Konflik Menahun Manusia-Gajah Berimbas Amuk Massa di Jambi
Aparat kepolisian menelusuri kasus tersebut dan mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan perusakan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Konflik menahun manusia dan gajah sumatera atau Elephas maximus sumatranus berujung perusakan sejumlah fasilitas konservasi satwa milik negara dan mitra Balai Konservasi Sumbe Daya Alam atau BKSDA di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Hingga Rabu (28/2/2024), aparat kepolisian menelusuri kasus itu.
Konflik manusia dan satwa di Tanjung Jabung Barat memuncak dan berujung perusakan pada Senin (26/2/2024) dan Selasa (27/2/2024). Sekitar lima puluhan orang berdatangan dan berunjuk rasa menuntut jaminan dari BKSDA Jambi agar memindahkan gajah-gajah yang berada di Desa Muara Danau, Kelurahan Lubuk Kambing, Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Tidak berselang lama, massa terprovokasi merusak kendaraan operasional BKSDA Jambi. Sebanyak 1 unit mobil lapangan dan 2 sepeda motor hancur. Mereka juga merusak mes mitra BKSDA, Frankfurt Zoological Society (FZS) yang berada di Simpang Burut, Kecamatan Renah Mendaluh.
Selanjutnya, massa turut merusak stasiun reintroduksi orangutan (Open Orangutan Sanctuary) Danau Alo yang berada tak jauh dari mes. Tak berhenti sampai di situ. Mereka juga menahan lima petugas konservasi satwa yang ada di stasiun konservasi orangutan.
Tim kepolisian dari Polsek Merlung lalu tiba di lokasi untuk mengevakuasi para petugas. Mereka diselamatkan ke Markas Polsek Merlung. Kasus perusakan ini pun ditangani polisi.
”Proses (hukum) sedang berlangsung. Pemeriksaan saksi-saksi (dilakukan) di Polsek Merlung,” ujar Kepala Polres Tanjung Jabung barat Ajun Komisaris Besar Agung Basuki.
Di tengah situasi konflik yang masih memanas di sekitar lokasi, Agung mengingatkan masyarakat untuk tidak main hakim sendiri dan melakukan perusakan. ”Karena nantinya malah akan berdampak hukum pada masyarakat,” lanjutnya.
Ia pun mengingatkan konflik itu jangan sampai berbuntut pada perburuan satwa serta praktik meracun gajah, orangutan, atau satwa-satwa dilindungi lainnya. Pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan mitranya serta pemerintah daerah diminta untuk segera mencari solusi atas konflik tersebut. Apalagi konflik tersebut telah berlangsung menahun dan berulang.
Setelah dicek di lapangan, kebun-kebun masyarakat berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang merupakan habitat daerah jelajah Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh.
Dalam rilis tertulisnya, Kepala BKSDA Jambi Donal Hutasoit mengatakan, rentetan kejadian itu berawal dari laporan masyarakat Muara Danau. Petani sawit resah terhadap keberadaan tiga gajah di sekitar kebun garapan mereka yang berbuntut rusaknya tanaman. Petugas lalu ditugaskan untuk mengecek ke lokasi sejak 20 Februari lalu.
”Setelah dicek di lapangan, kebun-kebun masyarakat berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang merupakan habitat daerah jelajah Gajah Sumatera di Bentang Alam Bukit Tigapuluh,” katanya.
Meski begitu, demi menekan konflik, petugas coba menggiring tiga gajah agar menjauhi kebun garapan. Namun, warga penggarap lahan menginginkan gajah tidak digiring, tapi dipindahkan dari wilayah Desa Muara Danau.
Pada 22-25 Februari, tim tetap menggiring tiga gajah itu ke arah utara Desa Muara Danau. Ketiganya sudah berada di kawasan yang masih berhutan. Namun, di masyarakat tiba-tiba beredar isu bahwa ada 40-an gajah sedang bergerak dari Kabupaten Tebo menuju ke Muara Danau di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Tim konservasi berupaya untuk mengecek dan mendapati isu tersebut tidak benar. Namun, warga telanjur tersulut amarah sehingga berunjuk rasa hingga merusak berbagai aset konservasi satwa.
Konflik menahun
Humas BKSDA Jambi Zuhra mengakui bahwa konflik di wilayah itu sudah menahun. Ketiga gajah di sekitar lahan garapan warga tersebut merupakan gajah jantan dispersal atau mulai dewasa dan memisahkan diri dari kelompok untuk mencari wilayah jelajah baru.
Namun, penjelajahan satwa itu terbentur oleh kepentingan pembukaan lahan. Zuhra menyebut, sudah lebih dari 1.000 hektar areal hutan itu dirambah untuk monokultur sawit.
Dalam catatan Kompas, konflik tersebut telah berlangsung sejak 2020. Wilayah yang dijelajahi gajah merupakan ekosistem yang saling terhubung di masa lalu dalam lanskap Bukit Tigapuluh. Ekosistemnya mencakup wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Namun, pembukaan budidaya monokultur skala besar maupun kecil telah memecah ekosistem itu.