Biaya Produksi Tinggi, Petani Cirebon Berharap Harga Gabah Tak Anjlok
Petani di Cirebon, Jawa Barat, berharap harga gabah tidak anjlok saat panen raya. Sebab, biaya produksi sudah tinggi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kesulitan mendapatkan pasokan air, pupuk bersubsidi, serta serangan hama membuat biaya produksi padi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menjadi tinggi. Petani berharap infrastruktur pertanian memadai dan harga gabah tidak anjlok saat panen raya nanti.
Kesukaran petani menanam padi, antara lain, tampak di Desa Jagapura Wetan, Kecamatan Gegesik. Hingga akhir Februari 2024, sawah di area itu belum diolah karena minimnya air. Saluran irigasi tampak kering. Petani pun harus menyiapkan mesin pompa dan pipa untuk memasukkan air.
”Sudah tiga pekan air belum mengalir ke sawah. Memang, ada penggiliran air, tetapi airnya tinggal lewat,” kata Rokhman (52), petani setempat, Senin (26/2/2024). Padahal, biasanya, petani sudah menanam pada bulan Januari. Namun, hingga akhir Februari petani belum mengolah sawahnya.
Kesulitan air itu akhirnya membuat petani bersepakat memakai pompa dan pipa. Tarifnya ditentukan oleh petani dan aparat desa. Baru kali ini petani menerapkan sistem pompa pada musim tanam rendeng atau pertama. Biasanya, pasokan air cukup di musim ini karena hujan.
Becermin pada musim tanam gadu atau kedua, harga sewa pompa itu sekitar Rp 2 juta per hektar. Biaya itu untuk memasok air saat pengolahan lahan hingga panen padi. Ongkos itu, katanya, menambah beban petani. Apalagi, mereka juga kesulitan mengakses pupuk bersubsidi.
Menurut Rokhman, petani hanya mendapatkan 2-3 kuintal pupuk bersubsidi per hektar. ”Padahal, kebutuhannya bisa 4-5 kuintal pupuk. Akhirnya, (petani) beli pupuk nonsubsidi yang harganya bisa sejuta (rupiah) per kuintal,” ujar penggarap lahan 1 hektar ini.
Harga itu, katanya, jauh dibandingkan dengan pupuk bersubsidi yang sekitar Rp 250.000 per kuintal. ”Enggak apa-apa kalau jatah pupuk bersubsidi dikurangi. Tapi, harga pupuk nonsubsidi jangan terlalu tinggi seperti sekarang. Misalnya, Rp 300.000 per kuintal,” tutur Rokhman.
Menurut dia, masalah air hingga pupuk bersubsidi telah menambah biaya tanam petani dari biasanya Rp 8 juta per hektar menjadi lebih dari Rp 10 juta per hektar. Biaya itu, antara lain, sewa traktor Rp 1,5 juta hingga ongkos panen yang mencapai Rp 2 juta per hektar.
”Mending kalau pari (padi), harganya kayak gini (seperti sekarang). Kalau harganya jatuh, malah dapat capeknya saja,” ucapnya. Harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani di desanya mencapai lebih dari Rp 10.000 per kg. Angka itu jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP), yakni Rp 6.200 per kg.
Mending kalau pari (padi), harganya kayak gini (seperti sekarang). Kalau harganya jatuh, malah dapat capeknya saja.
Saat panen musim gadu November tahun lalu, Rokhman mendapatkan 7 ton gabah kering panen (GKP). Sekitar 6,5 ton di antaranya ia jual dengan harga Rp 7.000 per kg. Artinya, ia bisa meraup Rp 45,5 juta dari hasil taninya selama empat bulan. Jumlah itu dinilai menguntungkannya.
”Uangnya saya pakai untuk bayar sewa lahan setahun, Rp 20 juta. Terus bayar utang dan modal untuk musim tanam sekarang,” ujarnya. Akan tetapi, jika harga gabah anjlok hingga Rp 5.000 per kg, Rokhman memastikan bakal merugi karena tidak sesuai ongkos produksi.
Ia mencontohkan, dengan hasil panen 7 ton padi dan harga Rp 5.000 per kg GKP, ia hanya meraup Rp 35 juta. Sementara ongkos tanam lebih dari Rp 10 juta serta biaya sewa lahan mencapai Rp 20 juta. Dengan hasil itu, margin usahanya tipis dan ia mengaku jadi tidak bisa membayar utang pupuk dan pestisida.
”Makanya, harga gabah kalau bisa stabil Rp 7.000-Rp 8.000 per kg. Kalau di bawah itu, ya, rugi. Sebab, kebanyakan petani itu masih sewa lahan,” ucap Aksan Maulana (52), petani lainnya. Ia pun berharap harga gabah petani tidak anjlok saat panen, seperti yang kerap terjadi.
”Bahkan, harganya pernah Rp 4.000 per kg. Petani mah enggak untung. Cuma, capek,” kata Aksan. Petani, katanya, juga tidak tahu perkembangan harga gabah. Sebab, selama ini mereka hanya menjual padi berdasarkan penghitungan tengkulak atau bakul.
Daiman (43), petani asal Kecamatan Klangenan, Cirebon, juga berharap harga gabah tidak turun drastis saat panen raya bulan April dan Mei nanti. Ia dan petani lainnya harus menambah ongkos tanam akibat serangan hama tikus.
”Saya empat kali semai benih padi. Tapi, semuanya kena tikus. Saya harus ke Indramayu (Jabar) cari winih (benih/bibit padi),” ucap bapak tiga anak ini. Jarak dari Jemaras Lor menuju Indramayu sekitar 60 kilometer. Akibatnya, ia harus menambah pengeluaran hingga Rp 2 juta.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Cirebon Kuryadi mendesak pemerintah agar menjaga harga gabah petani tidak anjlok saat panen. Pihaknya juga mendorong pemerintah membenahi infrastruktur pertanian serta memastikan pupuk tersedia dengan harga terjangkau.
”Pemerintah jangan hanya cepat kalau stabilisasi harga pangan, tapi juga harus bergerak cepat kalau petani ada masalah,” ucapnya.