Gundah Cari Beras Murah, Menanam Padi Jauh Lebih Susah
Akhir-akhir ini tidak mudah mendapatkan beras dengan harga murah. Upaya petani menanamnya jauh lebih susah.
Di negeri agraris ini, tidak gampang mencari beras murah hari-hari ini. Harga komoditas itu melambung tinggi. Namun, menanam padi juga tidak kalah susahnya. Petani harus menghadapi serangan hama, kesulitan mendapat air dan pupuk bersubsidi, serta ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim.
Di bawah terik matahari, Eka Ratih (30) bersama puluhan warga mengantre membeli beras dalam operasi pasar murah di Desa Lurah, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (26/2/2024). Kegiatan itu digelar Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon.
Pada pasar murah itu, warga dapat membeli beras medium kemasan berisi 5 kilogram dengan harga Rp 52.000. Angka itu jauh lebih murah dibandingkan harga beras di pasaran yang mencapai lebih dari Rp 75.000 per kemasan 5 kg. Tak heran, warga rela berbaris panjang.
Baca juga: Giliran Harga Beras Bagus, Benih Padi Malah Dimakan Tikus
Eka yang keringatan tidak sanggup lagi mengantre. Kepalanya yang tertutup kerudung mulai pusing. Ia memberanikan diri berbicara kepada petugas. ”Mas, saya boleh duluan enggak? Saya lagi hamil,” ujarnya sambil mengelus perutnya yang mengandung janin sembilan bulan.
Akhirnya, ia tidak perlu menunggu lama untuk mendapat dua kemasan beras medium sesuai batas maksimal pembelian. ”Saya belum beli (beras) minggu ini karena mahal, Rp 16.000 per kg. Setiap dua minggu, saya biasanya beli 10-15 kg beras,” ungkap warga Desa Lurah ini.
Ketika mendengar ada operasi pasar murah, ia langsung datang. ”Sebagai ibu rumah tangga, (saya) jadi kebantu. Lumayan nambah (biaya) anak-anak sekolah. Harapannya, ya, masyarakat kecil itu minta diturunin harga (beras). Kan enggak standar dengan kenaikan gaji,” ujarnya.
Suami Eka merupakan pekerja pabrik mebel dengan upah sebesar Upah Minimum Kabupaten (UMK) Cirebon, yakni Rp 2,43 juta per bulan. Penghasilan suaminya tidak bertambah, sedangkan harga kebutuhan pokok, seperti beras, terus meningkat. ”Kalau tidak bisa membagi (pengeluaran), ya sulit,” ujar ibu satu anak ini.
Sekitar 26 kilometer ke arah barat dari tempat Eka mengantre beras murah, petani di Desa Jagapura Wetan, Kecamatan Gegesik, susah payah menanam padi. Sudah tiga pekan air tidak mengalir ke sawah. Traktor tidak bisa membajak lahan. Sudut saluran irigasi berisi sampah plastik, bukan air.
Kondisi ini membuat petani terlambat menanam padi meski sudah menyemai benihnya. ”Petani belum berani menanam karena air belum mengalir ke sawah. Di sini, kalau airnya enggak banyak, padinya habis dimakan tikus,” kata Ma’ani (40), petani setempat.
Padahal, biasanya, petani menanam pada bulan Januari seiring datangnya musim hujan. Namun, hingga akhir Februari 2024, sekitar 200 hektar sawah di desanya belum ditanami. Termasuk lahan yang pernah dipanen bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada tahun 2021.
Ia pun khawatir, benih yang sudah disemai telanjur tua atau lebih dari sebulan. ”Kalau begitu, padinya kurang bagus. Anakannya kurang dan butuh banyak pupuk. Pasti tambah biaya lagi,” kata Ma’ani yang usia benihnya sudah 25 hari.
Oleh karena itu, ia dan petani lainnya bersepakat menyewa pompa dan pipa untuk memasok air ke sawah. Namun, ia belum belum tahu pasti tarifnya karena baru musim rendeng (tanam pertama) kali ini petani memakai pompa.
”Kalau musim gadu (masa tanam kedua), harga sewa pompa itu sekitar Rp 2 juta per hektar,” ujar Ma’ani yang menggarap lahan 1 hektar. Ongkos itu untuk pengolahan lahan hingga menjelang panen Pembayaran biaya sewa pompa bisa dicicil tiga kali.
Masalah pupuk
Ia memperkirakan, petani mulai menanam pekan depan seiring mengalirnya air ke sawah. Namun, masih ada kesulitan lainnya. Petani mesti berburu pupuk bersubsidi yang tidak gampang mendapatkannya. Mereka harus meminta surat rekomendasi dari desa hingga terdaftar sebagai penerima di kios.
”Infonya, satu hektar sawah (jatahnya) 2 kuintal pupuk urea dan 1 kuintal Phonska. Itu sudah ambil jatah pupuk musim gadu. Itu juga masih kurang. Kalau enggak ada (pupuk bersubsidi), nanti pakai uya (garam) saja,” ungkap Aksan Maulana (52), petani lainnya.
