Tantangan Berat Para Penjaga Hutan
Polisi kehutanan sebagai garda terdepan penjaga hutan dihadapkan pada berbagai persoalan kejahatan kehutanan.
Kebakaran hutan bukan satu-satunya ancaman yang menghancurkan hutan Nusantara. Setelah api mereda, polisi kehutanan sebagai garda terdepan penjaga hutan dihadapkan pada berbagai persoalan kejahatan kehutanan yang semakin kompleks.
Ratusan personel Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) yang mengenakan seragam biru berbaris di lapangan dekat Plang Ijo atau pintu masuk menuju Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Lampung, Kamis (18/1/2024). Hari itu, anggota polisi hutan yang telah dibekali keterampilan khusus itu mengikuti apel puncak Hari Ulang Tahun Ke-18 SPORC.
Sejumlah personel kemudian melakukan simulasi pengamanan hutan dengan memperlihatkan dua gajah jinak dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Simulasi menggambarkan bagaimana para polisi hutan mengintai dan menyergap para pelaku kejahatan kehutanan.
Mereka membagi diri menjadi beberapa tim, kemudian mengendap-mengendap masuk ke dalam hutan dan mendekati gubuk yang diduga menjadi markas para pelaku kejahatan kehutanan.
Operasi penyergapan pun dimulai. Seorang anggota SPORC yang membawa senjata laras panjang mendobrak pintu gubuk. Beberapa personel lain dengan sigap masuk ke dalam gubuk dan menangkap dua pelaku yang tidak sempat melawan. Beberapa gading gajah disita sebagai barang bukti.
Sementara tim lain yang memantau sekitar lokasi mengejar seorang pelaku yang berusaha kabur. Dengan bantuan gajah jinak, para petugas berpatroli dan mengejar pelaku yang lari ke dalam hutan.
Pelaku sempat melawan petugas, tapi akhirnya dapat dilumpuhkan oleh personel SPORC yang juga punya keahlian bela diri. Setelah pelaku menyerah, gajah patroli membantu petugas mengevakuasi pelaku ke luar hutan untuk diamankan.
Simulasi itu menjadi gambaran bagaimana para polisi kehutanan menjaga dan mengamankan hutan Nusantara. Menerjang jalan yang terjal dan curam menjadi makanan sehari-hari petugas hutan saat berpatroli. Di dalam hutan, situasi bahaya bisa saja tiba-tiba terjadi, seperti bertemu dengan satwa liar atau pelaku kejahatan hutan yang juga membawa senjata tajam atau senjata api.
Tak hanya itu, saat ini modus yang digunakan para pelaku juga semakin beragam. Penjagaan hutan tidak cukup dilakukan dengan patroli di dalam hutan, tapi juga mengendus bisnis ilegal para pemburu satwa liar atau pembalak hutan. Untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan kehutanan, penyidikan kasus juga diperluas agar dapat mengusut tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku.
Edi Sopian (45), personel SPORC yang bertugas di Seksi Wilayah III Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera SPORC Siamang, mengungkapkan, saat ini tantangan yang dihadapi polisi kehutanan dalam menjaga hutan semakin berat. Kejahatan hutan, seperti pembalakan kayu, dilakukan secara terorganisasi.
Baca juga: Tantangan menjaga Hutan Kian Kompleks, Kapasitas SPORC Perlu Ditingkatkan
Bos alias cukong biasanya bekerja dengan membayar beberapa orang sebagai eksekutor. Mereka biasanya adalah petani kecil yang dibayar untuk menebang pohon di suatu tempat tanpa mengetahui wilayah itu masuk dalam kawasan hutan.
”Mereka juga biasanya bekerja dengan pola jaringan terputus sehingga para eksekutor tidak mengenal siapa bos mereka,” kata Edi yang sudah menjadi anggota SPORC selama 18 tahun.
