Lintasi Sungai Deras untuk Kawal Satu Suara Berharga
Perjuangan para calon anggota legislatif tidak hanya mendulang suara, tetapi juga bagaimana mengamankan suara.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Strategi para calon anggota legislatif tidak hanya mencari cara terbaik mendulang suara saat Pemilu 2024. Mereka juga harus punya siasat untuk menjaga suara hilang seusai pencoblosan.
Di Kalimantan Barat, dibantu tim suksesnya, sebagian dari mereka melintasi sungai deras hingga mengirimkan logistik makanan. Semua demi menjaga semangat mengawal satu suara berharga.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Agapitus, misalnya, sulit tidur setelah pencoblosan usai. Calon anggota DPRD Kabupaten Katapang ini bersama timnya memilih menunggu penghitungan ketimbang memejamkan mata.
Bahkan, tidak hanya menunggu di tempat pemungutan suara (TPS) di pusat kota, sebagian anggota timnya juga ada yang mengawal suara ke daerah pedalaman.
Untuk menuju ke sana, tim harus melintasi arus deras Sungai Krio dan Sungai Bihak menggunakan perahu motor. Tanpa penerangan layak, tim hanya mengandalkan lampu senter sederhana.
”Kami baru bisa beristirahat pada 15 Februari sekitar pukul 07.00 atau sehari setelah pencoblosan. Satu suara sangat penting bagi kami,” katanya.
Akan tetapi, ujian demi satu suara berharga tidak berhenti sampai di situ. Pada 17 Februari, enam anggota tim Agapitus demam. Mereka diduga kelelahan dan harus berobat ke puskesmas.
Kelelahan
Agung Susilo, calon anggota DPRD Kalbar, juga menghabiskan malam setelah pencoblosan tanpa memejamkan mata. Dia berkeliling TPS guna memastikan suaranya sesuai dengan perhitungannya.
”Walau ada saksi, harus dipantau guna memastikan kondisi lapangan,” katanya.
Agung mengatakan, hal itu dilakukan karena khawatir bakal terjadi kelalaian setelah pencoblosan. Bila itu terjadi, ia yakin bakal menjadi pihak yang dirugikan.
Agung mengatakan, dirinya bahkan sempat berdebat dengan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara terkait suara sah atau tidak sah.
”Saya memantau Sirekap. Namun, saya bingung. Awalnya suara naik lalu malah berkurang. Lebih baik memastikan sendiri di lapangan,” katanya.
Peggy Savira Mangundap, calon anggota DPRD Kalbar lainnya, menuturkan, dirinya sangat terbantu dengan militansi saksi yang ia punya. Dia menceritakan, ada saksi yang harus mencari sinyal berjalan kaki untuk melaporkan penghitungan suara.
”Tidak sedikit yang kelelahan karena memantau seharian penuh. Oleh karena itu, untuk daerah yang masih bisa terjangkau, saya sengaja mengirimkan sendiri makanan ke para saksi. Mereka kelelahan dan jelas kurang istirahat,” katanya.
Ketidakpercayaan
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak, Jumadi, khawatir pilihan caleg menempatkan saksi di TPS sebagai bentuk ketidakpercayaan pada penyelenggara pemilu. Ketimbang merelakan pada mekanisme negara, mereka memilih memantau sendiri mencegah potensi kecurangan.
”Mereka bisa jadi khawatir ada ruang transaksi saat penghitungan suara dimulai,” ujarnya.
Oleh karena itu, Jumadi berharap agar semua proses pemilu ditaati semua pihak. Ia tidak ingin kepercayaan peserta pemilu dan warga rusak hanya karena membiarkan kecurangan berpotensi terus terjadi.
Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum Kalbar Faisal Riza menuturkan, pihaknya menjamin pengawasan dilakukan sebaik mungkin.
”Salah satu pengawasan di TPS dilakukan dengan menyinkronkan data sesuai hasil pleno di setiap jenjang. Tujuannya, menjaga kemurnian hasil,” kata Faizal.
Serangan fajar
Terkait dugaan adanya serangan fajar, Faizal mengatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai mitigasi. Petugas Bawaslu, misalnya, berpatroli pada masa tenang hingga sosialisasi langsung tentang bahaya politik uang.
”Kami juga membuka posko pengaduan. Hingga masa tenang selesai dan masa pemungutan suara selesai sejauh ini belum ada pengaduan,” ujarnya.
Kini, hampir sepekan setelah pencoblosan usai, hasil sementara disebut belum seideal yang diharapkan. Agapitus, Agung, dan Peggy tampaknya harus berdamai dengan keadaan.
Mereka mengatakan, dari penghitungan suara internal, jumlahnya belum cukup mengantar diri menuju parlemen. Agung dan Peggy menyebut petahana masih terlalu kuat.
Meski tidak puas, Agapitus juga mencoba legawa. Dari target 2.000 suara, lewat hitungan internal, ia memprediksi akan kehilangan 300-400 suara. Dia menduga, pemicunya masih ada ”serangan fajar” yang dilakukan calon lain.
”Khusus penyelenggara pemilu, saya kira sudah bekerja dengan baik. Namun, hal itu pasti didukung pengawasan yang kami lakukan secara mandiri,” katanya.
Proses pencoblosan bisa jadi sudah usai. Penghitungan juga mendekati akhir. Namun, ketidakpercayaan publik harus tetap dijaga apa pun itu keadaannya. Jangan sampai perjuangan mengawal satu suara berharga hanya berujung sia-sia.