logo Kompas.id
NusantaraMasyarakat Pesisir dan Pulau...
Iklan

Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil Dinilai Belum Jadi Perhatian Para Capres

Kebijakan pangan nasional dinilai masih berfokus pada daratan sehingga melupakan potensi sektor kelautan dan perikanan.

Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
· 4 menit baca
Nelayan membawa tuna sirip kuning hasil tangkapan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Nelayan membawa tuna sirip kuning hasil tangkapan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).

AMBON, KOMPAS — Permasalahan pangan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dinilai belum mendapatkan tempat dalam tawaran kebijakan para calon presiden dan calon wakil presiden. Dua masalah itu diharapkan menjadi bahasan dalam debat calon wakil presiden minggu ini dengan tema lingkungan dan agraria.

Anggota FoodFirst Information and Action Network Indonesia (FIAN), Laksmi Savitri, menjelaskan, masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bergantung pada sumber daya perairan sebagai sumber kehidupan. Namun, kerusakan wilayah perairan akibat pencemaran membuat masyarakat terdampak.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Praktik eksploitasi perikanan yang masif, salah satunya di wilayah Kepulauan Maluku dan Papua, juga membuat akses warga terhadap pangan semakin menyempit. Krisis pangan pun menjadi masalah klasik di wilayah kepulauan di Indonesia timur.

Oleh karena itu, para capres-cawapres diminta membenahi masalah ini. Namun, visi-misi yang minim wawasan maritim membuat masalah yang dihadapi masyarakat pulau kecil tidak menjadi fokus dalam program capres-cawapres. Kebijakan yang ditawarkan justru berpotensi meningkatkan eksploitasi di sektor kelautan.

Tiga pasangan capres-cawapres, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berfoto bersama dengan jaket komitmen antikorupsi dalam acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Juang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan capres-cawapres, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berfoto bersama dengan jaket komitmen antikorupsi dalam acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Juang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/1/2024).

”Masyarakat di pulau-pulau kecil hidup dengan integrasi darat-laut. Jika salah satunya rusak, akan terjadi masalah, salah satunya pangan. Masalah ini dimulai sejak puluhan tahun lalu, bukan karena masalah iklim yang muncul belakangan ini,” ucap Laksmi dalam diskusi daring, Kamis (18/1/2024).

Salah satu kebijakan yang ditawarkan oleh beberapa pasangan calon adalah menjadikan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. Program itu diharapkan mendorong sektor perikanan di Indonesia timur dan memberikan kesejahteraan dengan adanya hilirisasi produk laut.

Baca juga: Anies Kritik Pemerintah Belum Hadirkan Kesejahteraan di Wilayah Kepulauan

Namun, Laksmi menilai, program itu malah akan merusak wilayah laut Maluku karena mendorong produktivitas perikanan di tengah wilayah laut yang sudah tereksploitasi.

Berdasarkan Liputan Jelajah Laut Maluku Papua yang dilakukan Tim Kompas pada akhir 2023 lalu, eksploitasi perikanan nyata terlihat di wilayah Laut Banda, Laut Seram, hingga Laut Arafuru di Maluku.

Nelayan menuangkan puri atau teri ke dalam ember sepulang mencari ikan di perairan Desa Selayar, Kecamatan Manyeuw, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, Minggu (17/9/2023) pagi.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Nelayan menuangkan puri atau teri ke dalam ember sepulang mencari ikan di perairan Desa Selayar, Kecamatan Manyeuw, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, Minggu (17/9/2023) pagi.

Laksmi menilai, program Lumbung Ikan Nasional akan semakin menekan keberlangsungan ekosistem perikanan di Maluku. Ia juga mengkritik program penangkapan ikan terukur yang bertujuan menerapkan penangkapan berbasis kuota dan zonasi penangkapan ikan.

Menurut Laksmi, sistem ini akan meminggirkan nelayan tradisional dalam persaingan mendapatkan kuota ikan. Hal ini karena mereka harus bersaing dengan korporasi yang memiliki alat tangkap lebih baik dan besar.

