Kisah Petani Terpaksa Sewakan Lumbung Pangan demi Bertahan Hidup
Hasil yang tak sesuai harapan membuat lahan ”food estate” Humbang Hasundutan dibiarkan terbengkalai. Sebagian disewakan.
Program lumbung pangan alias food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tak sesuai dengan harapan petani. Hasil panen minim membuat lahan tak lagi diurus, malahan disewakan.
Lumbung pangan yang semula diharapkan menjadi andalan petani nyatanya tak menghasilkan secara memadai. Hasil panen minim. Harga jual pun rendah. Apalagi, perusahaan penampung yang ditunjuk pemerintah dinilai tidak adil dalam kerja sama. Bahkan, ada sejumlah perusahaan keluar dari program.
Lantaran pesimistis akan program itu, petani tak lagi serius menggarap. Sebagian lahan jadi terbengkalai. Sebagian lagi disewakan petani.
”Dari 215 hektar lahan food estate Humbang Hasundutan ini, sekitar 50 hektar sudah mulai disewakan (petani) ke perusahaan. Banyak petani memilih menyewakan karena hasilnya tidak memuaskan,” kata petani lumbung pangan Humbang Hasundutan, Tua Siregar (66), Jumat (9/2/2024).
Tua menjadi salah satu petani dari 70 petani yang mempunyai lahan di area lumbung pangandi Desa Siria-Ria, Kecamatan Pollung. Dia mempunyai tujuh hektar lahan di area program lumbung pangan pemerintah yang berfokus menanam bawang merah, bawang putih, kentang, dan tanaman hortikultura lainnya.
Baca juga: Setelah ”Food Estate” Singkong, Kini Jagung Ditanam di Kalteng
Pada awal pencanangan program lumbung pangan, petani mendapat bantuan bibit, pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian. Pemerintah juga membangun jaringan pipa air untuk area pertanian tersebut. Lahan lumbung pangantersebut merupakan lahan milik petani dan sebagian lahan yang dilepaskan pemerintah dari kawasan hutan negara.
Saat Kompas mendatangi area lumbung pangan pada Januari lalu, tampak sebagian lahan terbengkalai ditumbuhi rumput dan ilalang. Banyak juga lahan yang kini ditanami kopi arabika, cabai merah, dan berbagai jenis tanaman hortikultura lainnya. Tanaman andaliman yang memang tumbuh alami di hutan dataran tinggi itu juga tumbuh di area yang berbatasan dengan tegakan hutan itu.
Tua menyebut, program tanaman pangan yang dicanangkan pemerintah, yakni bawang merah, bawang putih, dan kentang, tidak memberikan hasil memuaskan bagi petani. Saat menanam tujuh hektar bawang merah, dia hanya mendapat hasil dua ton, jauh di bawah target 20 ton per hektar.
”Dari tujuh hektar itu, seharusnya saya mendapat 140 ton bawang merah,” kata Tua.
Setelah tidak mendapat bantuan dari pemerintah, kata Tua, dia akhirnya hanya bisa menanam bawang merah di lahan seluas dua rantai (1 hektar 25 rantai) dan mendapat hasil 600 kilogram, masih di bawah target produksi.
Awalnya, para petani dipaksa menjual hasil ke koperasi yang dibentuk pemerintah. Namun, koperasi membeli bawang merah Rp 8.000 per kilogram, jauh dari harga pengepul di pasar, yakni Rp 15.000 per kilogram.
Kini, dia menanam sayur kubis di lahan dua rantai itu. Tua menyebut, sejak awal para petani sudah mengingatkan bahwa mereka tidak punya pengetahuan tentang menanam bawang dan menurut mereka lahannya tidak cocok untuk bawang.
Masalah lain yang mereka hadapi, perusahaan penampung yang ditunjuk pemerintah dinilai tidak adil dalam kerja sama, khususnya dalam bagi hasil. Ada perusahaan penampung memanen kentang petani tanpa pemberitahuan dan menimbang sendiri hasil tanpa disaksikan petani. Beberapa perusahaan sudah keluar dari food estate.
