Tiap Tahun Banjir, Kerusakan Hutan Kalteng Jadi Pemicu
Banjir di Kalimantan Tengah datang hampir setiap tahun dan semakin parah. Kerusakan hutan dinilai jadi penyebab.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
BUNTOK, KOMPAS — Kerusakan daerah aliran sungai dinilai jadi penyebab banjir yang setiap tahun terjadi di Kalimantan Tengah. Tutupan hutan hilang dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambangan membuat daya dukung alam menurun. Banjir yang datang setiap tahun dinilai kian parah.
Arianto (36), warga Desa Pararapak yang rumahnya terendam banjir sejak seminggu belakangan, mengakui banjir kali ini parah. Sampai-sampai Jalan Trans-Kalimantan yang menghubungkan tiga provinsi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, putus tak bisa dilewati. Salah satu ruas jalan terkikis banjir sehingga ketika dilalui kedalamannya mencapai 1,5 meter.
Dari rumah Arianto, titik yang tenggelam itu berjarak sekitar 20 kilometer, atau 189 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng. ”Banjir kali ini memang lebih parah dari tahun lalu, atau tahun sebelumnya. Biasanya tidak pernah sampai lantai rumah,” kata Arianto, Jumat (26/1/2024).
Menurut Arianto, banjir terjadi karena banyak pertambangan ilegal di sekitar anak-anak sungai Barito. Anak-anak sungai terlihat rusak. Pasir-pasir putih yang harusnya ada di dasar sungai naik ke atas.
Lain lagi menurut Yurlina (56), warga Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan, Barito Selatan. Menurut dia, banjir yang setiap tahun datang karena hutan hilang.
”Waktu saya masih kecil, sungai tak selebar sekarang. Saya bersama teman-teman lompat dari pohon-pohon berenang di sungai. Pohonnya banyak. Sekarang mana bisa,” kata ibu yang punya lima anak itu.
Sejak 15 tahun lalu banyak hutan di sekitar desanya berubah jadi perkebunan sawit. Setidaknya di sekitar Sungai Kalahien, anak sungai Sungai Barito, terdapat dua sampai tiga perkebunan sawit.
Sayangnya sampai saat ini belum ada kebijakan serius untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana banjir.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Bayu Herinata menjelaskan, banjir di Kalteng terjadi pada waktu yang relatif sama setiap tahun. Lokasi dan wilayahnya pun serupa.
”Sayangnya sampai saat ini belum ada kebijakan serius untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana banjir. Hal ini bisa dilihat dari kajian yang kami buat di mana lokasi banjir saat ini merupakan wilayah yang mengalami kerusakan lingkungan,” kata Bayu.
Bayu mengambil contoh Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya yang merupakan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Sungai Barito membentang sepanjang 909 kilometer yang membelah dua provinsi, yaitu Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Di DAS Barito, kerusakan lahan terjadi lantaran hilangnya tutupan hutan dan dikonversi menjadi lahan perkebunan seluas 121.555 hektar, pertambangan seluas 23.045 hektar, dan hutan tanaman industri seluas 53.834 hektar.
”Konversi hutan itu menjadi salah satu faktor bencana banjir terjadi, nah ini tidak boleh dilupakan,” kata Bayu.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Provinsi Kalteng Ahmad Toyib sebelumnya menjelaskan banyak faktor memengaruhi banjir di Kalteng yang terjadi hampir setiap tahun. Selain karena lingkungan, menurut dia, faktor yang juga berpengaruh adalah curah hujan yang tinggi.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Provinsi Kalteng, pada Jumat siang banjir merendam di lima kabupaten, yakni Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Kapuas, dan Kotawaringin Barat.
Banjir menyebar di 193 desa di 26 kecamatan. Bencana itu berdampak bagi 217.988 orang atau 67.149 keluarga. Banjir juga merendam 81 bangunan kesehatan, 271 tempat ibadah, 262 bangunan pendidikan, 195 gedung milik pemerintah, 520 titik akses jalan, dan 43.414 rumah warga. ”Kita semua berharap banjir tidak berulang-ulang dan cepat surut,” ujarnya.