Santri Datang untuk Belajar, Bukan untuk Disiksa
Kekerasan berulang di pesantren menunjukkan lemahnya pelibatan orangtua dalam pembelajaran serta minimnya pengawasan.
Kekerasan terhadap santri terus berulang di pesantren, baik yang dilakukan oleh sesama santri maupun pengurus pesantren. Hal ini ironis karena seharusnya lembaga pendidikan menjadi tempat santri atau siswa belajar, bukan justru dihajar. Pelibatan orangtua secara intensif dalam pembelajaran anak menjadi krusial untuk mencegah kekerasan berulang, termasuk dengan penguatan pengawasan oleh pemerintah.
Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh meninggalnya Bintang Balqis Maulana (14), santri asal Banyuwangi, yang menuntut ilmu di Pesantren Al Hanifiyyah, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Korban meninggal pada Jumat (23/2/2024) dan jenazahnya diantar ke rumah oleh pihak pesantren. Saat mengantar, pihak pesantren mengatakan, korban terpeleset di kamar mandi.
Keluarga yang curiga atas kondisi jenazah korban yang lebam-lebam dan terdapat sundutan rokok di kaki akhirnya melapor ke Kepolisian Sektor Glenmore, Banyuwangi. Tak menunggu lama, Kepolisian Resor Kediri Kota yang berkoordinasi dengan Polsek Glenmore menetapkan empat santri sebagai tersangka dugaan penganiayaan terhadap Bintang.
Keempat tersangka adalah MN (18) asal Sidoarjo, MA (18) asal Nganjuk, AK (17) asal Surabaya, dan AF (16) dari Denpasar. AF disebut-sebut masih punya hubungan sepupu dengan korban. Keempat santri beda kelas itu merupakan rekan satu kamar dengan korban selama nyantri. Bintang masih duduk di kelas VIII. Saat dimintai nama lengkap pelaku, polisi menolak memberikannya.
Kepala Polres Kediri Kota Ajun Komisaris Besar Bramastyo Priaji mengatakan, penganiayaan berulang itu dilatarbelakangi kesalahpahaman antara korban dan pelaku. Polisi masih mendalami kasus ini dengan menggali keterangan dari pihak keluarga dan pesantren.
Kabar meninggalnya santri di Kediri menambah panjang daftar kekerasan di lembaga pendidikan berasrama itu. Sebelumnya, 22 Februari, Polres Malang menetapkan Ahmad Firdaus (19) sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap yuniornya, ST (15), santri Pesantren Babul Khairat di Lawang.
Pada 4 Desember 2023, Firdaus diduga menganiaya korban memakai setrika sehingga korban menderita luka bakar. Tersangka diduga telah beberapa kali melakukan perundungan terhadap korban, baik secara verbal maupun fisik.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Malang Ajun Komisaris Gandha Syah Hidayat mengungkapkan, sebelum penganiayaan terjadi, korban menanyakan baju yang baru saja dicuci kepada tersangka. Mungkin karena nada pertanyaan terlalu tinggi, emosi tersangka tersulut.
Baca juga: Siswa MTS di Blitar Tewas Diduga akibat Dianiaya Teman Sekolah
Awal Januari 2024, M Ali Rofqi (14), santri di Pesantren Tahsinul Akhlaq, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jatim, juga dikeroyok belasan rekannya. Korban yang tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit itu akhirnya meninggal. Dugaan pencurian uang yang dilakukan korban menjadi latar belakang kasus itu.
Masih di Jatim, Juni 2022 lalu, publik juga dikejutkan oleh tewasnya santri Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo. Korban adalah Albar Mahdi (17) asal Palembang, Sumatera Selatan. Polisi menetapkan MFA (18) dan IH (16), keduanya senior korban, sebagai tersangka dalam kasus itu.
