Seks Pranikah di Mata Kawula Muda Yogyakarta
Di Yogyakarta, sebagian kawula muda seakan mewajarkan seks pranikah dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Tabu atau tidaknya seks pranikah sangat mungkin diperdebatkan. Berbalut rasa penasaran dan paparan budaya luar, sebagian kawula muda di Yogyakarta menganggap wajar aktivitas tersebut meski dengan cara sembunyi-sembunyi.
WC (26) berbaring di atas kasur busanya di sebuah wilayah Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (23/2/2024) petang. Ia baru saja pulang bekerja. Sambil bersantai, jempolnya bolak-balik mengusap layar ponsel yang menampilkan aplikasi kencan.
”Dari aplikasi begini, setidaknya saya pernah kenal dua orang teman kencan,” kata lelaki gondrong itu.
Baca juga: Teknologi Mengubah Perilaku Seksual Generasi Z
WC menempati indekos yang tak menerapkan aturan ketat. Indekos itu malahan lebih dikenal dengan istilah ”Las Vegas”. Tidak ada penjaga ataupun induk semang di sana. Para penghuninya bebas keluar masuk tanpa ada jam malam.
Para penghuninya satu sama lain hanya saling tahu tanpa mengenal lebih dalam. Urusan di dalam kamar kos menjadi bagian masing-masing. Kebebasan itulah yang dicari WC sebelum memutuskan tinggal di sana. Bahkan, kamar berukuran 2 x 3 meter pernah menjadi saksi bisu sewaktu ia berkencan dengan kenalan dari aplikasi kencan.
”Memang bisa lebih bebas kalau tinggal ngekos. Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan (kencan panas) bisa terjadi. Semua itu kembali lagi ke orangnya masing-masing,” kata WC.
Pengalaman paling ekstrem, WC pernah nekat masuk ke kos putri yang ditempati mantan pacarnya beberapa tahun lalu. Padahal, si pemilik kos juga tinggal di area kos tersebut. Ia mengecoh pemilik kos dengan membiarkan rambut panjangnya tergerai ketika memasuki kompleks kos-kosan itu.
Bukan hanya itu, tempat tinggal saudaranya di Yogyakarta pun pernah menjadi saksi bisu atas pengalaman seksualnya. Kala itu, ia masih tinggal menumpang di rumah tersebut. Aksinya berlangsung sewaktu rumah dalam kondisi sepi.
”Tentu saja yang terpenting harus ada consent. Tidak saling memaksakan dan tidak saling merugikan. Tidak bisa dipungkiri juga jika ini masih tabu. Lantas, hal-hal seperti ini dilakukan seperti sembunyi-sembunyi,” kata WC.
WC mengenang kali pertama ia berhubungan seksual semasa mengenyam bangku perkuliahan pada 2019 silam. Mantan pacarnya menjadi kawannya bercinta saat itu. Ia tak benar-benar ingat bagaimana kejadian itu bermula karena segalanya seperti terjadi begitu saja. Sejak saat itu, kegiatan tersebut terasa kasual bagi mereka walaupun belum menikah.
Menurut pengakuan WC, rasa penasaran merupakan pendorongnya untuk berani melakukan hal semacam itu. Tetapi, ia tak pernah mencari secara langsung bagaimana caranya secara mendetail. Malah dari berbagai aktivitas seksual itu hal-hal tentang dunia itu dipahaminya.
”Dari ingin mengerti saja (soal seksualitas), itu rasanya seperti apa dan bagaimana. Kebetulan ada orang-orang lain yang sama-sama penasaran. Maka, itu terjadilah,” kata WC.
Kisah serupa diungkapkan perantau asal Magelang, AG (29). Pertama kali ia melakukan aktivitas seksual pada 2016 di Yogyakarta, tempatnya menempuh jenjang perkuliahan. Sang mantan pacar menjadi ”lawan main” pertamanya.
Gadis hitam manis itu pun menjadikan rasa penasarannya sebagai penggerak untuk aktif dalam kegiatan seksual. Keingintahuannya itu dipicu berbagai adegan romantis dari novel dan film yang ia konsumsi sehari-hari.
”Influence-ku datang dari novel dan film. Apalagi, aku, kan, orangnya romantis. Jadi, ingin mengeksplorasi hal-hal seperti itu kayak apa sih,” tutur AG.
Sebenarnya AG ingin mencari tahu perihal seksualitas dari orang-orang terdekatnya sejak lama. Namun, ia sadar juga hal itu masih dianggap tabu secara umum. Padahal, ia menganggap banyak orang yang menginginkannya. Lebih-lebih di kalangan anak muda yang gejolaknya untuk menjajal hal baru sedang tinggi-tingginya.
”Aku mengalami dua spektrum yang sangat jauh, mulai dari sangat menyenangkan sampai mengerikan. Tetapi, semua ini aku dapatkan karena pengalamanku. Bukan karena ada yang memberikan edukasi. Aku tidak tahu harus tanya sama siapa,” kata AG.
Baca juga: Saat Kesehatan Reproduksi Masih Direkatkan dengan Pelajaran Biologi
Dari pengalamannya pula, lanjut AG, hasrat kawula muda itu selalu ada. Keinginan dan rasa penasaran juga menyertai. Lantas, alih-alih membuat seksualitas menjadi hal yang terasa sungkan untuk diperbincangkan, lebih baik mendorong anak-anak muda untuk mengontrol hasratnya itu.