Menurut dia, anggota SPORC yang juga bertugas menyidik kasus harus jeli dan sabar saat menyelidiki kasus tersebut. Untuk bisa mengungkap pelaku utama pembalakan kayu, petugas juga melakukan investigasi. Salah satunya dengan berpura-pura ingin membeli kayu ilegal untuk bisa menyelidiki rantai perdagangan kayu tersebut.
Dalam kasus lain, ia juga pernah menangani kasus perburuan dan perdagangan satwa liar, khususnya burung liar, yang saat ini marak di akukan di media sosial. Oleh sebab itu, selain kemampuan fisik dan mental, seorang anggota SPORC juga harus memiliki kemampuan intelijen dan teknologi.
Sebelum bertugas sebagai anggota SPORC, Edi menjalani pelatihan khusus selama sekitar dua bulan. Selain bela diri, para anggota dilatih menggunakan senjata. Mereka juga ditempa menjadi pasukan khusus penjaga hutan.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani menuturkan, saat ini, pemanfaatan teknologi menjadi sangat penting seiring berkembangnya berbagai modus kejahatan hutan. Para polisi hutan dituntut untuk mampu mendeteksi titik panas lewat satelit, melacak aktivitas perdagangan satwa liar di media sosial, hingga melacak jaringan dengan menyelidiki berbagai transaksi mencurigakan.
Untuk memperkuat pengamanan hutan, KLHK juga mempunyai sekitar 7.000 personel polisi kehutanan, baik yang bertugas di KLHK maupun di tingkat provinsi. Sampai saat ini, jumlah kasus kejahatan kehutanan yang telah ditindak mencapai 1.467 kasus dengan ribuan tersangka.
KLHK juga berkomitmen memperkuat penegakan hukum bagi para pelaku kejahatan hutan. Salah satunya dengan meningkatkan kerja sama antar-institusi penegak hukum atau multidoor dalam penegakan hukum lingkungan.
Saat ini, langkah yang telah dilakukan adalah mengusut tindak pidana pencucian uang yang dilakukan para pelaku kejahatan kehutanan. Pihaknya juga membangun komunikasi dan jaringan dengan polisi di luar negeri untuk pelacakan kasus. Langkah ini diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para pelaku dan mencegah terjadinya berbagai kasus kejahatan lingkungan.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, KLHK merekrut kembali para anggota SPORC. Ini penting karena jumlah personel SPORC menyusut, dari jumlah awal 900 personel menjadi hanya 476 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.
KLHK juga menyiapkan pusat pelatihan di lahan seluas 200 hektar di Sentul, Jawa Barat. Fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas para personel SPORC.
Alue menyatakan, para personel SPORC harus menguasai teritorial di wilayah kerjanya. Selain itu, mereka harus memahami karakter wilayah dan tipologi kejahatan kehutanan yang marak terjadi. Para anggota juga harus mengetahui kondisi dan dinamika hutan, mampu mengidentifikasi potensi masalah, serta menemukan strategi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah kehutanan dan lingkungan.
Dari tahun 2019 sampai saat ini, SPORC mengklaim telah melakukan operasi tidak pidana kejahatan kehutanan sebanyak 1.152 kali. Penindakan itu mampu menjaga kawasan hutan seluas 14 juta hektar, mengamankan 939.275 meter kubik kayu, dan menyelamatkan 22.011 satwa liar.
Alue menambahkan, pendidikan dan kesadaran masyarakat menjadi kunci untuk membangun kepedulian dalam pelestarian hutan. Oleh karena itu, koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah pusat dan daerah, akademisi, lembaga masyarakat, dan warga di sekitar kawasan hutan, sangat dibutuhkan. ”Kita harus bersama-sama menjaga kawasan hutan agar lestari, bebas dari pembalakan liar, dan terhindar dari ancaman perubahan iklim,” katanya.
Baca juga: Tantangan Menjaga Hutan Adat di Kampung Aib