Bahkan, Pengadilan Negeri Ponorogo kemudian menjatuhkan vonis penjara kepada MFA selama 8 tahun dan IH 4 tahun. MFA berasal dari Tanah Datar, Sumatera Barat. Sementara IH berasal dari Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Penganiayaan terhadap Albar dilatarbelakangi masalah sepele. Korban yang menjadi panitia kemah dituntut untuk bertanggung jawab saat ada properti rusak dan hilang. Kedua senior ini pun lantas menjatuhkan hukuman kepada korban.
Mulanya, pihak pesantren juga menginformasikan bahwa Albar meninggal karena sakit. Namun, keluarga yang curiga kemudian meminta agar kematian Albar diselidiki.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laman resminya menyebutkan, hingga September 2023, ada 1.800 kasus terkait pemenuhan hak anak (PHA) dan perlindungan khusus anak (PKA). Dari jumlah itu, 252 anak menjadi korban kejahatan seksual, 141 anak menjadi korban kekerasan fisik/psikis, 31 anak menjadi korban kejahatan siber dan pornografi, dan sisanya menjadi korban berbagai tindak kejahatan lain.
Menariknya, untuk kluster PHA, sebagian besar kasus berasal dari lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (1.056 kasus) serta pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya (143 kasus). Kasus lain menyangkut kesehatan dasar dan kesejahteraan (22 kasus) serta hak sipil dan kebebasan (16 kasus).
Data KPAI tersebut menunjukkan kerentanan anak-anak di lingkungan terdekat mereka, termasuk keluarga dan tempat pendidikan. Data itu juga menunjukkan, anak-anak rentan menjadi korban kekerasan seksual serta kekerasan fisik ataupun psikis.
Melihat data ini, kekerasan di lingkungan sekolah, termasuk pesantren, tidak boleh dibiarkan. Semua pihak, termasuk orangtua dan pemerintah, harus mengawasi dengan ketat proses pembelajaran anak di pesantren.
Pelibatan orangtua
Mengenai keberadaan senior dan yunior di pesantren, kriminolog Universitas Brawijaya, Malang, Prija Djatmika, mengatakan bahwa hal itu memang ada. Di pesantren ada pendidikan berjenjang, ada yunior dan senior. Pengurus yang tidak bisa mengontrol langsung anak asuhnya mendelegasikan kepada senior untuk mengatur yunior.
Menurut Prija, sistem pendidikan berjenjang diperbolehkan, tetapi tetap harus ada kontrol dari guru atau pengasuh. Tidak sepenuhnya diserahkan ke senior untuk mengontrol ibadah, pendidikan, dan hal lain yang dilakukan yunior. ”Itu (delegasi kepada senior) sering disalahgunakan,” katanya.
Oleh karena itu, ke depan, lanjut Prija, pesantren harus lebih terbuka dan transparan. Bagaimana melibatkan orangtua santri dalam mekanisme pendidikan sebagaimana halnya di sekolah umum. Dengan begitu, kasus kekerasan dan lain-lain tidak terjadi.
Akademisi Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang (Unisma), Imam Syafi’i, berpendapat, Indonesia memiliki ribuan pesantren. Kekerasan fisik ataupun verbal yang terjadi hanya sebagian kecil dari pesantren yang ada sehingga tidak bisa digeneralisasi. Data Kementerian Agama (Kemenag) menyebutkan, saat ini ada 39.167 pesantren di Indonesia dengan 4,85 juta santri.
Meski kecil, menurut Imam, kekerasan itu tetap menjadi keresahan bersama. Mengapa hal itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi lokasi untuk menanamkan budi pekerti kepada sesama manusia, apalagi sesama santri yang laksana saudara sendiri.
Imam yang juga alumnus pesantren menyebut bahwa di pesantren sebenarnya terdapat kitab Ta’lim Muta’allim (ahlak santri) yang berisi bagaimana akhlak kepada guru, orangtua, dan sesama santri. Dengan kitab itu, semua warga pesantren mestinya mengerti satu sama lain.
