Kisah Satu Suara Berharga hingga Kenangan Teladan Gus Dur
Peringatan Haul Ke-14 Gus Dur di Cirebon mengingatkan pentingnya etika dan toleransi dalam Pemilu 2024.
Peringatan haul ke-14 Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kembali mengingatkan pentingnya etika dan toleransi dalam Pemilu 2024. Kisah satu suara yang berharga hingga semangat kemanusiaan jauh lebih penting ketimbang politik kembali bergema.
Sedikitnya 200 orang memenuhi Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024) malam. Ada yang berpeci, berhijab, hingga memakai kalung salib.
Dari yang mengenakan gamis sampai jaket bergambar tengkorak juga duduk bersama. Mereka saling sapa.
Sejumlah panitia dari pemuda NU, warga Katolik, dan lainnya mengenakan pakaian seragam, yakni kaus hitam. Di depannya terdapat gambar wajah Gus Dur bersama corak kereta Singa Barong. Kereta bersejarah di Cirebon itu menggabungkan tubuh gajah, naga, dan burak.
Ketiga wujud itu merupakan gambaran keberagaman karena gajah identik dengan India, naga dari China, dan burak adalah kendaraan Nabi Muhammad SAW saat melaksanakan Isra. Di belakang baju mereka tertulis ujaran Gus Dur, ”Yang lebih penting dari Politik adalah Kemanusiaan”.
Baca juga: Gus Dur, Idealisme Hidupkan Demokrasi Lampaui Jabatan
Pesan keberagaman dan kemanusiaan itulah yang coba digaungkan kembali hadirin dalam peringatan 14 tahun wafatnya Gus Dur. Saat doa lintas iman, misalnya, perwakilan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu turut serta. Penghayat Sunda Wiwitan pun berdoa.
Dalam munajatnya, mereka berterima kasih kepada Gus Dur yang telah memberikan pelajaran berharga untuk bangsa. Tokoh lintas iman ini juga mendoakan agar Indonesia tetap damai saat menjalani Pemilu 2024 serta berharap hadirnya pemimpin yang mengayomi seluruh warga.
”Berikanlah spirit, kebajikan, keadaban Gus Dur kepada kami semua agar bangsa ini bisa berjalan ke depan, menatap Indonesia lebih baik. Tidak terjebak dalam ambisi kekuasaan sehingga kami tidak saling mencela,” ujar Juwita Djatikusumah, perwakilan Sunda Wiwitan.
Jangan sampai satu suara kita ditukar dengan satu potongan video di Tiktok. Suara kita terlalu mahal untuk ditukar dengan postingan di medsos.
Pesan pemilu damai juga tersiar dalam pertunjukan kesenian berokan yang jenaka. Berokan merupakan kesenian khas Cirebon yang berupa topeng kepala binatang dan berbahan kayu. Wujudnya mirip barongsai. Berokan berasal dari kata barokah yang berarti keselamatan.
Saat pentas, pemain berpakaian adat Cirebon membakar kemenyan sembari memanggil berokan. Uniknya, musik elektrik yang berpadu dengan sampah kaleng bekas karya Saeroji, pemuda Cirebon, mengiringi datangnya berokan. Mata hadirin dan kamera gawai mengarah ke panggung.
Meskipun suasana mistis terasa lewat asap kemenyan dan musik menegangkan, pentas itu tetap jenaka. Berokan, misalnya, berulang kali mengucap kata ”tobat” yang mirip suara terompet.
”Sembahyangnya beli (enggak), tobat terus,” ucap dalang yang berbicara dengan berokan.
Di antara tawa hadirin terselip pesan perdamaian. Misalnya, saat sang dalang menanyakan apakah berokan punya teman agama Kristen, Hindu, dan lainnya. ”Pada akur, ya. Sebab, wong agama itu ngajarinnya yang baik-baik,” ucap dalang disambut anggukan kepala berokan.
Suara ditukar
Memasuki acara refleksi anak muda, pesan untuk para kandidat dalam pemilu kian terasa. Visakha Tan (26), remaja asal Cirebon, menekankan pentingnya pemilu sebagai pesta demokrasi untuk mengatasi diskriminasi.
”Saya ini minoritas. Perempuan dan agama Buddha,” ucapnya.
Ia pun mengingatkan agar masyarakat tidak termakan berita palsu atau ujaran kebencian yang membanjiri media sosial. ”Pesta demokrasi, menurut saya, seperti air. Ke mana pun dia masuk. Kalau berlebihan, bisa jadi bencana. Informasi yang berlebihan bisa dimanipulasi,” ungkapnya.
Visakha mencontohkan video debat calon presiden dan wakil presiden yang dipotong-potong sehingga informasinya tidak utuh. ”Jangan sampai satu suara kita ditukar dengan satu potongan video di Tiktok. Suara kita terlalu mahal untuk ditukar dengan postingan di medsos,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat, terutama anak muda, untuk lebih dulu mengecek unggahan mengenai pemilu di medsos. Visakha menilai, seseorang yang tidak melakukan riset terhadap info di medsos sama saja memakan satu dua butir nasi lalu merasa kenyang. Padahal, itu hanya ilusi.
