Krisis beras di NTT menunjukkan lemahnya ketahanan pangan. Banyak warga jual pangan lokal demi sepiring nasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Krisis beras di Nusa Tenggara Timur satu bulan terakhir menyiratkan kerentanan pangan daerah. Produksi pangan lokal melimpah, tetapi masyarakat tetap mencari beras. Bahkan, jagung dan umbi-umbian dijual demi mendapatkan beras.
Hingga Rabu (21/2/2024), harga beras di sejumlah daerah di NTT terus meroket. Di pedalaman Timor, misalnya, harga beras dijual paling murah Rp 15.000 per kilogram. Kualitas beras dengan harga tersebut tergolong kurang baik. Beras kotor dan beraroma tidak sedap.
”Mungkin satu dua hari ke depan, harga naik lagi. Di banyak kios tidak ada lagi beras. Ada masyarakat yang ke kota untuk cari beras, tapi harganya juga tinggi,” kata Nabas (55), warga Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka. Kampung di pedalaman Timor itu berjarak lebih kurang 250 kilometer dari Kota Kupang.
Masyarakat di pedalaman itu tidak terjangkau operasi pasar yang digelar oleh Bulog. Operasi pasar hanya menyasar wilayah perkotaan. Harga beras yang dijual pedagang mitra Bulog Rp 11.500. Beras tersebut lebih bersih.
Kalau tidak ada nasi, mereka tidak mau makan.
Menurut Nabas, masyarakat setempat yang dulunya mengonsumsi jagung dan umbi-umbian kini sangat bergantung pada beras. ”Apalagi yang generasi muda ini, mau tidak mau mereka makan nasi. Kalau tidak ada nasi, mereka tidak mau makan,” ucapnya.
Untuk membeli beras, masyarakat menjual hasil kebun, seperti jagung dan umbi-umbian. Ada juga yang menjual ternak, seperti ayam dan babi. Tiga kilogram jagung Rp 15.000 ditukar dengan satu kilogram beras. Padahal, daerah yang mengembangkan pertanian lahan kering itu salah satu penghasil jagung.
Dina Soro dari Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) mengatakan, kurangnya pemahaman masyarakat menyebabkan ketergantungan pada beras tetap tinggi. Padahal, kandungan karbohidrat pada makanan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian, justru lebih baik dibandingkan dengan beras.
”Beras malah tinggi gulanya yang dapat menimbulkan penyakit diabetes. Banyak penderita diabetes kini malah konsumsi makanan lokal. Mereka sudah meninggalkan beras. Sayangnya, hal seperti ini yang kurang disadari masyarakat,” katanya.
Untuk mempermudah masyarakat memahami keragaman pangan, Pikul memperkenalkan alat bantu berupa tabel meja. Tabel itu memuat keterangan beberapa jenis makanan lokal serta kandungan nutrisinya. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami keragaman pangan.
Dalam catatan Kompas, ada komunitas masyarakat lokal yang turun-temurun mengonsumsi pangan beragam. Salah satunya Suku Boti di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam satu areal, mereka menanam padi, jagung, pisang, umbi-umbian, dan kacang.
Namun, komitmen itu tidak sejalan dengan penerapannya. Dalam sejumlah acara makan yang diselenggarakan pemerintah, hidangan wajib adalah nasi. Jarang ditemukan menu lokal, seperti ubi atau pisang rebus.
Tanaman pangan itu menghidupi mereka sepanjang tahun. Ketika terjadi krisis beras, seperti sekarang, mereka tidak terdampak. Bahkan, pemimpin Boti Usif (Raja) Namah Benu secara tegas menolak bantuan beras miskin atau raskin dari pemerintah.
Beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT F Lecky Koli mengatakan, pemerintah berkomitmen mendorong gerakan konsumsi pangan beragam untuk menekan ketergantungan masyarakat pada beras.
Namun, komitmen itu tidak sejalan dengan penerapannya. Dalam sejumlah acara makan yang diselenggarakan pemerintah, hidangan wajib adalah nasi. Jarang ditemukan menu lokal, seperti ubi atau pisang rebus.
Padahal, pemerintah tahu, sebagian besar kebutuhan beras NTT disuplai dari luar. Produksi beras NTT pada tahun 2022 hanya 430.948,5 ton. Angka itu jauh di bawah kebutuhan yang mencapai 642.367,53 ton.
Saat menyadari rapuhnya ketahanan pangan di NTT. Masyarakat selayaknya terbiasa mengonsumsi pangan beragam. Jangan ada lagi yang jual jagung demi membeli beras.