Meski UMR Sidoarjo relatif tinggi karena berada di sentra industri di Jatim, banyak pekerja jauh dari sejahtera.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
Kondisi pekerja atau buruh di Sidoarjo sangat beragam. Ada yang mapan, tetapi ada pula yang kehidupannya pas-pasan. Meski upah minimum kabupaten atau UMK tinggi karena berada di sentra industri Jawa Timur, faktanya taraf ekonomi pekerja masih jauh dari sejahtera.
Salah satunya Beni (28), warga Desa Kloposepuluh yang bekerja sebagai karyawan di pabrik plastik. Setelah sempat menganggur selama sekitar 2 tahun selepas menamatkan pendidikan di sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan mesin, dia akhirnya diterima kerja di pabrik tersebut pada akhir tahun 2020. Namun, meskipun telah bekerja hampir empat tahun, statusnya masih karyawan tidak tetap.
Gajinya juga sangat rendah, yakni Rp 1,5 juta per bulan, jauh dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sidoarjo Rp 4.638.582 per bulan per pekerja. Upah itu membuat hidup Beni sangat sederhana karena standar biaya hidup yang tinggi di Sidoarjo.
”Untuk bayar kamar indekos sudah Rp 500.000 per bulan. Sisanya untuk makan, ongkos transpor, beli pulsa, serta kebutuhan personal rutin, seperti sabun mandi, sampo, dan lainnya,” ujar Beni, Minggu (28/1/2024).
Alih-alih menabung, Beni justru kerap meminta tambahan uang dari orangtuanya, Suwarni (45), yang juga bekerja sebagai buruh cuci pakaian di perumahan. Padahal, penghasilan Suwarni, yang hanya Rp 1 juta per bulan, juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sehari-hari.
Suwarni dulu bekerja di pabrik furniture impor dengan gaji di atas UMK. Namun, perusahaan tersebut terbakar hebat hingga tinggal puing-puing. Suwarni pun loncat ke perusahaan lain demi menyelamatkan periuk nasi keluarganya. Dia kerap berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang memerlukan tenaganya.
Namun, lima tahun belakangan ini, Suwarni kerap ditolak saat melamar kerja di pabrik dengan alasan usianya tak memenuhi syarat. Pabrik hanya menerima karyawan yang usianya masih muda atau kurang dari 30 tahun. tanpa keahlian yang memadai, Suwarni akhirnya bekerja serabutan asalkan bisa dapat uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Suwarni berasal dari keluarga petani di lereng Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur. Setelah tamat sekolah menengah atas (SMA), dia mengadu nasib ke Sidoarjo dan melamar di pabrik furnitur. Di kabupaten yang menjadi sentra industri Jatim inilah dia bertemu suaminya, Juwarto (45), yang saat itu bekerja di pabrik keramik.
Namun, nasib mereka kurang mujur. Saat Suwarni di PHK, suaminya justru tersangkut kasus narkoba. Dia kedapatan mengonsumsi obat terlarang dengan alasan agar tidak mengantuk saat giliran kerja malam. Akibatnya, Juwarto dikeluarkan dari tempat kerjanya dan menjalani rehabilitasi untuk keluar dari kecanduan obat-obatan.
”Saat itu, saya takut dikeluarkan dari pabrik kalau ketahuan tertidur saat jaga malam. Saya ikut saran teman-teman akhirnya jadi kecanduan,” ucap Juwarto yang kini jadi pekerja kontrak dengan gaji jauh di bawah upah minimum.
Cerita kesuksesan kaum urban tak dialami oleh keluarga Suwarni. Sebaliknya, mereka justru terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan sebagai keluarga buruh secara turun-temurun. Kehidupan mereka masih jauh dari sejahtera.
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Jatim Jazuli mengakui, banyak pekerja yang belum mendapatkan upah sesuai standar hidup layak. Oleh karena itulah, serikat pekerja senantiasa memperjuangkan nilai upah yang layak setiap tahunnya melalui usulan kenaikan upah.
Upah minimum provinsi (UMP) dan UMK 38 kabupaten dan kota di Jatim saat ini, menurut dia, belum mampu memberikan kesejahteraan bagi pekerja. Rata-rata kenaikan upah minimum di Jatim tahun 2024 hanya 2,6 persen-3 persen.
Mereka justru terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan sebagai keluarga buruh secara turun-temurun.
Jazuli menilai, kenaikan upah itu terlalu rendah karena tak mampu mengimbangi laju inflasi harga bahan kebutuhan pokok dan pertumbuhan ekonomi regional. Dengan upah tersebut, pekerja kesulitan memenuhi kebutuhan hariannya karena kenaikan harga bahan pokok yang melaju lebih tinggi.
”Dengan kondisi seperti ini, buruh justru harus mengeluarkan tabungannya untuk menambah penghasilan mereka agar mampu mengejar kenaikan harga bahan kebutuhan pokok,” ujar Jazuli di berbagai kesempatan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Sidoarjo Ainun Amalia mengatakan, pihaknya telah menyosialisasikan UMK Sidoarjo 2024 kepada semua pelaku usaha dan pekerja. Sejauh ini belum ada pelaku usaha yang mengajukan keberatan atau mengajukan surat permohonan penangguhan pembayaran upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pada saat bersamaan, pihaknya juga belum menerima laporan dari pekerja atau serikat pekerja terkait dengan adanya perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan pembayaran upah minimum tahun 2024. Situasi ketenagakerjaan di Sidoarjo cukup kondusif.
Meski demikian, Ainun mengakui, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, setiap tahun ada perusahaan yang belum menerapkan kebijakan terkait upah minimum. Namun, biasanya persoalan itu akan diselesaikan melalui kesepakatan bersama antara perusahaan dan karyawan.
”Rata-rata hubungan antara pengusaha dan pekerja di Sidoarjo ini sudah harmonis sehingga ketika terjadi perselisihan, termasuk terkait upah, bisa diselesaikan melalui kesepakatan bersama. Baru, ketika tidak ada kesepahaman, mereka melapor ke dinas tenaga kerja,” kata Ainun, Rabu (31/1/2024).