Ulya (26), perempuan difabel dari Cirebon, berharap calon pemimpin meneladani Gus Dur yang berjuang untuk komunitas difabel. ”Berkat Gus Dur, kami para difabel bisa kuliah dan bekerja, merasakan menjadi warga Indonesia,” ucap penyandang disabilitas fisik ini.
Akan tetapi, kini, komunitas difabel masih merasakan diskriminasi, termasuk saat pesta demokrasi. Isu disabilitas, katanya, masih sangat jarang dibahas oleh para kandidat dalam pemilu.
”Jangan mau jadi alat yang mengatasnamakan demokrasi. Jangan termakan gimmick-gimmick,” ucapnya.
Pendapat Ulya dan Visakha menunjukkan demokrasi negeri ini tidak baik-baik saja. Itu sebabnya, haul Gus Dur yang juga digelar di sejumlah kota mengusung tema ”Meneladani Budaya Etika Demokrasi Gus Dur”. Apalagi, sejumlah pelanggaran etika terjadi menjelang pemilu.
November 2023, misalnya, Majelis Kehormatan (MK) menyatakan, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Hal itu terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/223 soal syarat usia capres dan cawapres (Kompas.id, 7/11/2023).
Putusan itu membolehkan warga di bawah 40 tahun maju sebagai capres atau cawapres dengan catatan pernah atau masih menduduki jabatan dari pemilu sebelumnya. Putusan ini membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, menjadi cawapres.
Anita Wahid, putri ketiga Gus Dur, mengatakan, etika ialah pedoman bagi seseorang untuk menyadari baik atau buruk tindakannya serta benar atau salah. ”Etika itu bertanya kepada diri sendiri, apakah langkah ini untuk kemaslahatan atau bukan?” ucapnya dalam orasi kebangsaan.
Adapun demokrasi, lanjutnya, merupakan sistem pemerintahan yang memungkinkan setiap orang setara, terlepas dari agama, suku, hingga jabatannya. Namun, kata Anita, demokrasi tidak sebatas mewujud pada hak suara setiap warga dalam pemilu.
Demokrasi juga adalah perlindungan bagi kelompok rentan yang kerap dipandang sebagai minoritas. Dalam konteks etika demokrasi, demokrasi harus berjalan etis. Artinya, setiap pengambilan kebijakan harus mempertimbangkan baik dan buruknya serta benar dan salahnya.
”Kalau sekarang kita dipertontonkan dengan pemilu di mana ada berbagai macam pelanggaran etika, wajib kita keberatan,” ungkap aktivis antikorupsi ini.
Kondisi ini berbahaya bagi bangsa Indonesia. Sebab, tanpa etika, pemimpin tidak mampu mengerem tindakannya untuk berbuat buruk sehingga berujung pada intimidasi kelompok hingga korupsi.
”Kalau ada yang bilang etika ndasmu, itu enggak bisa (diterima),” ucapnya.
Baca juga: Gus Dur dan Tantangan Kebangsaan
Itu sebabnya, Pemilu 2024, katanya, membutuhkan sosok pemimpin yang menjunjung tinggi etika. ”Tanpa etika, demokrasi hanya akan dimanipulasi untuk kepentingan siapa pun yang memiliki sumber daya agar mengatur pikiran-pikiran orang lain,” ungkap Anita.
Ia berharap para kandidat meneladani ajaran Gus Dur tentang etika demokrasi. Makna demokrasi, semuanya dari rakyat, untuk rakyat, dan demi rakyat. Seluruh keputusan memihak pada rakyat dan sesuai konstitusi. Penegakan hukum juga tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
”Mari mengawal pemilu dengan terus mengedepankan etika dan menuntut etika dari para kandidat. Tidak cuma capres, cawapres, tetapi juga kandidat anggota legislatif. Kita menuntut etika dari penyelenggara dan pengawas pemilu serta penegak hukum,” ungkapnya.
Meski telah berlalu, haul Gus Dur menitipkan pesan agar para kandidat, penyelenggara pemilu, dan masyarakat menjaga etika demokrasi. Apalagi, pada Senin (5/2/2024) pelanggaran etika kembali terjadi. Kali ini, bahkan oleh ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menyatakan, ketua dan anggota KPU melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan MK mengenai syarat pencalonan presiden dan wapres. Mereka dinilai melaksanakan putusan MK tidak sesuai tata kelola administrasi tahapan pemilu.
Sepertinya, seruan pentingnya menjaga etika demokrasi seperti dalam haul Gus Dur di Cirebon itu masih perlu disuarakan. ”Tanpa etika, demokrasi kita akan semakin menurun. Tentu kita tidak mau hal itu terjadi,” ucap Anita.