logo Kompas.id
NusantaraPrihatin pada Kondisi...
Iklan

Prihatin pada Kondisi Demokrasi, UMS Serukan ”Maklumat Kebangsaan”

Nepotisme seperti dikembalikan lagi. Jadi, ini pengkhianatan pada reformasi.

Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
· 4 menit baca
Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Aidul Fitriciada Azhari (tengah) membacakan ”Maklumat Kebangsaan” dari perguruan tinggi tersebut, di kompleks UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Aidul Fitriciada Azhari (tengah) membacakan ”Maklumat Kebangsaan” dari perguruan tinggi tersebut, di kompleks UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).

SUKOHARJO, KOMPAS — Gelombang seruan moral mengenai kondisi demokrasi terkini dari para akademisi belum berhenti. Universitas Muhammadiyah menyikapinya dengan mengeluarkan ”Maklumat Kebangsaan” setelah merasakan keprihatinan yang sama jelang digelarnya Pemilu 2024. Aksi itu tidak didasari kepentingan elektoral, tetapi bertujuan mengingatkan kembali akan spirit reformasi.

”Maklumat Kebangsaan” itu dibacakan Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Aidul Fitriciada Azhari di Gedung Induk Siti Walidah, UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024). Hadir perwakilan anggota Senat Akademik UNS dan beberapa guru besar lainnya.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

”Ini tidak terkait kepentingan elektoral tertentu. Imbauan kami atau seruan moral kami semata-mata ditujukan untuk perbaikan demokrasi yang kami rasakan semakin merosot. Itu saja sebenarnya,” kata Aidul seusai membacakan maklumat tersebut.

Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi Kampus

Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Aidul Fitriciada Azhari diwawancarai awak media seusai membacakan ”Maklumat Kebangsaan” dari perguruan tinggi tersebut, di kompleks UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Aidul Fitriciada Azhari diwawancarai awak media seusai membacakan ”Maklumat Kebangsaan” dari perguruan tinggi tersebut, di kompleks UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).

Keprihatinan atas kondisi demokrasi, kata Aidul, dipicu sejumlah hal yang berkaitan dengan jalannya Pemilu 2024. Menurut dia, terjadi penyimpangan, penyelewengan, hingga peluruhan fondasi kebangsaan secara terang-terangan tanpa malu. Itu bisa dilihat dari penyalahgunaan pranata hukum melalui Mahkamah Konstitusi guna melanggengkan kekuasaan yang sifatnya nepotis dan oligarkis.

Apalagi, terdapat praktik politik yang tidak netral dari Presiden yang berpotensi memunculkan penyalahgunaan kekuasaan. Keadaan itu menunjukkan ancaman bagi masa depan demokrasi mengingat adab dan etika telah hilang dalam kehidupan berbangsa.

”Kami melihat, ini (nepotisme) seperti dikembalikan lagi. Jadi, ini pengkhianatan pada reformasi,” kata Aidul.

Para akademisi dan alumni yang tergabung dalam Forum Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyerukan Petisi Bumi Siliwangi di Depan Gedung Isola kampus UPI, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (5/2/2024).
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Para akademisi dan alumni yang tergabung dalam Forum Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyerukan Petisi Bumi Siliwangi di Depan Gedung Isola kampus UPI, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (5/2/2024).

Dengan demikian, seruan itu ingin mendudukkan kembali demokrasi pada jalan yang sebenarnya. Hendaknya demokrasi kembali ke tangan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat seharusnya mempunyai hak yang sama di negeri ini.

”Negara tidak lagi menjadi urusan keluarga, tetapi menjadi urusan bersama. Ini yang kami serukan. Jadi, sebenarnya ini tidak lain adalah mengembalikan pada cita-cita awal reformasi,” kata Aidul, yang juga Ketua Komisi Yudisial 2016-2018 itu.

Iklan

Kami melihat, ini (nepotisme) seperti dikembalikan lagi. Jadi, ini pengkhianatan pada reformasi.