”Karena seks itu melibatkan orang lain, seharusnya desire (hasrat) ini tidak merugikan orang lain dan melukai orang lain,” ucap AG.
Kisah WC dan AG seakan menjadi sepotong gambaran mengenai bagaimana anak-anak muda memandang soal seksualitas di ”Kota Pelajar”. Masalah itu juga pernah disorot lewat media sosial. Salah satunya melalui unggahan akun anonim bernama @jogmfs di media sosial X, yang sebelumnya bernama Twitter.
Unggahan itu telah ditonton 1 juta kali oleh para pemilik akun media sosial tersebut. Dalam unggahan itu, disebutkan, Yogyakarta termasuk sebagai kota dengan tingkat seks bebas tertinggi di Indonesia. Basis data yang digunakan ialah pengajuan dispensasi nikah.
Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY, jumlah pengajuan dispensasi nikah paling menonjol terjadi tahun 2020. Saat itu ada 948 pengajuan. Jumlahnya melonjak drastis dibandingkan dua tahun sebelumnya yang hanya berkisar 300 pengajuan.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY Erlina Hidayati Sumardi menjelaskan, banyaknya angka pengajuan pernikahan dilihatnya sebagai dampak pandemi Covid-19. Kondisi itu memberi kebebasan bagi anak-anak guna mengakses internet mengingat pembelajaran berlangsung secara daring. Celakanya, kesempatan itu justru mendekatkan mereka ke konten-konten pornografi yang kemudian diluapkan ke teman dan lingkungan terdekatnya.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi Kian Terhambat
Seiring dengan normalnya kondisi, sebut Herlina, jumlah pengajuan dispensasi menikah kini menunjukkan tren turun. Jika pada tahun 2021 terdata sebanyak 757 pengajuan, tahun 2022 turun menjadi 649 pengajuan, dan tahun 2023 kembali turun menjadi 599 pengajuan. Dengan rangkaian catatan tersebut, DIY selalu menjadi provinsi kedua dengan angka dispensasi pernikahan terendah nomor dua se-Indonesia.
Lingkungan sekitar harus pula peduli akan situasi dan aktivitas yang terjadi di rumah-rumah kos, terutama sekali jika penghuni kos tersebut adalah anak-anak yang masih belia atau remaja.
Meskipun demikian, Erlina mengatakan, pihaknya juga terus berupaya menekan angka pernikahan dini dengan terus memberikan pendidikan seks melalui program pendewasaan usia pernikahan ke sekolah-sekolah dan ke desa-desa.
Di tiap kota/kabupaten, pendidikan seks ini juga intens dilakukan mulai siswa di jenjang pendidikan SD. Hal ini dinilai penting untuk dilakukan karena di DIY, sempat terdata bahwa usia warga paling muda yang melakukan pernikahan dini adalah warga yang masih berusia 13 tahun.
Menyadari kondisi banyak rumah-rumah kos saat ini menjadi kos bebas, tanpa keberadaan induk semang, Erlina mengimbau agar lingkungan sekitar kos, warga, hingga pengurus RT dan RW juga ikut membantu mengawasi perilaku para pendatang atau tamu yang datang ke kos.
”Lingkungan sekitar harus pula peduli akan situasi dan aktivitas yang terjadi di rumah-rumah kos, terutama sekali jika penghuni kos tersebut adalah anak-anak yang masih belia atau remaja,” ujarnya.
Peneliti dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Budhi Hermanto, mengatakan, hal terpenting yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku seks bebas dan kehamilan tidak diinginkan di kalangan muda adalah dengan cara memberikan bekal pendidikan seks secara tuntas dan mendalam.
Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, menurut dia, pendidikan seks semestinya juga diberikan sejak usia dini ketika anak-anak bahkan baru memasuki jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD). Dalam hal ini, pendidikan seks bisa mulai dilakukan dengan memberi tahu anak-anak, mana bagian tubuhnya yang bisa disentuh oleh orang lain dan mana yang tidak.
”Patut diingat bahwa pendidikan seks tidak semata-mata bermakna memberikan materi sebatas tentang hubungan seks saja,” ujarnya.
Pendidikan seks perlu diberikan kepada anak-anak sehingga setidaknya mereka bisa melindungi diri sendiri dan terhindar dari risiko menjadi korban pelecehan seksual.
Baca juga: Perilaku Seks Pranikah Anak Muda Tetap Berlangsung Selama Pandemi
Kontrol sosial dari orangtua ataupun induk semang kos, menurut dia, memang masih diperlukan untuk mencegah terjadinya perilaku seks bebas. Namun, pengawasan dari pihak lain itu tidak sepenuhnya bisa diandalkan karena kalangan muda pun bisa melakukan hubungan seks bebas di tempat di luar rumah atau kos, seperti di hotel atau losmen, dengan tarif murah.
Oleh karena itu, Budhi mengatakan, hal yang terpenting dilakukan sebagai upaya pencegahan adalah dengan menanamkan pemikiran, pendidikan bagaimana untuk melakukan aktivitas seksual secara sehat dan bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan segala risiko yang terjadi ketika semuanya dilakukan tanpa kendali.
”Seks bebas bukanlah semata-mata dipicu oleh masalah tempat atau baju. Perilaku itu harus dicegah sejak dari pikiran,” ujarnya.