalu.
Hal senada disampaikan Ruswadi. Menurut dia, jadwal pupuk bersubsidi masih sering terlambat. Kemungkinan karena faktor distribusi. Jumlah pabrik dan produksi terbatas, sedangkan petani yang membutuhkan banyak dalam satu waktu yang hampir sama.
”Kita tidak tahu problemnya seperti apa. Petani berharap pupuk selalu tersedia. Harga terjangkau. Misalnya, jika subsidi terhadap pupuk hendak ditarik, musti ada jaminan terhadap hasil produksi pertanian dari petani,” katanya.
Baca juga: Harga Tidak Terkendali Beras di Wakatobi Capai Rp 1 Juta per Karung
Basiri bahkan menyarankan agar subsidi pupuk terhadap petani diberikan dalam bentuk uang, seperti bantuan sosial lainnya. Cara ini dinilai lebih sederhana dan efektif. Dengan demikian, petani tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pupuk.
”Mau tanam kapan saja bisa. Petani bisa mendapatkan pupuk jika subsidinya berupa uang. Produsen juga akan berlomba-lomba membuat pupuk yang bagus. Sekarang kualitas pupuk bersubsidi dan nonsubsidi beda. Lebih bagus yang nonsubsidi. Ini juga akan mengurangi rantai distribusi penyaluran pupuk yang panjang, ada pengawasan segala,” katanya.
Selain pupuk, petani juga berharap pemerintah bisa menjaga stabilitas harga gabah. Dengan harga yang stabil, petani bisa lebih mudah jika ingin mengalkulasi biaya produksi yang bakal mereka keluarkan setiap kali musim tanam.