Fenomena terakhir ini, kata Tua, banyak petani akhirnya menyewakan lahannya kepada perusahaan demi bertahan hidup. Tua, misalnya, menyewakan lima hektar lahannya dengan tarif Rp 1,5 juta per hektar per tahun.
”Daripada kami tanami tetapi gagal terus, lebih baik kami sewakan,” kata Tua.
Hal serupa dialami petani lainnya, Serita Siregar (35). Dari tiga hektar lahan food estate yang dikelolanya, tidak sampai setengah hektar yang bisa dia kelola.
”Waktu masa tanam pertama, kami masih menanam seluruh lahan milik kami. Sekarang, kami tidak bisa lagi tanami semua karena kendala modal dan tenaga kerja,” kata Serita.
Ketika menanam tiga hektar lahannya, Serita menyebut, hasil bawang merah mereka juga sangat jauh dari target. Apalagi harganya tak sesuai dengan harapan
Awalnya, para petani dipaksa menjual hasil ke koperasi yang dibentuk pemerintah. Namun, koperasi membeli bawang merah Rp 8.000 per kilogram, jauh dari harga pengepul di pasar, yakni Rp 15.000 per kilogram.
Ada pula potongan biaya administrasi 10 persen dan potongan untuk modal tanam berikutnya 30 persen. ”Petani akhirnya menjual ke pasar. Koperasinya sekarang sudah tutup karena tidak jalan,” kata Serita.
Serita kini hanya bisa menanam 4.000 pokok sayur kubis di lahan 3 rantai dan 8 rantai ubi jalar. Lahan lainnya masih dibiarkan kosong dan menunggu kerja sama dengan perusahaan. ”Kerja samanya bisa bagi hasil atau sewa lahan. Kami memilih kerja sama dengan perusahaan untuk menghindari kerugian,” kata Serita.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi mengatakan, lumbung panganseharusnya menjadikan petani sebagai tuan di atas tanahnya sendiri.
Namun, yang terjadi, lumbung panganjustru membuat petani berpotensi kehilangan hak atas tanahnya. Sebelum ada program lumbung pangan itu, para petani di Desa Siria-Ria mendapatkan penghasilan yang cukup dari hasil pertanian seperti kopi, andaliman, dan kemenyan.
Menurut Delima, pemerintah menerbitkan 87 sertifikat hak milik di atas 215 hektar lahan food estate. ”Proses legalisasi aset itu idealnya memberikan jaminan kepemilikan lahan kepada masyarakat. Namun, yang terjadi, lahan itu justru dimanfaatkan perusahaan,” kata Delima.
Delima menyebut, banyak juga SHM yang sudah digadaikan petani untuk mendapat pinjaman modal dari bank. Karena hasil dari lumbung pangantidak memadai, petani berpotensi gagal bayar. Setelah petani mempunyai SHM, para salesman kredit bank pun hampir setiap hari datang menawarkan pinjaman.
Saat panen jagung di Medan, Senin (5/2/2024), Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, pemerintah mencanangkan food estate untuk meningkatkan cadangan pangan Indonesia.
”Kami sudah support. Pertanian bukan mau diributkan, melainkan dikerjakan. Ini bukan sulap. Ini jangka panjang,” kata Amran saat ditanya awak media tentang lumbung pangan Humbang Hasundutan.
Amran menyatakan, tanaman pangan Indonesia bukan hanya di food estate di Sumut dan Kalimantan Tengah. Ada 7,4 juta hektar tanaman pangan di seluruh Indonesia. Food estate itu, kata Amran, sangat kecil dibandingkan dengan seluruh tanaman pangan di Indonesia.
”Kalau ada yang mengatakan gagal, sukses itu fondasinya gagal. Kalau ada mengeluh sedikit-sedikit gagal, sukses itu fondasinya dihina,” kata Amran.
Baca juga: Proyek ”Food Estate” Harus Dievaluasi Total