Musim Tanam Terlambat, Harga Beras di Cirebon Diprediksi Masih Naik
Harga beras di Cirebon, Jawa Barat, diprediksi masih akan naik seiring terlambatnya musim tanam padi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Harga beras medium di Cirebon, Jawa Barat, saat ini berkisar Rp 13.000 per kilogram atau jauh di atas harga eceran tertinggi. Angka ini diprediksi masih akan naik seiring terlambatnya musim tanam padi. Rencana pemerintah mengimpor beras diharapkan tidak berdampak pada petani.
Jumair (48), pemilik penggilingan padi di Cirebon, mengatakan, harga beras medium di tingkat penggilingan berkisar Rp 13.000-Rp 13.200 per kilogram. Jumlah itu masih bisa meningkat di tingkat konsumen. Angkanya jauh melebihi harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 10.900-Rp 11.800 per kg sesuai zonasi.
”Bahkan, di tingkat petani, harga gabahnya masih di atas Rp 9.000 per kg. Ini tinggi,” ujarnya, Senin (22/1/2024), di Cirebon. Padahal, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen di tingkat petani hanya Rp 5.000 per kg. Kenaikan harga gabah terjadi sejak tahun lalu.
Bulan September 2023, misalnya, harga gabah di tingkat petani berkisar Rp 7.000-Rp 7.300 per kg. Lonjakan harga semakin terasa, menurut Jumair, akhir tahun lalu hingga kini. Salah satu pemicu kenaikan harga gabah dan beras adalah penurunan produksi akibat fenomena El Nino.
Kondisi kekeringan ini juga berdampak pada terlambatnya masa tanam padi di Cirebon. Biasanya, petani sudah mulai menanam bulan Desember. ”Namun, sekarang agak mundur. Ada keterlambatan tanam karena menunggu hujan. Sampai dengan hari ini, hujannya masih agak jarang,” ungkapnya.
Petani di wilayah Arjawinangun dan Gegesik, katanya, baru mulai menanam padi bulan Januari dengan usia tanam sekitar sepekan. Itu pun di daerah yang dekat dengan irigasi. Dengan demikian, masa panen dipastikan mundur dari biasanya bulan Maret dan April menjadi akhir April dan Mei.
Selain menunggu pasokan air dari Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, dan musim hujan, serangan hama tikus juga memicu keterlambatan tanam petani. ”Petani harus susah payah mencari benih tambahan untuk menutupi (benih) yang kena tikus itu. Cari benihnya sampai (Kabupaten) Indramayu,” ujarnya.
Berbagai kondisi itu dapat memicu kenaikan harga beras meskipun pemerintah telah menggelontorkan beras impor untuk stabilisasi harga. Apalagi, masa panen raya masih berkisar empat bulan lagi. ”Memang, masih ada perkiraan harga (gabah dan beras) naik,” kata Jumair.
Namun, ia menilai, El Nino yang memicu kekeringan bukan satu-satunya penyebab kenaikan harga beras. Hal terpenting menurut dia adalah kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Saat ini, misalnya, petani masih mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk subsidi sesuai kebutuhan lahan.
Jumair juga menyinggung persoalan sarana pendukung pertanian, seperti alat dan mesin pertanian, hingga birokrasi pembelian solar. ”Harga gabah yang bagus memang memotivasi petani untuk menanam. Namun, masalah pupuk dan solar ini juga berpengaruh pada semangat petani,” ujarnya.
Di sisi lain, Jumair mengingatkan pemerintah agar impor 2,8 juta ton beras untuk menstabilkan harga komoditas itu tidak berdampak pada petani. ”Harapannya impor tidak datang saat panen raya. Jangan sampai kita panen gede, tetapi pemerintah menggelontorkan impornya. Itu yang ditakutkan,” ungkapnya.
Kenaikan harga beras tidak hanya terjadi di Cirebon, tetapi juga daerah lain. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik Pudji Ismartini mengatakan, pada pekan ketiga Januari 2024, harga rata-rata beras medium naik 0,28 persen secara mingguan. Padahal, pada pekan pertama Januari 2024, harganya telah turun 0,38 persen secara mingguan.
”Kabupaten dan kota yang mengalami kenaikan harga beras hingga pekan ketiga Januari 2024 bertambah menjadi 247 daerah. Sebelumnya, pada pekan pertama dan kedua Januari 2024, jumlahnya masing-masing baru 104 daerah dan 116 daerah,” ujar Pudji (Kompas.id, 22/1/2024).