Peladang masyarakat adat Dayak Iban masih memiliki stok beras hingga setahun ke depan. Buah ketekunan menjaga budaya.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
Para peladang tangguh dari Kalimantan Barat menikmati jalan hidup dan kesetiaan mereka pada alam. Saat kini harga beras melambung tinggi, mereka masih dikaruniai cukup persediaan, bahkan hingga tahun depan.
”Kami tidak terlalu terdampak kenaikan harga beras. Kami punya ladang. Berasnya melimpah,” kata Igoh (59), warga adat Dayak Iban di Rumah Panjang Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Selasa (20/2/2024) malam.
Bahkan, kata Igoh, saat stok panen tahun lalu belum habis, dia akan panen lagi dalam waktu dekat. Menurut Igoh, panennya diperkirakan 1 ton beras dari sebagian lahan seluas 2 hektar. Jumlah itu akan mencukupi kebutuhan tiga anggota keluarganya hingga lebih dari setahun.
Kondisi ini, kata Igoh, juga dirasakan masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik lainnya. Saat ini, komunitas adat itu berjumlah 281 orang.
Sebagian tinggal di rumah tunggal. Namun, ada juga yang masih bermukim di Rumah Panjang, khas suku Dayak. Dibuat tahun 1978, panjangnya 168 meter. Di sana, warga tinggal di 28 bilik.
Untuk hidup, mereka memiliki wilayah adat Sungai Utik seluas 10.048 hektar. Sebanyak 9.480 hektar di antaranya hutan adat. Di sana, warga bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Tidak hanya beras, juga sayur-mayur dan buah-buah lokal.
”Saya dan masyarakat di kampung bahkan mengirim beras kepada anak-anak kami yang sekolah di luar daerah. Biasanya 5 kilogram per setiap panen agar mereka juga ikut menikmati hasil panen,” kata Igoh.
Hal serupa terjadi di salah satu wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Dusun Sontas, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Temenggung (pemimpin adat) Benua Desa Entikong, Kanisius Kartus (49), Rabu (21/2/2024), menuturkan, dirinya memiliki ladang seluas 2 hektar. Pekan depan, ia akan panen hingga 300 kg beras.
Kartus mengatakan, dari lebih kurang 1.000 warga adat, sekitar 80 persen masih berladang. Dengan demikian, kebutuhan pangan warga tetap terpenuhi. Tahun lalu, panen ladang milik adiknya mencapai 1 ton beras dan masih ada stok untuk konsumsi.
”Kami bahkan bisa mengirimkan beras untuk kerabat yang ada di luar daerah. Kami kirimkan melalui taksi antarkabupaten,” tuturnya. Taksi adalah sebutan untuk moda transportasi mobil di sana.
Berladang merupakan salah satu identitas masyarakat adat Dayak. Kesetiaan mereka memelihara budaya dan pengetahuan yang hidup selama ribuan tahun membuat ketahanan pangan tetap terjaga. (Krissusandi Gunui’)
Salah satu yang menikmati kiriman hasil panen para peladang tangguh itu adalah Margareta (36), warga Kubu Raya. Orangtuanya di Kabupaten Sanggau menyisihkan sebagian panen untuk dinikmati Margaretha yang sehari-hari bekerja di Pontianak.
Margaretha mengatakan, kiriman itu meringankan pengeluarannya. Apalagi, saat ini ia menjadi korban kenaikan harga beras dari sebelumnya Rp 13.000 per kg menjadi Rp 16.000 per kg.
”Beras kiriman dari orangtua bisa saya campur dengan beras di pasar. Jadi, kalau biasanya beli beras di pasar 20 kg, sekarang cukup membeli 10 kg beras di pasar. Lumayan bisa menghemat pengeluaran,” kata Margareta.
Identitas
Mengutip Suriansyah Murhaini dan Achmadi dalam kajiannya di jurnal Heliyon (2021) dalam tulisan ”Berladang, Identitas Dayak yang Kini Terlarang” (Kompas, 29/8/2022), praktik itu bukan hanya sistem penghidupan dan ekonomi.
Bagi warga Dayak, hal itu menjadi sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencarian dan ekonomi, agama. Bahkan, ada juga keberadaan substansi seni di dalamnya.
Direktur Institut Dayakologi Krissusandi Gunui’ juga menuturkan, berladang merupakan salah satu identitas masyarakat adat Dayak. Kesetiaan mereka memelihara budaya dan pengetahuan yang hidup selama ribuan tahun membuat ketahanan pangan tetap terjaga.
Tidak heran apabila daerah lain susah payah panen, warga adat justru tetap bisa menikmati nikmat pangan yang diberikan alam lewat ladang yang masih terjaga.