Warga Surabaya Sulit Hindari Kenaikan Harga Pangan
Kalangan warga Surabaya, Jawa Timur, tak bisa menghindari kenaikan harga pangan sehingga berharap kebijakan intervensi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kalangan warga Surabaya, Jawa Timur, sulit menghindari kenaikan harga bahan pangan. Mereka harus menerima, bersiasat, dan berharap langkah jitu intervensi pemerintah dalam pengendalian harga.
Sampai dengan Rabu (28/2/2024), kenaikan harga masih terjadi pada beras, telur dan daging ayam, gula pasir, minyak goreng curah, serta cabai. Eskalasi terpantau sejak awal bulan melalui sistem informasi ketersediaan dan perkembangan harga bahan pokok (siskaperbapo).
Beras premium per kilogram (Kg) di awal tahun Rp 14.000. Sebulan kemudian, harga per kg Rp 15.600. Pertengahan bulan bersamaan dengan pemungutan suara pemilihan umum, harga sempat tembus Rp 18.000. Di akhir bulan ini, harga per kg kembali ke Rp 15.600. Kenaikan harga 10-11 persen dibandingkan dengan awal tahun.
Tangkapan layar pada laman resmi https://siskaperbapo.jatimprov.go.id/ pada Rabu (28/2/2024) memperlihatkan perjalanan kenaikan harga beras di Surabaya, Jawa Timur, selama sebulan terakhir.
Harga telur ayam kampung per kg dari Rp 44.000 di awal bulan menjadi Rp 45.000 saat ini. Senada dengan harga telur ayam ras per kg dari Rp 26.000 menjadi Rp 29.000. Ada peningkatan 2 persen untuk telur ayam kampung dan 11 persen untuk telur ayam ras.
Harga gula pasir per kg dari Rp 16.000 ke Rp 16.500 atau naik 3 persen. Kenaikan Rp 500 atau 3 persen juga terjadi pada minyak goreng curah per liter dari Rp 15.000 menjadi Rp 15.500. Harga daging ayam ras per kg dari Rp 31.000 menjadi Rp 33.500 atau naik 8 persen.
Pelesatan justru kembali dialami cabai. Cabai rawit merah per kg dari Rp 30.000 sempat tembus ke Rp 63.000 dan saat ini Rp 56.000. Kenaikannya 86 persen. Cabai merah keriting per kg dari Rp 48.000 sempat meroket ke Rp 80.000, tetapi saat ini Rp 72.000. Kenaikannya 50 persen. Cabai merah besar per kg dari Rp 63.000 ke posisi tertinggi saat ini Rp 78.500 atau naik 25 persen.
”Mau tidak mau seperti peribahasa lama, Mas, kembali mengencangkan ikat pinggang,” ujar Sugiyono, warga Jambangan, pengojek daring. Maksudnya memeras otak untuk berhemat. Antara lain, saat harga bahan lauk (telur dan daging) tinggi, demi berhemat, diganti dengan tahu dan tempe atau ikan.
Sugiyono melanjutkan, yang agak sulit ialah mengganti beras dengan bahan pangan lain meski ada dari umbi-umbian (ubi, singkong, kentang) atau olahan tepung nonberas, yakni roti, kue, dan bubur. Beras berkeunggulan misalnya 10 kg untuk makan keluarga selama sebulan. Penyimpanannya mudah dan berdaya tahan lama. Umbi-umbian sekitar satu-dua minggu sebelum membusuk. Olahan tepung menjadi basi dalam hitungan hari.
Tanpa lahan
Suyanti, warga Jambangan lainnya, mengatakan, kenaikan harga lebih memukul warga miskin dan berpenghasilan pas-pasan seperti dirinya. Dengan penghasilan minim, mereka tinggal di rumah atau pemondokan sederhana dan sempit. Nyaris tiada ruang untuk budidaya mikro tanaman penting, misalnya cabai, tomat, atau bahan jamu dan rempah (jahe, kunyit, lengkuas, temulawak, kunci).
”Karena enggak tanam cabe (cabai), saat harganya naik ya bingung, sambalnya mau diganti apa. Bagaimana bikin masakan yang ada rasa pedasnya,” kata Suyanti, pengecer perkakas rumah tangga di pasar.
Bagi warga Surabaya dan Nusantara, sambal dan rasa pedas dari cabai sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Menurut Suyanti, makan tanpa sambal atau tidak ada nuansa pedas serasa siksaan yang seseorang tak akan sanggup menahan lama.
Warga agak cemas dengan potensi kenaikan harga bahan pangan saat bulan puasa. Untuk itu, kebijakan intervensi aparatur negara diharapkan jitu dalam pengendalian harga. ”Saya enggak bisa berpikir bagaimana cara mengendalikan harga, itu tanggung jawab negara,” ujar Suyanti.
Saya enggak bisa berpikir bagaimana cara mengendalikan harga, itu tanggung jawab negara.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah, dan Perdagangan Kota Surabaya Dewi Suryawati mengatakan, pengendalian harga bahan pangan dengan subsidi ongkos angkut. Cara ini memangkas biaya distribusi dari produsen ke konsumen sehingga harga komoditas tidak melambung atau masih dapat diterima. Surabaya memperluas kerja sama dengan kabupaten-kabupaten penghasil bahan pangan (beras, sayur, lauk).
Dewi melanjutkan, tim pengendalian inflasi daerah juga menambah frekuensi operasi pasar atau pasar murah. Dalam situasi normal, kegiatan berlangsung sepekan sekali, tetapi kini dua kali dalam sepekan.
Dalam kegiatan ini yang dijual terutama beras medium, beras program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP), dan minyak goreng Minyakita sesuai harga eceran tertinggi. Selain itu, telur, gula, tepung dari persediaan pemerintah dengan harga di bawah pasar.
Secara terpisah, Kepala Subdirektorat I Indagsi (Industri Perdagangan Investasi) Polda Jatim Ajun Komisaris Besar Oki Ahadian mengatakan, Satgas Pangan sejak awal bulan memantau dan mengawasi pergerakan harga dan penyaluran bahan bangan pokok, terutama beras.
”Dari pengawasan kami Satgas Pangan, harga beras sempat tinggi bukan karena tindak pidana, melainkan mundurnya masa tanam akibat El Nino tahun lalu,” kata Oki. Penyaluran beras medium dan beras SPHP dari Perum Bulog juga belum ada kendala, apalagi pelanggaran.
Oki melanjutkan, beras medium dan beras SPHP ada dan tersalurkan ke kios-kios TPID, pedagang dan ritel mitra TPID. Pembelian memang dibatasi 10 kg per keluarga untuk mencegah potensi penimbunan dan memenuhi prinsip keadilan bagi masyarakat.