Musim Tanam Mundur di Cirebon, Gejolak Harga Beras Bisa sampai Juni
Berbagai faktor memicu mundurnya musim tanam di Cirebon, Jawa Barat. Harga beras pun diprediksi masih bergejolak.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Fenomena El Nino yang ditandai kekeringan, minimnya pasokan air, banjir, hingga serangan hama membuat musim tanam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mundur. Sejumlah wilayah bahkan baru panen pada Juni 2024. Harga beras pun diprediksi masih bergejolak.
Keterlambatan masa tanam itu antara lain tampak di Desa Jagapura Wetan, Kecamatan Gegesik. Hingga Rabu (28/2/2024), sebagian besar lahan masih belum ditanami padi karena tidak kebagian air irigasi. Petani baru menyemai benih di sejumlah petak sawah.
”Masih ada 200 hektar sawah yang belum ditanami. Mungkin minggu depan baru ditanami kalau dapat air,” ujar Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Desa Jagapura Wetan Khumeidi. Jumlah lahan menganggur itu hampir setengah dari 498 hektar total luas sawah di Jagapura Wetan.
Padahal, petani biasanya sudah menanam padi bulan Januari. Namun, hingga akhir Februari, hujan masih jarang turun.
”Petani belum berani menanam karena air belum mengalir ke sawah. Di sini, kalau airnya enggak banyak, padinya habis dimakan tikus,” ujar Ma’ani (40), petani setempat.
Mundurnya musim tanam dapat berdampak pada usia benih yang menjadi lebih tua atau lebih dari sebulan. ”Kalau begitu, padinya kurang bagus. Anakannya kurang dan butuh banyak pupuk. Pasti tambah biaya lagi,” kata Ma’ani yang telah menyemai benih padi usia 25 hari.
Itu sebabnya, ia dan petani lainnya berencana menggunakan mesin pompa air agar sawah teraliri sehingga benih padi bisa segera ditanam. Menurut Ma’ani, baru kali ini petani memakai sistem pompa di musim rendeng atau tanam pertama. Biasanya, mereka memakai pompa saat musim gadu.
Sebab, pada musim tanam kedua itu bertepatan dengan kemarau. ”Kalau musim gadu, harga sewa pompa itu sekitar Rp 2 juta per hektar. Biaya itu untuk mengolah lahan sampai panen. Bayarnya tiga kali,” kata Ma’ani yang menunggu kesepakatan petani dengan aparat desa soal tarif sewa pompa.
Menurut dia, petani setempat baru bisa menanam padi pekan depan atau awal Maret. Dengan benih yang masa tumbuhnya sekitar empat bulan, Ma’ani mengatakan, sawahnya baru bisa panen bulan Juni. Dengan begitu, petani mulai masa tanam kedua pada Juli. Padahal, bulan itu biasanya kemarau.
Selain kesulitan air pada musim gadu, petani juga khawatir cadangan gabahnya menipis akibat masa tanam mundur. Ma’ani, misalnya, mendapatkan sekitar 7 ton gabah kering giling dari panen pada Desember lalu. Hampir seluruh padinya dijual dengan harga Rp 8.800 per kg.
Angka itu jauh di atas harga pembelian pemerintah, yakni Rp 6.200 per kg. ”Kalau harga (gabah) ke sananya (setelah panen) biasanya turun. Makanya dijual semua. Eh, ternyata, harganya tetap tinggi. Saya masih nyimpen dua karung (gabah) untuk (konsumsi) keluarga,” ujarnya.
Gabah sekitar 1 kuintal itu, katanya, bisa memenuhi kebutuhan beras dirinya dan empat anggota keluarganya sekitar tiga bulan ke depan. Padahal, ia baru bisa memanen padi sekitar empat bulan ke depan. Ma’ani pun khawatir akan membeli beras yang harganya melonjak.
Mundurnya musim tanam dapat berdampak pada usia benih yang menjadi lebih tua atau lebih dari sebulan.
Di pasaran, harga beras medium di Cirebon mencapai Rp 16.000 per kg. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang diatur pemerintah untuk wilayah Jawa adalah Rp 10.900 per kg.
”Saya dapat beras 10 kg dari pemerintah setiap bulan. Jadi, belum beli beras,” ujarnya.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Samsina mengakui, fenomena El Nino yang ditandai dengan kekeringan telah memicu mundurnya masa tanam. Selain itu, banjir hingga serangan hama tikus juga membuat petani menanam ulang.
Samsina mengklaim, luas area tanam hingga akhir Februari mencapai 90 persen dari total sasaran tanam 45.667 hektar. Produksi padi di Cirebon bisa lebih dari 500.000 ton gabah setahun. Namun, masa panen kali ini akan mundur dari biasanya bulan Maret menjadi April hingga awal Juni.
”Jadi, itu juga mungkin penyebab (harga) beras naik,” ujarnya.