Gajah Sumatera Mati Tersengat Listrik di Pidie Jaya
Populasi gajah sumatera terus menyusut karena diburu untuk diperjualbelikan dan dianggap hama.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
MEUREUDUE, KOMPAS — Satu ekor gajah sumatera ditemukan mati di dalam perkebunan warga di Desa Aki Neungoh, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Satwa lindung itu diduga mati karena tersengat listrik.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Gunawan Alza, Sabtu (24/2/2024), menuturkan, saat ditemukan, gajah itu sudah mati. Warga melihat bangkai satwa lindung tersebut pada Selasa (20/2/2024). Namun, BKSDA Aceh baru melaporkan kepada publik tiga hari kemudian setelah melakukan nekropsi.
Menurut Gunawan, tim medis BKSDA Aceh dan diawasi oleh kepolisian telah memeriksa bangkai itu untuk mengetahui penyebab kematian secara rinci. Bedah dilakukan di lokasi penemuan bangkai.
Dari hasil pemeriksaan, dia menyimpulkan gajah tersebut mati akibat tersengat arus listrik dari kawat setrum yang terlilit pada kakinya. Gajah tersebut diperkirakan berusia sekitar 13 tahun dan memiliki sepasang gading yang sudah disita oleh tim. Gajah merupakan salah satu satwa langka yang dilindungi di Indonesia.
BKSDA Aceh dan kepolisian masih mendalami bagaimana kabel listrik bisa terlilit di kaki satwa lindung tersebut. Ada dugaan gajah tersebut melintasi kebun warga yang dipagari dengan kabel listrik telanjang. Kabel listrik telanjang jamak dipakai oleh petani untuk menghalau binatang yang dianggap hama agar tidak merusak tanaman.
Gunawan menuturkan, BKSDA Aceh mengimbau masyarakat untuk tidak menggunakan perangkap atau racun yang dapat membahayakan satwa liar. Pelanggaran terhadap perlindungan satwa liar dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, tindakan seperti ini juga dapat memicu konflik antara manusia dan satwa liar, yang berpotensi merugikan, baik secara ekonomi maupun keselamatan jiwa.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Afifuddin Acal mengungkapkan, dalam periode 2019-2023, sebanyak 22 gajah sumatera, 11 harimau, dan 1 orangutan mati di Provinsi Aceh. Hal ini menunjukkan kehidupan satwa-satwa tersebut semakin terancam, terutama karena kerusakan habitat dan perburuan ilegal.
Afifuddin menjelaskan, gajah, harimau, orangutan, dan badak merupakan satwa kunci bagi Indonesia, dan Aceh menjadi salah satu tempat di dunia yang masih menjadi rumah bagi keempat spesies tersebut. Namun, kematian satwa-satwa tersebut bukanlah hal biasa karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Misalnya, gajah dan orangutan membantu dalam proses reboisasi hutan secara alami, sementara harimau menjaga keseimbangan populasi satwa lainnya.
Penyebab kematian satwa-satwa tersebut di Aceh beragam, mulai dari pembunuhan untuk diperdagangkan, keracunan karena dianggap sebagai hama, hingga terjebak dalam jerat pemburu babi. Afifuddin menyoroti kasus-kasus seperti seorang petani yang membunuh harimau sebagai balas dendam atas serangan terhadap ternaknya serta pemburu yang menjual gading gajah ke Jawa Barat.
Untuk mencegah lebih banyak kematian satwa lindung, Afifuddin menekankan perlunya penegakan hukum yang lebih ketat dan perlindungan habitat yang lebih baik. Salah satu langkah yang diusulkan adalah memasukkan koridor satwa dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh untuk memastikan jalur migrasi satwa tidak terputus.
Saat ini, beberapa koridor sudah dimasukkan dalam RTRW Aceh, tetapi masih ada enam koridor lain yang belum tercakup. Afifuddin juga menyoroti konflik satwa yang terjadi di luar kawasan hutan lindung dan konservasi, yang disebabkan oleh terputusnya koridor satwa akibat perubahan fungsi lahan.
Muhammad Daud dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh menambahkan, pengelolaan kawasan di luar hutan lindung juga harus memperhatikan keberlangsungan hidup satwa lindung. Konflik antara satwa dan manusia masih menjadi persoalan serius di Aceh, terutama bagi petani yang merugi akibat serangan gajah terhadap tanaman mereka.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Teuku Reza Ferasyi menyoroti pentingnya evaluasi terhadap upaya mitigasi konflik satwa yang sudah dilakukan untuk memastikan efektivitasnya dalam menangani masalah yang semakin masif ini.