Dalam maklumat tersebut, persoalan moral dan etika menjadi hal yang paling disoroti. Para elite politik diminta mengedepankan nilai moral kebangsaan dalam kontestasi nanti. Presiden juga didesak mengembalikan kehidupan demokrasi yang menjunjung adab dan etika. Bukan hanya bertujuan memperoleh kekuasaan, tetapi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof Koentjoro (tengah) membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof Koentjoro (tengah) membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).

Selanjutnya, pemimpin pemerintahan dan aparatur hukum hendaknya menegakkan supremasi hukum tanpa kepentingan politik apa pun. Penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) dan lembaga peradilan, utamanya Mahkamah Konstitusi, diharuskan menjaga profesionalitas, integritas, dan imparsialitasnya demi mewujudkan pemilu yang luber, jurdil, dan demokratis.

Sebagai kepala negara, menurut Aidul, Presiden pun diminta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan sesuai sumpah jabatannya. Oleh karenanya, praktik politik yang tidak netral harus dihentikan.

Lebih lanjut, masyarakat harus menjadi pemilih yang merdeka dan berdaulat sesuai prinsip kebenaran dan keutamaannya serta saling menghormati pilihan satu sama lain. Ia meminta warga juga sebisa mungkin menghindari politik uang. Terlebih jika ada pihak yang menggunakan uang negara guna kepentingan elektoral dalam wujud bantuan sosial.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof Koentjoro (tengah) membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof Koentjoro (tengah) membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).

”Soal ini (maklumat) diterima atau direspons dengan buruk, saya kira itu kembali pada nurani dari pemerintah, dalam hal ini para pejabat Istana. Yang saya yakin, banyak dari mereka dibesarkan dari dunia perguruan tinggi,” kata Aidul.

Pemerintah semestinya merespons berbagai seruan kampus itu sebagai respons moral para akademisi. Bukan sebaliknya, menuding tindakan para intelektual selaku aksi politik. Pihaknya mengingatkan akan risiko ekspresi muak rakyat pada pemerintahan jika berbagai seruan moral itu justru tidak digubris.

”Yang kita khawatirkan kalau katup ini sudah tertutup terus, bukan tidak mungkin, hal-hal yang kita tidak inginkan itu terjadi. Sebab, karakter masyarakat Indonesia ini lain. Dia tidak ekspresif menyampaikan sesuatu itu secara langsung. Dia cenderung menunda,” kata Aidul.

Baca juga: Guru Besar Serukan Selamatkan Demokrasi agar Pemilu Adil

Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sofyan Anif (tengah) memberikan sambutan sebelum pembacaan ”Maklumat Kebangsaan” dari perguruan tinggi tersebut, di kompleks UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sofyan Anif (tengah) memberikan sambutan sebelum pembacaan ”Maklumat Kebangsaan” dari perguruan tinggi tersebut, di kompleks UMS, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2/2024).

Rektor UMS Sofyan Anif mengungkapkan, seruan moral itu dikeluarkan sebagai bentuk pertanggungjawaban para akademisi bagi masyarakat luas. Pihaknya kembali menegaskan bahwa gerakan itu tidak memuat kepentingan politik praktis. Itu semua semata-mata ajakan dari kampus kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu supaya mengadakan pemilihan yang berbasis pada nilai etika dan moral demokrasi yang luhur.

Sofyan menginginkan pemilu berjalan secara jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, serta bermartabat. Sebab, pelaksanaan pemilu nanti bakal disaksikan oleh masyarakat dari seluruh dunia.

”Kalau dalam pelaksanaan demokrasi kita tidak mencerminkan keadilan, tidak menjunjung tinggi nilai etika, dan nilai moral, ini akan menjadi salah satu masalah besar bagi bangsa ini,” kata Sofyan.

Editor:
NELI TRIANA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000