Hari ”Gini” Jadi Wartawan? Apa yang Dibanggakan?
Kerja jurnalistik dengan mengedepankan kode etik jurnalistik menyemangati dan membanggakan para pewarta di era disrupsi.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi menjadi tantangan zaman, termasuk dampak disrupsi terhadap media massa. Di tengah limpahan arus informasi yang kian masif, kerja jurnalistik pun dituntut kreatif, juga inovatif, menyajikan produk jurnalistik yang berkualitas.
Dalam jamuan sederhana peringatan Hari Pers Nasional 2024, wartawan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, memanjatkan syukur sekaligus berefleksi tentang ikhtiarnya menjadi ”kuli tinta” di tengah era digital.
”Hari ini atau zaman ini zamannya cepat sekali kita mendapatkan informasi dari siapa pun. Salah satunya kebanggaan menjadi wartawan adalah tidak sembarang memberikan informasi kepada masyarakat,” kata Saladin Ayyubi (50), wartawan salah satu televisi nasional di Purwokerto, Banyumas, Jumat (9/2/2024).
Baca juga: Dipersulit, Wartawan Banyumas Boikot Peliputan Menaker
Saladin yang telah menjadi wartawan sejak 1999 atau sekitar 25 tahun menyampaikan, di era digital yang serba cepat, wartawan tetap dituntut bekerja profesional serta mengedepankan kode etik jurnalistik.
”Kita masih punya kegiatan jurnalistik mengedepankan etika jurnalistik. Kita harus menyaring dulu beritanya, melakukan konfirmasi. Kebanggaan inilah yang bisa kita berikan kepada masyarakat bahwa informasi dari wartawan adalah valid,” tuturnya.
Menurut Saladin, kerja jurnalistik dan kode etik jurnalistik itulah yang menjadi pembeda antara wartawan dan pegiat media sosial.
Bayu Nur Sasongko (43), wartawan salah satu televisi nasional di Purwokerto, juga mengaku bangga menjadi wartawan. Bayu sudah menjadi wartawan sejak tahun 2006 atau selama 18 tahun. Dia pernah menjadi wartawan radio, media cetak, media daring, hingga televisi.
Baca juga: PT PP (Persero) Tbk Memohon Maaf kepada Wartawan Banyumas
”Bagi saya, profesi wartawan atau jurnalis tetap membanggakan walaupun arus informasi tidak melulu dari wartawan atau media mainstream. Tapi, sebagai penyampai pesan atau penyambung lidah masyarakat, saya tetap merasa bangga akan itu,” katanya.
Terlebih, menurut Bayu, saat ini tugas wartawan lebih banyak untuk meluruskan hal-hal yang simpang siur, tidak jelas, atau cenderung pada hoaks. ”Itulah tugas kita, mana yang benar dan fakta. Itu juga menjadi jalan hidup bagi saya,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Driyanto (53), wartawan salah satu media massa cetak dan daring di Purwokerto, yang sudah menjadi wartawan sejak 1994 atau selama 30 tahun.
”Saya mengalami zaman Orde Baru, Reformasi, dan sampai saat ini,” kata Driyanto yang pernah bertugas di Merauke, Aceh, Yogyakarta, Cilacap, dan Purwokerto.
Driyanto mengaku bingung untuk mencari hal yang membanggakan dalam menjadi wartawan saat ini. ”Bingung, ya, Mas. Ketika media belum ada digitalisasi, kita mungkin masih bangga. Berita kita masih bisa jadi kontrol untuk pemerintah. Dulu, zaman Orde Baru, kalau menulis berita miring atau kritis, biasa dicari oleh pemerintah,” katanya.
Menurut Driyanto, dari sisi kesejahteraan, saat ini dan era sebelum adanya digitalisasi memang terasa. Sebagaimana diketahui, ada sejumlah media massa yang gulung tikar. ”Kita tahu media mrotoli (banyak yang rontok atau gugur). Memang saat ini media mainstream masih bisa untuk kontrol meskipun ada media sosial,” ujarnya.
Bagi Driyanto, kelebihan media arus utama itu ada keberimbangan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. ”Berbeda dengan media sosial yang pertanggungjawabannya individu. Media mainstream itu ada wartawannya, redaktur, pemred. Orang yang diberitakan juga punya hak jawab ketika ada pemberitaan yang salah,” ujarnya.
Di tengah tantangan zaman dan disrupsi yang menerpa media massa, Driyanto tetap bangga menjadi wartawan. Dia pun berpesan kepada para wartawan untuk punya usaha sampingan sebagai penopang kebutuhan hidup.
”Ya, apa pun bentuknya, saya masih tetap bangga menjadi wartawan. Saya masih bisa menghidupi keluarga saya dan saya masih bisa menguliahkan anak dan keponakan saya. Saat ini wartawan harus punya usaha sampingan. Kalau tidak punya usaha sampingan, tidak bisa hidup,” kata laki-laki yang juga membuka warung bakso di Purwokerto ini.
Ini menjadi tantangan buat media. Tidak mungkin kita hanya meminta mereka (anak muda) untuk mencintai media mainstream tanpa inovasi dari media mainstream itu sendiri.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Banyumas Lilik Darmawan mengatakan, pers saat ini memiliki peran yang urgen karena pers pada masa transisi kekuasaan punya tugas yang tidak mudah.
”Media sebagai kekuatan atau pilar keempat demokrasi harus tampil sebagai media yang independen, media yang mampu memberikan kontrol sosial sekaligus juga menjadi media yang mampu mengedukasi,” kata Lilik.
Dalam konteks pemilu, media harus bisa mengedukasi para pemilih yang akan menyalurkan aspirasinya pada 14 Februari.
”Media ini juga harus menjaga atau menjadi garda penjaga demokrasi. Kalau sekarang barangkali banyak suara kritis, tentu saja media harus sama seperti yang dilakukan kelompok kritis yang lain karena memang kita memiliki fungsi kontrol sosial di dalam masyarakat,” katanya.
Siapa pun pemimpin yang akan jadi tentu kita harus mengawal prosesnya. Proses ini menjadi penting supaya mereka yang terpilih mempunyai legitimasi yang kuat.
Di tengah disrupsi saat ini, Lilik juga menyebutkan media harus terus kreatif dan inovatif memanfaatkan kanal-kanal media sosial untuk memapar konten jurnalistik yang berkualitas kepada generasi muda. ”Ini menjadi tantangan buat media. Tidak mungkin kita hanya meminta mereka (anak muda) untuk mencintai media mainstream tanpa inovasi dari media mainstream itu sendiri,” katanya.
Menurut Lilik, saat ini penting bagi media arus utama mendekatkan diri kepada kelompok milenial sekaligus generasi Z supaya mereka mengetahui dan mengenal mediaarus utama.
”Jangan sampai karena tidak mengenal, mereka meninggalkan media mainstream. Ini yang paling penting, jangan sampai media mainstream itu hidup di alamnya sendiri. Caranya adalah bagaimana mereka membuka seluruh kanal. Sekarang kita tahu bahwa media mainstream masuk ke media sosial, yang dapat menjadi referensi bagi milenial dan generasi Z. Maka, media mainstream harus eksis di media sosial itu,” ujarnya.
Kendati disrupsi kian menggerus pundi-pundi pewarta, kerja-kerja jurnalistik tetap menjadi nyawa sekaligus warna di tengah lautan informasi. Kreativitas dan inovasi para kuli tinta pun kian diuji dalam ombak, bahkan terpaan badai digitalisasi.
Hari gini jadi wartawan? Apa yang dibanggakan? Selamat Hari Pers Nasional 2024.