Menjemput Ikan dari Sarangnya di Perairan Desa Lewotobi
Penanaman karang di perairan Desa Lewotobi membuahkan hasil. Ikan mudah didapatkan langsung dari sarangnya.
Efren Tumu (24) keluar dari dalam air sambil menenteng enam ikan karang jenis kakap dan kerapu. Ikan-ikan itu dijemput dari rumahnya di pesisir Desa Lewotobi, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Ikan-ikan itu tinggal di antara terumbu karang pada kedalaman hingga 15 meter. Dengan bantuan cahaya senter, ia menyelam lalu memanah satu per satu ikan yang masih tertidur di sekitar karang. Untuk memanah seekor ikan, ia butuh waktu menyelam paling lama 2 menit.
”Kebetulan arus air laut tidak terlalu kencang. Di bawah banyak ikan, tinggal saya pilih mana yang perlu diambil. Jadi bukan lagi mencari ikan, melainkan seperti mengambil ikan dari sarangnya,” kata Efren, awal Januari 2024.
Sejak usia 14 tahun, ia sudah sering memanah ikan di dasar laut. Alatnya menggunakan senapan tradisional dan sebatang anak panah.
Setiap hari, ketika air laut teduh, Efren dan belasan pemuda di desa itu memanah ikan karang. Hasilnya, satu orang bisa mendapat hingga belasan ekor. Mereka menjualnya ke masyarakat di desa itu dan desa-desa tetangga dengan harga Rp 25.000 per kilogram.
Yang kontrol masyarakat karena hasil tangkapan dibawa lewat tengah kampung.
Penjualan ikan karang kini menjadi mata pencarian sebagian anak muda. Agar populasi ikan tidak menurun, waktu perburuan dibatasi dan ukuran ikan yang dipanah pun tidak boleh kurang dari 15 sentimeter panjangnya. Ikan kecil tidak boleh dipanah. ”Yang kontrol masyarakat karena hasil tangkapan dibawa lewat tengah kampung,” ujar Efren.
Baca juga: Hujan Abu Dahulu, Hujan Uang Kemudian
Populasi ikan masih relatif stabil sejak belasan tahun silam. Perkembangan populasi itu seiring dengan perbaikan ekosistem laut lewat program penanaman karang yang dilakukan selama 8 tahun terakhir.
Peraturan desa
Dulu perairan di depan pesisir Desa Lewotobi menjadi surga bagi pelaku pengeboman ikan. Hampir setiap hari terdengar ledakan besar yang merusak ekosistem bawah laut. Jejak kerusakan itu masih ada hingga saat ini seperti bongkahan karang yang hancur. ”Banyak populasi ikan hilang,” kata Tarsius Buto Muda, Kepala Desa Lewotobi.
Melihat kondisi itu, pemerintah desa bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menanam karang. Total 35 media tanam. Dari jumlah itu, 25 media berukuran 1 meter persegi dan 10 media berukuran 3 meter persegi.
Untuk menjaga kelestarian biota laut dan pesisir, pada 2017 terbitlah Peraturan Desa Lewotobi Nomor 9 tentang Perlindungan Pesisir dan Laut Desa Lewotobi. Lewotobi menjadi desa pertama di Flores Timur yang memiliki perdes tersebut. Kini masih menjadi satu-satunya.
Padahal Flores Timur merupakan kabupaten kepulauan. Wilayahnya terdiri atas Pulau Flores, Pulau Solor, dan Pulau Adonara. Dari sekitar 6.000 kilometer persegi luas wilayah, sebagian besarnya yakni 4.200 kilometer persegi berupa laut. Dari total 250 desa/kelurahan, kebanyakan berada di pesisir pantai.
Peraturan Desa Lewotobi mengatur tentang pelindungan ekosistem pesisir mulai dari larangan bom, penggunaan racun, dan penggunaan jaringan di sekitar terumbu karang. Selain itu masyarakat dilarang menambang pasir dan batu di pesisir karena bakal memperparah kerusakan akibat abrasi.
Masyarakat juga dilarang menangkap biota laut dilindungi seperti penyu yang sering bertelur di pesisir desa itu. Beberapa waktu lalu, warga menemukan seekor penyu ditangkap dan hendak dijual. Penyu dalam kondisi terbelit tali lalu disimpan dekat pesisir. Pelaku hingga kini masih diselidiki pihak desa.
Dengan keterbatasan fasilitas, pemerintah desa membuat tempat penetasan penyu yang dikelilingi pagar kaktus agar aman dari predator seperti anjing. Masyarakat yang menemukan telur penyu diminta membawanya ke tempat itu. Selama tujuh tahun terakhir, mereka melepasliarkan sekitar 1.000 ekor tukik setiap tahun.
Baca juga: Waktu Terjeda di Kaki Gunung Lewotobi
Kanisius Laranwutun, koordinator pengawasan pesisir, menuturkan kesadaran masyarakat untuk menjaga pesisir semakin tinggi. Para nelayan mengawasi penangkapan di laut. Jika ada nelayan dari luar desa yang datang ke perairan itu, langsung diingatkan. Mereka juga tak segan-segan menyeret pelaku ke pihak berwajib. ”Pernah ada seorang oknum aparat keamanan yang terlibat. Kami proses,” ujarnya.
Minta diaudit
Tingginya partisipasi masyarakat mendukung program pemerintah desa untuk menjaga pesisir itu tidak lepas dari kepercayaan masyarakat kepada pemerintah desa. Kepercayaan didapat lantaran pemerintah desa terbuka dalam hal pengelolaan keuangan desa yang salah satunya bersumber dari dana desa. Saat ini, dana desa untuk Desa Lewotobi sebesar Rp 700 juta.
Nikolaus Nara, Sekretaris Desa Lewotobi, menuturkan sebelum adanya tren pemasangan baliho yang memuat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di desa-desa, Desa Lewotobi sudah memulainya. Dokumen APBDes dicetak dalam bentuk kertas lalu dibagi ke semua rumah. Tujuannya agar masyarakat ikut mengawasi.
Dalam proses evaluasi, Pemerintah Desa Lewotobi juga terbuka dengan pihak luar yang ingin menilai pengelolaan dana desa. Ketika peringatan Hari Antikorupsi tahun 2018, mereka mengundang Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk datang ke sana.
”Waktu itu perwakilan dari ICW datang sedangkan KPK mengirim poster dan stiker tentang pesan pemberantasan korupsi. Kami sangat senang karena mereka bisa melihat pengelolaan keuangan di desa kami. Perwakilan dari ICW mengapresiasi,” kata Nara.
Tak berhenti di situ, Pemerintah Desa Lewotobi pada 2022 lalu menyurati Inspektorat Kabupaten Flores Timur agar melakukan audit terhadap pengelolaan keuangan di desa mereka. Namun hingga kini belum terlaksana. ”Kami minta untuk diaudit. Apa saja masukan bagi kami agar pengelolaan keuangan kami semakin baik,” ucapnya.
Baca juga: Menjemput Pagi di Pantai Lewotobi
Lebih lanjut Tarsius menambahkan, pemerintah desa berkomitmen untuk terus menjaga pesisir. Ke depan, anggaran dana desa sudah dapat digunakan dalam program pelestarian pesisir. Target besar mereka adalah menjadikan desa berpenduduk 1.328 jiwa itu sebagai destinasi pariwisata bahari.
Di antara hamparan karang, wisatawan dapat melihat kekayaan biota laut dan boleh mengambil sendiri. Wisatawan menikmati betapa mudahnya mengambil ikan langsung dari sarangnya.