Iklan

Baca juga: Kembangkan Ekonomi Kreatif, Gibran Sebut Ambon Bisa Mencontoh Surakarta

Pengajar antropologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini menjelaskan, sebelum berbicara mengenai peningkatan perekonomian, kebijakan pengelolaan perikanan perlu didasarkan pada pemenuhan hak masyarakat. Selama ini, kebijakan pangan nasional dipandang sebagai tujuan ekonomi semata dan melupakan aspek hak pengelolaan mandiri masyarakat.

”Pengelolaan wilayah laut harus mengakui pengelolaan tradisional warga. Kebijakan kini hanya fokus pada skala nasional, tetapi melupakan bahwa perairan itu harusnya hadir untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan pangan warga di pulau kecil,” ucapnya.

Nelayan menurunkan keranjang berisi ikan dari perahu motor di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Nelayan menurunkan keranjang berisi ikan dari perahu motor di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).

Hingga saat ini, pengelolaan perikanan di Maluku dianggap belum memberikan dampak optimal bagi warga. Mengutip data Survei Status Gizi Indonesia 2022, tingkat stunting atau tengkes di Maluku masih tinggi.

Padahal, potensi protein hewani di wilayah ini sangat tinggi. Hal ini terlihat dari adanya tiga wilayah pengelola perikanan (WPP), yakni WPP 714, 715, dan 718. Tiga WPP ini menyumbang 30 persen produk perikanan nasional. Jika digabungkan dengan wilayah Maluku Utara, angkanya bisa lebih besar lagi.

Akan tetapi, di Maluku dan Maluku Utara, prevalensi tengkes masih tinggi, yakni 26,1 persen. Angka itu lebih tinggi dari angka nasional sebesar 21,6 persen. Untuk itu, kebijakan pengelolaan perikanan harus berbasis lokal agar menguntungkan masyarakat, baik dari sisi ekonomi maupun gizi.

Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud Kritik Kebijakan Perikanan Nasional Belum Pro-Masyarakat Kepulauan

Dalam kampanyenya di Ambon, Maluku, Senin (15/1/2024), capres nomor urut 1 Anies Baswedan menyatakan bakal mengeksekusi program Lumbung Ikan Nasional yang sempat tertunda sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Adapun Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Maluku Mercy Barends menyebut, capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo ingin memberlakukan penangkapan ikan terukur (PIT). Namun, kebijakan itu dinilai berbeda dengan PIT yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini.

Pekerja bersiap membawa ikan hasil setoran nelayan ke Koperasi Sangowo untuk dibawa ke Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Morotai.
KOMPAS/DANU KUSWORO

Pekerja bersiap membawa ikan hasil setoran nelayan ke Koperasi Sangowo untuk dibawa ke Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Morotai.

Direktur Yayasan Konservasi Laut Indonesia Nirwan Dessibali menilai, kebijakan pangan di Indonesia masih bias darat. Isu perikanan dan kelautan dalam konteks pangan pun tidak menjadi perhatian seluruh pasangan capres-cawapres.

Padahal, pemenuhan gizi dan ketahanan pangan masyarakat Indonesia juga memerlukan sumber daya laut. Selain itu, para pasangan calon juga minim berbicara mengenai konservasi laut.

Nirwan menyatakan, kebijakan mengenai kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau kecil berbeda dengan kebijakan di pulau besar. Daya dukung pulau kecil yang terbatas menuntut pemerintah perlu memberikan perhatian lebih.

Pengelolaan wilayah laut harus mengakui pengelolaan tradisional warga.

Masalah ini diharapkan menjadi salah satu fokus dalam debat cawapres pada Minggu (21/1/2024) tentang lingkungan, agraria, dan masyarakat adat mendatang.

”Kebijakan agraria pemerintah sering bias darat sehingga melupakan nasib mereka di wilayah perairan. Penuntasan ini tidak menjadi perbincangan dalam visi-misi pasangan calon,” ujarnya.

Editor:
HARIS FIRDAUS
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000