Menurut dia, satu hektar sawah membutuhkan 4-5 kuintal pupuk. Petani terpaksa mencari pupuk nonsubsidi yang harganya bisa mencapai Rp 1 juta per kuintal, jauh lebih tinggi dibandingkan pupuk bersubsidi yang berkisar Rp 250.000 per kuintal.
”Ada juga kios yang jual subsidi dipaket (dengan nonsubsidi). Kalau enggak beli itu, pupuk subsidinya enggak dapat. Harganya, Rp 300.000 per kuintal,” ujar Aksan. Saking kesalnya, petani sampai menyematkan kata ”goblok” pada merek pupuk nonsubsidi yang dipaket itu.
Rokhman (52), petani lainnya, mengatakan, masalah air hingga pupuk bersubsidi telah menambah biaya tanam petani dari biasanya Rp 8 juta per hektar menjadi lebih dari Rp 10 juta per hektar. Sewa traktor saja Rp 1,5 juta per hektar dan ongkos panen Rp 2 juta per hektar.
Itu belum termasuk biaya mengusir hama burung yang menjamur saat padi mulai menguning. Petani bahkan membeli petasan sekitar Rp 40.000 untuk mengusir hama itu. ”Kalau padi usia 70 hari itu, di sini ramai petasan. Sampai ada pasaran,” ujarnya diiringi senyum.
Dengan tingginya biaya produksi, bapak tiga anak ini berharap harga gabah bagus. Saat ini, harganya mencapai Rp 10.000 per kg. Angka itu jauh di atas harga pembelian pemerintah, yakni Rp 6.200 per kg. ”Kalau harganya jatuh, (petani) malah dapat capeknya saja,” ujarnya.
Kalau harganya jatuh, malah dapat capeknya saja. (Rokhman)
Saat panen musim gadu November tahun lalu, Rokhman mendapatkan 7 ton gabah kering panen (GKP). Sekitar 6,5 ton hasil panennya ia jual dengan harga Rp 7.000 per kg. Artinya, ia bisa meraup Rp 45,5 juta dari hasil taninya selama empat bulan. Jumlah itu menguntungkan petani.
”Uangnya saya pakai untuk bayar sewa lahan setahun, Rp 20 juta. Terus bayar utang dan modal untuk musim tanam sekarang,” ungkapnya. Namun, jika harga gabah anjlok hingga Rp 5.000 per kg, Rokhman memastikan bakal merugi karena tidak sesuai ongkos produksi.
Ia mencontohkan, dengan hasil panen 7 ton padi dan harga Rp 5.000 per kg, ia hanya meraup Rp 35 juta. Sementara ongkos tanam lebih dari Rp 10 juta serta biaya sewa lahan mencapai Rp 20 juta. Dengan hasil itu, ia juga tidak bisa membayar utang pupuk dan pestisida.
Serangan tikus
Petani di Cirebon juga berjuang menjaga padinya dari serangan tikus. Mereka menyewa anjing pemburu, memakai belerang, hingga begadang di sawah. ”Kalau malam tuh, lihat tikus di sini pada nongkrong,” ujar Toto (49), petani di Klangenan, mengibaratkan banyaknya hama itu.
Hujan dan dingin malam menemaninya. Rutinitas itu sudah ia lakoni hingga belasan malam. Ia sampai dua kali menyemai benih padi karena dimakan tikus. Toto pun menghabiskan Rp 750.000 untuk tanam ulang. Ini belum termasuk ongkos kerja dan menginap di sawah.
Serangan hama, kesulitan air dan pupuk bersubsidi, hingga perubahan iklim merupakan sederet kesukaran yang dihadapi petani. ”Pekerjaan yang paling sabar di dunia itu petani. Penghasilan saja harus menunggu tiga bulan,” kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Cirebon Kuryadi.
Sulitnya menanam padi, katanya, juga tampak dari minimnya generasi muda yang terjun ke pertanian. ”Di dinas-dinas itu, kepala bidangnya sudah muda-muda. Coba ke sawah, orang sepuh semua. Memang ada petani milenial. Tapi, seperti seremonial saja,” ungkapnya.
Itu sebabnya, ia mendesak pemerintah memudahkan usaha petani dengan menyediakan infrastruktur pertanian yang memadai serta memastikan harga pupuk terjangkau. Harga gabah, katanya, juga harusnya menguntungkan petani tetapi tidak terlalu memberatkan konsumen.
”Ingat, hasil petani itu mudah didapat di pasar, tetapi upaya petani memproduksi padi itu susah sekali. Pemerintah jangan hanya cepat kalau stabilisasi harga pangan, tetapi juga harus bergerak cepat kalau petani ada masalah,” ungkap Kuryadi.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Alex Suheriyawan mengatakan, pihaknya telah berupaya membantu petani menyelesaikan berbagai masalah produksi, misalnya membantu benih untuk petani hingga meminta Kementerian Pertanian menambah alokasi pupuk bersubsidi.
Dengan produksi beras 342.846 ton, katanya, Cirebon merupakan produksi padi terbanyak keenam di Jabar. ”Produksi (padi) Jabar itu rangking ke-2 nasional. Kalau Kabupaten Cirebon pangannya goyang, Indonesia pun goyang,” ujar Alex.
Baca juga: Stok Melimpah, Petani Malah Kekurangan Pupuk Bersubsidi