”Seharusnya pesantren seperti itu. Problemnya adalah mengapa masih terjadi suatu kekerasan. Saya kira ini problem yang tidak sederhana, kompleks, bisa dilihat dari banyak sisi. Oleh karena itu, saya berpikir harus ada upaya-upaya preventif untuk mengatasinya,” tuturnya.
Pengawasan
Ada sejumlah upaya preventif, lanjut Imam, untuk mencegah jangan sampai kekerasan terjadi lagi. Pertama, jika pesantren berada di bawah naungan Kemenag, maka Kemenag harus melakukan pembinaan dan sosialisasi tentang bagaimana lembaga tersebut bisa menjadi pesantren ramah anak, ramah santri.
Baca juga: Santri Tewas, Pesantren Al Hanifiyyah di Kediri Belum Berizin
”Pedoman yang dikeluarkan Kemenag seperti ini harus ada sebagai standar baku atau ’kitab kuning’ baru bagaimana mengelola pesantren agar tidak terjadi penganiayaan,” katanya.
Kedua, bahwa pemerintah, Kemenag, perlu melakukan sosialisasi kepada pengasuh pesantren, wali santri, serta santri terkait keberadaan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak. Bisa jadi anak melakukan kekerasan karena tidak tahu bahwa ada UU dan sanksinya.
Ketiga, pemahaman akhlak dasar untuk saling mencintai, memahami, harus betul-betul ditanamkan. Senior harus menyayangi yunior, dan sebaliknya, tanpa merasa lebih berkuasa. Jika memahami kitab Ta’lim Muta’allim, tidak mungkin terjadi kekerasan.
Keempat, yang juga penting adalah penjaminan mutu di dalam pesantren. Bagaimana kurikulum, riset, hingga perlindungan anak harus dievaluasi secara berkala.
Upaya preventif selanjutnya adalah penguatan manajemen pesantren. Banyak pesantren secara manajerial belum tertata rapi. Biasanya hanya terpusat pada satu pengasuh, sedangkan aspek manajerial yang menerjemahkan ke bawah masih kurang.
Belum lagi ada sejumlah pesantren yang ternyata belum berizin. Pesantren Al Hanifiyyah di Kediri, misalnya, menurut Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kediri Ahmad Faiz, belum mengantongi izin. Padahal, pesantren itu telah berdiri sejak 2014 dan saat ini memiliki hampir 100 santri.
Ketika tidak memiliki izin, pesantren tidak terdata di Kemenag. Akibatnya, pihak Kemenang sulit melakukan pemantauan dan menyosialisasikan kebijakan-kebijakan yang konstruktif dan untuk perbaikan ke depan.
Hingga September 2023, ada 1.800 kasus terkait pemenuhan hak anak (PHA) dan perlindungan khusus anak (PKA). Dari jumlah itu, ada 252 anak menjadi korban kejahatan seksual, 141 anak menjadi korban kekerasan fisik/psikis, 31 anak menjdi korban kejahatan siber dan pornografi, dan sisanya menjadi korban berbagai tindak kejahatan lain.
”Lebih bagus lagi kalau dari pemerintah ada pelatihan-pelatihan soal manajemen pesantren yang baik seperti apa, pengembangan pesantren unggul seperti apa. Sehingga bebas dari perundungan dan kekerasan fisik. Sejauh ini, saya dengar belum semua pesantren mendapatkan karena jumlahnya memang banyak,” ucap Imam.
Hal lain yang juga tidak kalah penting, ujarnya, soal teladan. Bagaimana para santri senior bisa menjadi teladan bagi para yuniornya.
Memang tidak mudah menangani pesantren dengan ratusan hingga ribuan santri yang tinggal di satu lokasi sama selama 24 jam. Namun, jika dilaksanakan, tindakan preventif di atas kemungkinan bisa meminimalkan kasus perundungan dan lain-lain, bahkan menghilangkannya sama sekali. Semoga….